Kamis, 30 April 2015

Gender Menurut Susastra Hindu



BAB II

PEMBAHASAN


A.   Gender Menurut Menawa Dharmasastra

Hal yang menarik dari sudut pandang feminism, adalah bagian ajaran maharesi manu yang mengetengahkan konsep ardanareswari. Dinyatakan bahwa dalam rangka penciptaan alam semesta ini Tuhan Yang Maha Esa membagi diri-Nya menjadi dua bagian sebagai pasangan beroposisi yang disebut ardanareswari: satu bagian sebagai laki-laki dan satu bagian lagi sebagai perempuan(MDs, I:32). Dari pertemuan-Nya yang telah menjadi berpasangan ini lahirlah berbagai jenis makhluk yang juga serba berpasang. Tuhan dalam aspek-Nya yang dualis atau pasangan beroposisi ini dapat dipahami sebagai benih konsep kesetaraan gender dalam hindu. Karena ia Yang Tunggal menjadikan diri-Nya dua: satu bersifat maskulin dan satu lagi bersifat feminim.
Aspek feminim tercipta bukan dari sesuatu di luar diri-Nya. Artinya, secara teologis hindu tidak ada alasan yang membenarkan adanya diskriminasi dimana perempuan berkedudukan lebih rendah dari laki-laki. Karena, laki-laki dan perempuan bersumber dari satu sumber, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Perbedaan yang terjadi hanyalah dalam hal peranan dan kerjanya. Satu semesta yang dalam terminology hindu disebut purusa dan prakrti, azas roh dan azas materi. Personifikasi dari dua aspek Tuhan tersebut dalam mitologi hindu digambarkan sebagai dewa dan dewi, raja dan ratu. Dewa disebelah kanan dan dewi disebelah kiri. Posisi berdampingan secara sejajar tersebut, dengan demikian menyimbolkan kesetaraan.
Atas dasar konsep kesetaraan gender tersebut, Menawa Dharmasastra dengan tegas memuliakan posisi perempuan sebagai berikut.

Pitribhir bhratrbhis caitah patibhir dewaraistatha
Pujya bhusayita wyacca bahu kalyanmipsubhih (MDs, III:55).
Artinya:
Perempuan harus dihormati dan disayangi oleh ayahnya, kakaknya,
Suaminya dan iparnya yang menghendaki kesejahteraan sendiri.


Yatra naryastu pujyante ramante tatra dewatah
Yatraitastu na pujyante sarwastalah kryayah (MDs, III:56).
Artinya:
Dimana perempuan dihormati di sana para dewa merasa senang.
Akan tetapi, dimana perempuan tidak dihormati di sana tidak ada
upacara suci apapun berpahala.

Socanti jamayo yatra winasyatyacu tatkulam
Na socanti tu yatraita wardhate taddhi sarwada (MDs, III:57).
Artinya:
(rumah tangga) di mana perempuannya hidup sedih
Keluarga itu akan cepat mengalami kehancuran.
Sebaliknya, di mana perempuan tidak hidup menderita
Keluarga itu akan selalu hidup bahagia.

Pudja (1996:147) member komentar  pasal MDs di atas bahwa dalam hukum hindu, pasal-pasal tersebut memposisikan perempuan dalam kedudukannya yang mulia. Kata pujyante yang berarti harus dihormati memiliki arti wajib hukumnya bagi orang tuanya, saudara-saudaranya, suaminya dan anaknya untuk melindungi perempuan. Kedudukan perempuan kembali dikukuhkan dengan nilai teologis oleh Maharesi Manu bahwa bgi seorang putra, ayah, ibu(perempuan), dan gurunya adalah tiga serangkai orang mulia yang patut dihormati. Karena tiga serangkai ini adalah symbol Brahman.
Tuhan yang nirguna atau yang bebas nilai dipersonifikasikan sebagai sang penguasa alam atas; Prajapati, Tuhan yang saguna atau yang aktif adalah personifikasi dari azas maskulin sebagai penguasa alam tengah; sementara prethiwi adalah personifikasi dari azs feminim Tuhan sebagai sang penguasa bumi (Ds, III:226). Juga sebagai symbol tiga api suci: api ahawanya, api grihapatya, dan api daksina (MDs, III:231). Artinya, dengan menghormati guru, seseorang putra (siswa) mencapai alam brahma atau alam Tuhan, dengan menghormati ayah seorang putra akan menikmati alam tengah atau sorga, dan dengan menghormati ibu seorang putra akan menikmati kebahagian di bumi (MDs, III:233).
Sebaliknya, manakala perempuan tidak mendapat tempat yang layak dan tidak diperlakukan secara manusiawi, maka dari sudut pandang hindu dipastikan bahwa segala kerja yang diusahakan oleh anggota keluarga yang bersangkutan tidak akan berpahala. Dan cepat atau lambat rumah tangga tersebut akan mengalami kehancuran, karena dihancurkan oleh kekuatan gaib (MDs, III:58). Oleh karena itu, diamanatkan bahwa bagi orang yang menginginkan hidup bahagia wajib menghormati perempuan antara lain dengan cara pada hari raya memberinya hadiah perhiasan, pakaian, dan makanan (MDs, III:59). Dinyatakan pula, bahwa di mana perempuan selalu tampil dengan wajah berseri maka seluruh keluarga itu akan kelihatan bercahaya, demikian sebaliknya (MDs, III:61-61).
Kedudukan dan kewajiban perempuan sebagai ratu rumah tangga tentu tidak dapat dimaknai bahwa perempuan hanya boleh mengambil pekerjaan rumah saja, dan tidak dibenarkan melakukan pekerjaan sebagai mana halnya laki-laki. Maharesi Manu menegaskan bahwa:

Raja karmasu yuktanam strinam presyajanasya ca
Pratyaham kalpayed wrttim sthanam karmanurupatah (MDs, VII:125).
Artinya:
Bagi perempuan yang diperkerjakan di istana dan untuk pekerjaan kasar
hendaknya ditetapkan secara layak biaya hidup sehari-harinya
sebanding dengan kedudukan pekerjaan mereka.

Pasal tersebut secara jelas menyatakan bahwa ada pekerjaan perempuan. Pekerjaan itu dilakukan di luar rumah tangganya, dalam pasal ini di istana. Pekerjaan yang dikerjakan ada yang bersifat halus dan ada pula yang bersifat kasar dan upah yang diterima harus disesuaikan dengan kedudukan dan jenis pekerjaannya. Dari isi pasal tersebut dapat dipahami bahwa jenis kerja bagi perempuan tetap mengacu pada kaonseo kerja berdasarkan guna dan karma, karakter, bakat dan kemauan kerjanya. Tidak berdasarkan kelahiran, status dan jenis kelamin. Hal ini barangkali dapat dibandingkan dengan system perkawinan yang bersifat khusus, dimana perempuan diposisikan berstatus sebagai purusa(laki-laki) sementara laki-laki pasangannya berposisi sebagai predana(perempuan). Artinya, apabila perempuan melakukan pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan keluarga, maka itu dapat dimaknai bahwa perempuan(ibu) mengambil peran sebagai purusa, laki-laki(suami). Demikian sebaliknya, apabila laki-laki(suami) melakukan pekerjaan sebagai yang digariskan untuk perempuan, yaitu mengurus rumah tangga sementara istrinya bekerja di luar rumah tangganya, maka laki-laki tersebut dapat disebut berstatus sebagai predana,ibu.
Secara teologis hindu hal tersebut dibenarkan. Karena pengertian dasar purusa dan predana mengacu pada roh dan badan. Pararel dengan pengertian tersebut secara lebih mendasar dapat pula dimaknai bahwa secara hakikat manusia laki atau perempuan dalam dirinya ada aspek maskulin, yaitu rohnya dan pada aspek feminim, yaitu badannya sendiri. Dari makna hakikat tersebut dapat pula dipahami bahwa konsep kerja dan pembagian kerja hindu tidak didasarkan pada jenis kelamin., tetapi pada karakter dan bakat kerjanya. Kerja, apapun jenisnya ( catur warna: brahmana, ksatriya, waisya, dan sudra) wajib dilaksanakan menurut kewajiban yang ditentukan (swadharma) berdasarkan pengetahuan yang benar (jnana). Hanya dengan demikian tujuan kerja (catur purusartha : dharma, artha, kama, dan moksa) dapat tercapai. 

B.    Gender Menurut Veda dan Susastra Hindu

Penghargaan kepada perempuan, wanita, istri atau putri sesungguhnya demikian tinggi. Di dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya, dengan demikian maka bila terjadi pelecehan terhadap wanita, sesungguhnya pelakunya yang tidak memahami tentang kedudukan wanita dalam agama Hindu. Banyak tokoh-tokoh wanita disebutkan dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya sangat dihormati karena kesucian, kecerdasan dan kepemimpinannya. Untuk melihat  tokoh-tokoh ideal dalam agama Hindu, maka dapat dirunut pada pengelompokan atas profesi seseorang. Di antara profesi tersebut yang mendapatkan posisi sangat terhormat adalah posisi sebagai Bràhamaóa dan Kûatriya.  Tokoh-tokoh terkemuka di kalangan profesi Bràhmaóa adalah para Maharûi, Saýnyàsin, Sadhu atau orang-orang suci yang tersebut dalam kitab suci Veda maupun susastra Hindu lainnya seperti di dalam kitab-kitab Upaniûad, Itihàsa, Puràóa, termasuk pula kitab-kitab parwa dan kakawin di Indonesia.
Intinya, kita bisa mengkaji melalui Veda dan susastra Hindu baik yang berbahasa Sanskerta maupun dalam karya sastra yang menggunakan media bahasa Jawa Kuno. Lebih jauh tokoh-tokoh ideal dalam agama Hindu dapat dimulai dari tokoh-tokoh yang disebutkan dalam kitab suci Veda, sebagai para Brahmavàdinì antara lain: Viûvavàrà, Apàlà, Ghoûà, Godhà istri dari Vasukra, saudara perempuan dari maharûi Agastya, Lopàmudrà, Ûaûvatì dan Romaûà. Di samping nama-nama tersebut ada lagi Vàch (Sushil, 1982:130). Selain tokoh-tokoh Brahmavàdinì di atas, di dalam kitab-kitab Upaniûad terdapat tokoh-tokoh yang dikenal sebagai perempuan ideal dan ahli filsafat, yaitu: Maitreyì, Kàtyàyanì, yang merupakan dua istri dari Yàjñvalkya,  seorang maharsi yang sering dan amat dominan disebutkan di dalam kitab-kitab Upaniûad. Tokoh perempuan lainnya adalah Gàrgì, yang merupakan putra seorang tokoh atau pahlawan yang berasal dari kota Banares (Ibid: 138).
Berikut kami sampaikan bagaimana pandangan kitab suci Veda terhadap seorang perempuan, istri atau wanita: Seorang gadis hendaknya suci, berbudi luhur dan berpengetahuan tinggi (Atharvaveda XI.1.27). Seorang gadis menentukan sendiri peria idamanan calon suaminya (svayaývara/Ågveda X.27.12). Mempelai wanita sumber kemakmuran (Ågveda X.85.36), Seorang lelaki yang terlalu banyak mempunyai anak selalu menderita (Ågveda I.164.32). Terjemahan mantra ini menunjukkan bahwa bila lelaki tidak merencanakan keluarganya (istrinya terlalu banyak melahirkan, atau suami banyak punya istri dan anak) tentunya sangat menderita. Pengendalian nafsu seks juga mendapat perhatian dalam kitab suci Veda. Lebih lanjut seorang wanita dituntut untuk percaya kepada suami, dengan kepercayaannya itu (patibrata), seorang istri dan keluarga akan memperoleh kebahagiaan (Atharvaveda XIV.1.42).
Lebih jauh keutamaan seorang perempuan atau wanita di dalam kitab suci Veda dinyatakan memiliki sifat innovatif, cemerlang, mantap, memberi kemakmuran, diharapkan untuk cerdas menjadi sarjana, gagah berani dan dapat memimpin pasukan ke medan pertempuran dan senantiasa percaya diri.(Yajurveda XIV.21, Ågveda VIII.33.19, Atharvaveda XX.126.10, Ågveda X. 86.9, Ågveda X.159.2, Atharvaveda I.27.2, 4; Yajurveda XIII.26, Yajurveda V.10 dan Atharvaveda XIV.2.14). Dalam pengamatan kami terhadap mantra-mantra Veda, tidaklah menemukan diskriminasi antara seorang perempuan dengan laki-laki, anak laki-laki dengan anak perempuan dan sejenisnya.
Tokoh-tokoh perempuan ideal lainnya dapat dijumpai dalam kitab-kitab Itihàsa dan Puràóa, khususnya dalam Ràmàyaóa, antara lain: Anasùyà (seorang perempuan pertapa dan Jñànin yang pernah bertemu memberi nasehat kepada Ràma, Sità dan Lakûamaóa), Ûabarì (seorang bhakta yang tulus dan merupakan abdi dari maharûi Mataòga), Svayamprabha (pertapa perempuan yang memberikan bantuan kepada Sang Hanùman), Ahalyà (istri maharûi Gautama), Saramà (perempuan yang ditugaskan oleh Ràvaóa untuk menjaga dewi Sità), Trijaþà (putra Vibhìsaóa yang sangat telaten melayani dan melindungi dewi Sità), Mandodarì (istri Ràvaóa), Tara (istri Sugriva yang dilarikan oleh Subali), Kausalyà (ibu Úrì Ràma), Sumitrà (ibu dari Lakûamaóa dan Satrughna), Sìtà (tokoh sentral dan perempuan ideal dalam Ràmàyaóa (Nihshreyasananda, 1982:142-16). Dalam Mahàbhàrata, antara lain: Kuntì (ibu dari Pandava), dan  Draupadì (istri dari Pandava/Tripurari Chakravarti, 1982:173-176).  Di samping itu terdapat juga: Úakuntalà (leluhur raja-raja Hastina/ Pandava dan Kaurava), Damayantì (istri prabhu Nala), dan Savitrì (putri maharaja Aúvapati )(Suniti, 1982:205, 214).
Di dalam kitab-kitab Puràóa dapat dijumpai nama seorang perempuan ideal, yaitu: Devahùtì (ibu dari maharûi Kapila, seorang tokoh dan pendiri dari filsafat Saýkhya atau Saýkhya atau Saýkhya Darúana)(Rajendra, 1982: 229). Hal yang sangat menarik, di Bali dapat dijumpai sebuah mantra yang populer disebut dengan nama Smarastava, Panca Kanyam. Mantram ini terdiri dari satu bait mantram yang biasa digunakan dalam upacara kematian, dengan harapan orang yaing meninggal tersebut mencapai kebahagiaan di alam baka. Menurut informant pandita Úiva, mantram ini digunakan pada waktu upacara kehamilan (upacara pada saat seorang istri hamil)  dan pada saat bayi berumur tiga bulan (Hooykaas, 1971:38). Berikut kami petikkan mantram Smarastava, Pañca Kanya, sebagai berikut:
            Ahalyà Draupadì Sità, Tàrà Mandodarì tathà,
            Pañca-kanyam smaren nityam, Mahà-pàtaka-nàúanam.

            ‘Seseorang hendaknya bermeditasi kepada 5 perempuan
            mulia, yaitu: Ahalyà, Draupadì, Sità, Tàrà dan Mandodarì.
             Mereka yang melakukan hal itu, segala dosanya akan dile-
             Nyapkan’.

Terhadap mantram di atas, Prof. Dr. C. Hooykaas (1970:38) memberikan penjelasan tentang kelima perempuan mulia itu, sebagai berikut: “Ahalyà populer dikenal sebagai istri dari maharûi Gautama, ia melakukan perbuatan serong dengan dewa Indra dan kemudian dihukum  dengan pengucilan abadi, yang kemudian diselamatkan (dibebaskan) oleh Úrì Ràma. Draupadì dan Sità  adalah masing-masing pahlawan perempuan dalam Mahàbhàrata dan Ràmàyaóa. Tàrà adalah istri Båhaspati yang dilarikan oleh Soma, dan Mandodarì tercatat sebagai yang paling favorit dari para istri Ràvaóa. Kelima orang perempuan mulia itu digambarkan secara tradisional sebagai perempuan yang sangat cantik dan menawan. Tokoh-tokoh perempuan ideal tersebut pada umumnya dari kalangan profesi Bràhmaóa dan Kûatriya. Demikian antara lain tokoh-tokoh perempuan ideal dalam Veda dan susastra Hindu lainnya. Di samping tokoh-tokoh ideal di atas, terdapat juga tokoh-tokoh yang tidak patut ditiru, antara lain: Kaikeyì, Surphanaka (Titib, 1998:53) di dalam kitab Ràmàyaóa.    
Di dalam sejarah Indonesia dikenal pula tokoh Ratu Simhà yang sangat adil menurut prasasti Dinoyo. Pramodhavardhanì, salah seorang keturunan maharaja Sanjaya di Jawa Tengah. Ratu Gàyatrì dan Tribhuvanatunggadevì, ratu-ratu yang terkenal semasa kerajaan Majapahit. Di Bali dikenal pula ratu Vijayamahàdevì dan Guóapriyà-dharmapatnì. Berdasarkan informasi tersebut di atas, dapat diketahui bahwa menurut Veda, susastra Hindu dan juga sejarah Indonesia, perempuan menduduki tempat yang tinggi dan bahkan di dalam Veda, perempuan dapat memimpin, pimpinan sidang parlemen, cendekiawan dan bahkan terjun sebagai panglima perang memimpin pertempuran.



BAB III

PENUTUP


ü  Kesimpulan

Dinyatakan bahwa dalam rangka penciptaan alam semesta ini Tuhan Yang Maha Esa membagi diri-Nya menjadi dua bagian sebagai pasangan beroposisi yang disebut ardanareswari: satu bagian sebagai laki-laki dan satu bagian lagi sebagai perempuan(MDs, I:32). Dari pertemuan-Nya yang telah menjadi berpasangan ini lahirlah berbagai jenis makhluk yang juga serba berpasang. Tuhan dalam aspek-Nya yang dualis atau pasangan beroposisi ini dapat dipahami sebagai benih konsep kesetaraan gender dalam hindu. Karena ia Yang Tunggal menjadikan diri-Nya dua: satu bersifat maskulin dan satu lagi bersifat feminim.
Perempuan di dalam kitab suci Veda dinyatakan memiliki sifat innovatif, cemerlang, mantap, memberi kemakmuran, diharapkan untuk cerdas menjadi sarjana, gagah berani dan dapat memimpin pasukan ke medan pertempuran dan senantiasa percaya diri. Dapat diketahui bahwa menurut Veda, susastra Hindu dan juga sejarah Indonesia, perempuan menduduki tempat yang tinggi dan bahkan di dalam Veda, perempuan dapat memimpin, pimpinan sidang parlemen, cendekiawan dan bahkan terjun sebagai panglima perang memimpin pertempuran.
ü  Saran-Saran

Makalah ini kami buat berdasarkan referensi atau sumber-sumber yang kami dapat dari buku-buku  pedoman tentang susastra hindu, kami berharap bagi  pembaca agar lebih cermat dan teliti membaca makalah ini supaya pembaca memberikan kritikan positif  kepada kami guna untuk menyempurnakan makalah ini agar lebih baik dari sebelumnya dan tidak lupa kami ucapkan terima kasih.



DAFTAR PUSTAKA


1.      Pudja, Gede. 1992. Theology Hindu (Brahma Widya). Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi.
2.      Pudja, G. & Tjok Rai Sudharta. 1997. Manawa Dharmasastra. Jakarta: Dit.Jen. Bimas Hindu dan Buddha.
3.      Bose, Abinash Candra. (terj. I Wayan Sadia). 1990. Panggilan Weda. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi.
4.      Titib, I Made. Veda Sabda Suci - Pedoman Praktis Kehidupan. 1996. Surabaya: Paramita.
5.      Suhardana, K.M. Drs. Pengantar Etika Dan Moralitas Hindu. 2007. Surabaya: Paramita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar