BAB I
PENDAHULUAN
Filsafat Timur adalah tradisi
falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Tiongkok, dan
daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas filsafat
timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang
lebih juga bisa dikatakan untuk filsafat barat, terutama di abad pertengahan,
tetapi di dunia barat filsafat ’an sich’
masih lebih menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filosof: Lao Tse, Kong
Hu Cu, Zhuang Zi, dan lain-lain. Pemikiran filsafat timur sering dianggap
sebagai pemikiran yang tidak rasional, tidak sistematis, dan tidak kritis. Hal
ini disebabkan pemikiran timur lebih dianggap agama dibanding filsafat.
Pemikiran timur tidak menampilkan sistematika seperti dalam filsafat barat.
Misalnya dalam pemikiran Cina sistematikanya berdasarkan pada konstrusksi
kronologis mulai dari penciptaan alam hingga meninggalnya manusia dijalin
secara runut (Takwin, 2001: 12). Belakangan ini, beberapa intelektual barat
telah beralih ke filsafat timur, misalnya Fritjop Capra, seorang ahli fisika
yang mendalami taoisme, untuk membangun kembali bangunan ilmu pengetahuan yang
sudah terlanjur dirongrong oleh relativisme dan skeptisisme (Bagir, 2005: 6).
Skeptisisme terhadap metafisika dan filsafat rene Descartes dan William Ockham.
Mengingat penting dan beragamnya hasil filsafat dari Timur ini maka saya
sendiri memutuskan untuk mengambil judul “Hasil Pemikiran Filsafat Timur” pada
makalah yang akan saya bahas.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah Filsafat India
Filsafat India mengusung keyakinan akan kesatuan fundamental
antara manusia (individu) dengan alam (kosmos). Dengan demikian, tidaklah
mustahil jika filsafat India bisa menjadi solusi bagi krisis spiritual dan alam
saat ini. Menurut filsafat India, harmoni yang terjalin akan mengantarkan
seseorang menjadi waskita (arif bijaksana) terhadap hidup. Tidak terasing dari
kehidupan dunia (alam semesta) dan mampu beramah-tamah dengan semua benda di
sekelilingnya. Bagaikan bersahabat dengan gemericiknya air, kesuburan tanah
yang menumbuhkan segalanya, dan sinar matahari yang menghangatkan semesta raya.
2.2.1
Pembagian Lima Periode Dalam Filsafat India
Berikut merupakan babakan perkembangan filsafat India yang
terjadi selama lima periode besar itu yakni, zaman Weda, zaman Skeptisisme,
zaman Puranis, zaman Muslim, zaman Modern:
1.
Zaman Weda (2000 - 600 SM)
Filsafat India dimulai sejak bangsa
Arya masuk ke India dari utara sekitar tahun 1500 SM. Literatur suci mereka
disebut Weda, yang terdiri dari Samhita, Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad.
Samhita memuat Regweda (kumpulan pujian-pujian), Samaweda (himne-himne
liturgis), Yajurweda (rumus-rumus korban), dan Artharwaweda (rumus-rumus magis). Brahmana,
Aranyaka, dan Upanisad memuat komentar-komentar pada semua literatur. Upanisad
merupakan yang terpenting dari filsafat India yang sepanjang sejarah merupakan
sumber yang sangat kaya untuk inspirasi dan pembaharuan. Tema yang menonjol
untuk Upanisad adalah ajaran tentang hubungan Atman dan Brahman. Atman adalah
segi subjektif dari kenyataan, “diri” manusia. Sedangkan Brahman adalah segi
objektif, makrokosmos, alam semesta. Upanisad mengajarkan bahwa Atman dan
Brahman memang sama dan bahwa manusia mencapai keselamatan (moksa, mukti) kalau
ia menyadari identitas Atman dan Brahman.
2. Zaman Skeptisisme (600 SM – 300 M)
Sekitar tahun 600 SM mulai suatu reaksi baik terhadap
ritualisme imam-imam maupun terhadap spekulasi hubungan dengan korban para
rahib. Para imam mengajarkan ketaatan pada kitab suci, tetapi para rahib
mengajarkan suatu metafisika di mana ketaatan ini mengganggu kebaktian kepada
dewa-dewa. Reaksi ini datang dalam berbagai bentuk. Tetapi yang terpenting
diantaranya adalah Buddhisme ajaran dari Gautama Buddha, yang memberi
pedoman praktis untuk mencapai keselamatan dan mengajarkan secara nyata
bagaimana manusia dapat mengurangi pemderitaannya dan bagaimana ia mencapai
terang budi yang membawa keselamatan. Reaksi lain adalah kebaktian yang lebih
eksklusif kepada Siwa dan Wisnu dan juga Jainisme dari Mahawira Jina. Keduanya
merupakan bentuk agama yang menarik daripada ritualisme dan spekulasi dari imam
dan para rahib. Sebagai kontra-reformasi muncullah Hinduisme resmi enam sekolah
ortodoks (disebut ortodoks karena Buddhisme dan Jainisme yang tidak berdasarkan
Weda dianggap bid’ah). Sekolah itu adalah Saddharsana (Nyaya, Waisesika,
Samkhya, Yoga, Purwa-Mimamsa, dan Ynana). Adalah yang terpenting dari sekolah
itu adalah Samkhya (artinya jumlah) dan Yoga (dari kata “juj”, menghubungkan).
Yoga mengajarkan suatu jalan (marga) untuk mencapai kesatuan dengan ilahi.
Samkhya mengajarkan sebagai tema terpenting hubungan alam-jiwa dan
kesadaran-materi.
3.
Zaman Puranis (300 – 1200)
Setelah tahun 300, Buddhisme mulai lenyap dari India.
Pemikiran India dalam abad pertengahan dikuasai oleh spekulasi teologis,
terutama mengenai inkarnasi dewa-dewa. Contoh cerita tentang inkarnasi
dewa-dewa terdapat dalam dua epos besar, Mahabharata dan Ramayana.
4.
Zaman Muslim (1200 – 1757)
Dua nama yang menonjol dalam periode muslim yaitu Kabir
(pengarang syair) yang mencoba mengembangkan suatu agama universal dan Guru
Nanak (pendiri aliran Sikh) yang mencoba menyerasikan Islam dan Hinduisme.
5.
Zaman Modern (setelah 1757)
Zaman modern adalah zaman pengaruh Inggris di India mulai
tahun 1757. Periode ini memperlihatkan kembali nilai-nilai klasik India,
bersama dengan pembaharuan sosial. Nama penting dalam periode ini adalah Raja
Ram Mohan Roy (1772-1833) yang mengajarkan monoteisme berdasarkan Upanisad dan
suatu moral berdasarkan Khotbah di Bukit dari Injil, Vivekananda (1863-1902)
yang mengajarkan semua agama benar tetapi agama Hindu paling cocok di India,
Gandi (1869-1948), dan Rabindranath Tagore (1861-1941) sang pengarang syair dan
pemikir religius yang membuka pintu untuk ide-ide luar. Sejumlah pemikir India
zaman sekarang melihat banyak kemungkinan untuk dialog antara filsafat
Timur dan filsafat Barat. Radhakrishnan (1888-1975) mengusulkan
pembongkaran batas-batas ideologis untuk mencapai suatu sinkretisme
hindu-kristiani, yang dapat berguna sebagai pola berpikir masa depan seluruh
dunia. Pemikir-pemikir lain tidak begitu optimis dengan kemungkinan ini.
Menurut mereka, perbedaan antara corak berpikir Timur dan Barat terlalu besar untuk
mengadakan suatu interaksi, dalam arti “saling melengkapi”. Filsafat India
dapat belajar dari rasionalisme dan positivisme Barat. Filsafat Barat dapat
belajar dari intuisi Timur mengenai kesatuan dalam kosmos dan mengenal
identitas mikrokosmos. Mungkin, filsafat Barat terlalu duniawi sedangkan
filsafat Timur terlalu mistik.
2.2
Sejarah Filsafat Cina
Dalam memahami asal mula Filsafat Cina, ada 3 hal yang perlu
diketahui. Pertama, filsafat adalah sebuah usaha sadar untuk
memformulasikan pandangan-pandangan
dan nilai-nilai sebagai ekspresi dari keyakinan fundamental sekelompok orang.
Karenanya filsafat tidak dapat dilepaskan dari latar belakang budaya dan
tradisi kelompok tersebut. Dalam hal ini adalah bahasa, seni, literatur,
dan agama. kedua, filsafat
sebagai sebuah aktivitas yang berkelanjutan haruslah dipandang sebagai sesuatu
yang muncul dari aktivitas praktis kehidupan yang berfokus pada pemecahan
masalah tentang pengetahuan yang benar, pemahaman asali, dan penghargaan yang
wajar atas berbagai masalah kehidupan, entah secara individu ataupun sosial.
ketiga adalah lebih berupa konstruksi-konstruksi teoretis sebagai hasil
pemikiran filosofis ataupun kegiatan kultural dari suatu kelompok
orang/masyarakat (Fung Yu-Lian,2007:5) .
Filsafat Cina dikenal terbagi menjadi beberapa bagian,
bagian-bagian tersebut adalah:
1.
Konfusius
Ulasan yang lebih detail tentang kehidupaan Confusius
adalah biografi yang terangkum dalam bab empat puluh tujuh Shih Chi atau
Historical Records (sejarah dinasti Cina pertama, lengkap ca. 86 SM).
Dari riwayat hidupnya ini, bisa didiperoleh ide bahwa ajaran-ajaran Konfusius
lahir atas keprihatinannya akan situasi sosial dan politik pada saat itu. Bagi
Konfusius kekacauan itu timbul karena Li kehilangan jiwanya. Untuk
menghidupkan kembali Li berarti menghidupkan kembali ritual dan musik
dengan pendasaran pada Ren. Seperti kita ketahui, Konfusiuslah yang
mengambil kitab klasik dinasti Zhou keluar dari tempat penyimpanannya dan
membeberkannya di depan umum. Konfusius pulalah yang mengubah aneka tata cara
dan upacara serta kebiasaan feudal menjadi suatu sistem etika. Konfusius
berjuang tanpa kenal lelah sepanjang hidupnya untuk membangun dan memelihara
suatu masyarakat yang tertib dan teratur dengan terus menerus menekankan
pentingnya hubungan antara manusia atas dasar doktrin ren.
Ren
adalah gagasan sentral dari Konfusianisme yang juga merupakan kelanjutan yang
lebih jernih dari gagasan yang hidup sebelum jaman Konfusius. Ren bisa dipahami
sebagai: kebaikan hati ataupun kasih antar manusia. Kebaikan ini adalah hakikat
terdalam manusia yang membuat unsur lain (dalam hidupnya) menjadi mungkin.
Menurut Konfusius ‘ren’ adalah sesuatu di dalam diri yang membuat seseorang
sungguh-sungguh manusia. Sedangkan Li mengandung arti ‘tatacara
dan upacara keagamaan’, tetapi Konfusianisme memberi arti lebih luas dari pada
sekedar ritus dan ritual, yaitu, segala sesuatu yang terkait pada tindakan
tepat manusia, dan Xiao merujuk pada tindakan antar manusia yang menumbuhkan
‘ren’ yang juga berarti “hormat bakti yang muda terhadap yang lebih tua”.
2. Taoisme.
Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (“guru tua”) yang hidup
sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan “jalan
manusia” melainkan “jalan alam”-lah yang merupakan Tao. Tao menurut Lao Tse
adalah prinsip kenyataan objektif, substansi abadi yang bersifat tunggal,
mutlak dan tak-ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika, sedangkan
ajaran Konfusius lebih-lebih etika. Puncak metafisika Taoisme adalah kesadaran
bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao (Abu Ahmad,1975: 157).
3. Mencius dan Xunzi
Konfusianisme bermula dari ajaran Konfusius, tetapi kemudian
dibangun dan dikembangkan oleh Mencius dan Xunzi. Seperti Konfusius, Mencius mendasarkan
ajarannya pada Ren, tapi ia menyatakan bahwa untuk membina Ren harus
dikembangkan yi atau kebaikan. “Yang disimpan dalam hati adalah ren, yang
dipakai dalam tindakan adalah yi.” Jadi, ren adalah prinsip tepat untuk
mengawasi gerak internal, sedangkan yi adalah cara tepat untuk membimbing
tindak eksternal. Lebih lanjut lagi, Ia menekankan Sistem Keluarga yang
diungkap Confusius; yaitu sistim masyarakat Tionghoa, ada 5 jenis hubungan
yaitu Raja-Menteri, Ayah-Anak, Suami-Istri, Kakak-Adik, teman-teman.
4. Mohisme
Adapun perbedaan pendapat anatara
konfusianis dan mohis adalah sebagai berikut: Para Konfusianis mementingkan
relasi yang tepat (Lǐ), tanpa memikirkan keberuntungan. Dari segi moral atau
pendirian, para Konfusianis mengutamakan kebenaran dan kemurnian, tanpa
menghitung keberhasilannya. Penganut Mo Tzŭ lebih pragmatis. Mereka
mengutamakan secara khusus keberuntungan (Lì) dan pencapaian (Kung).
Dengan demikian, tolok ukur
kebenaran sebuah prinsip menurut Mo Tzŭ adalah seberapa besar keberuntungan
yang diberikan kepada negara dan rakyat jelata. Segala sesuatu harus berguna,
dan semua prinsip harus bisa diaplikasikan supaya menyumbang sesuatu nilai
secara mandiri. Maka sesuatu prinsip yang tidak bisa diejawantahkan nilainya,
ataupun tidak bisa diajarkan secara efektif kepada manusia lain untuk
mengejawantahkan nilainya, hanya rasio belaka. Tetapi pendirian Mo Tzŭ ini
bertabrakan dengan idealisme Konfusianis, yang mengutamakan pembentukan
moralitas yang mendukung tindakan seseorang, supaya bertindak mengikut apa yang
benar, dan bukan mengikut apa yang lebih memanfaatkan.
5.
Daoisme
Lao Zi dan pengikutnya menduga bahwa ada yang salah dalam
hakekat masyarakat dan peradabannya. Mereka menganjurkan rakyat Cina untuk
membuang semua pranata dan konvensi yang ada. Mereka percaya bahwa manusia yang
dulu mempunyai suatu surga kemudian hilang karena kekeliruannya sendiri, yaitu
karna ia mengembangkan peradaban. Menurut Lao Zi dan pengikut pengikutnya, cara
terbaik untuk hidup adalah menarik diri dari peradaban dan kembali kepada alam,
dari keadaan beradab ke keadaan alami. Inilah jalur pemikiran
naturalistik yang dikenal sebagai Daoisme yang menjunjung tinggi Dao dan alam.
Chuang Tzu memandang Dao sebagai totalitas dari spontanitas
segala sesuatu di alam semesta ini. Semua hal harus dibiarkan berkembang
sendiri, secara alami dan spontan, Akan tetapi Yang Tzu berpendapat bahwa Dao
adalah suatu kekuatan fisis yang buta. Dao menghasilkan dunia tidak atas dasar
perencanaan atau kehendak, tetapi atas dasar keniscayaan atau kebetulan.
Pendapat ini merupakan pendapat yang mewakili kaum materialistik Daoisme.
Apapun perbedaannya, ajaran ajaran mereka menekankan bahwa manusia harus cocok
dan serasi dengan kodratnya dan puas dengan apa adanya.
6. Neo
Konfusianisme
Neo Konfusianisme adalah bentuk Konfusianisme yang terutama dikembangkan selama Dinasti Song, tetapi aliran ini mulai nampak ke
permukaan sudah sejak zaman dinasti Tang lewat Han Yu dan Li ao. Mereka
membuka cakrawala baru Neo-Konfusianisme, yaitu dimensi kosmologis dalam
refleksi mereka. Zhou Dunyi merupakan tokoh yang tak boleh dilupakan. Kosmologi
Zhou Dunyi merupakan pengembangan butir-butir ajaran Apendiks dari Kitab Yi
Jing dan dia memakai diagram daois untuk ilustrasi dan membentuk ‘Tai Ji Tu dan
Tai JI Shuo-nya. Selain Zhou Dunyi masih ada Shao Yong (kosmologis lain yang
mengembangkan ajarannya berdasar juga Apendiks dari Kitab Yi Jing. Bedanya
dengan Zhuo dia memakai 64 hexagram Yi Jing). Sementara Zhang Zhai (kosmologis
lain yang juga mengembangkan ajarannya berdasar juga Apendiks dari Kitab Yi
Jing. Namun dia menekankankan dan mengolah lebih jaug gagasan Qi). Mewarisi
‘ke-satu-an’ dari segala dari Zhang Cai, itu yang dikembangkan Cheng Hao
menjadi filsafatnya. Ren = rangkuman dari: Yi, Li, Zhi dan Xin, pahami itu dan
tempa-tumbuhkan dengan ketulusan dan kecermatan, itulah segalanya. Secara
metafisis ada kesatuan antara semua yang ada. Gagasan tersebut kemudian
dikembangkan lebih lanjut oleh Lu Jiuyuan dan Wang Yangming yang pada akhirnya
membentuk sekolah Lu wang (Fung Yu-Lian,2007:54-56).
2.3
Sejarah Filsafat Islam
Islam berasal dari kata salam yang terutama berarti
“damai” dan juga berarti “menyerahkan diri”, maka keseluruhan pengertian yang
dikandung nama ini adalah “kedamaian sempurna yang terwujud jika hidup
seseorang diserahkan kepada Allah”. Kata sifat yang berkenaan dengan ini adalah
Muslim (Huston, 2004:254). Filsafat Islam digolongkan ke dalam filsafat
timur karena lebih dominan sifatnya yang menunjukkan idealisme seperti umumnya
filsafat-filsafat yang muncul di dunia timur, seperti Cina dan India. Filsafat
timur ini yang memiliki aliran idealisme utamanya bercirikan bersifat
spiritual, esensinya adalah dengan berfikir. Juhaya (2008:125) mengungkapkan
bahwa kata idealis itu dapat mengandung beberapa pengertian, antara
lain:


Memang pada filsafat-filsafat yang lahir di dunia timur,
kebanyakan lebih mengutamakan sisi spiritual, dalam arti nilai-nilai keagamaan
memang kerap mewarnai prinsip-prinsip dalam filsafat timur. Dalam prinsip
filsafat timur ini pada perilaku manusia adalah digerakkan oleh nilai dan norma
sehingga manusia memiliki tujuan dalam bertingkah laku. Begitu juga filsafat
yang lahir dari pemikir-pemikir Islam yang lebih menekankan pandangannya
mengenai dunia dengan berlandaskan pada nilai-nilai dan norma-norma yang harus
ditaati oleh manusia. Filsafat Islam adalah berfikir secara sistematis, radikal
dan universal tentang hekekat segala sesuatu berdasarkan ajaran Islam.
Singkatnya filsafat Islam itu adalah Filsafat yang berorientasi kepada Al
Qur’an, mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan wahyu Allah.
Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid naik tahta tahun 786
M, buku-buku pengetahuan Yunani banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Orang-orang dikirim ke Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip. Pada mulanya
penerjemah diutamakan dalam bidang ilmu kedokteran, tetapi kemudian ilmu
pengetahuan lain dan filsafat pun diterjemahkan ke dalam bahasa Siriac, bahasa
ilmu pengetahuan Mesopotamia waktu itu, kemudian baru dalam bahasa Arab. Tapi
akhirnya diadakan penerjemahan langsung dalam bahasa Arab. Melalui kegiatan
penerjemahan inilah sebagian besar karya Aristoteles, beberapa karangan Plato
serta karangan-karangan mengenai neo-platoisme, Galen dan karangan di bidang
kedokteran serta ilmu pengetahuan Yunani lainnya dapat dibaca oleh alim ulama
Islam. Karangan di bidang filsafat banyak menarik perhatian Mu’tazilah sehingga
mereka banyak dipengaruhi oleh pemujaan daya akal yang terdapat dalam filsafat
Yunani. (Juhaya, 2008:194-195). Kemajuan Islam era pertengahan tidak saja
mewarisi pengetahuan Yunani-Romawi, akan tetapi telah memodifikasi dan menyempurnakan
pengetahuan sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan hasil usaha kreatif
cendikiawan muslim seperti al-Kindi, Ibn Sina, al-Farabi, al-Razi dan
setelahnya, selain mengadopsi kekayaan pengetahuan mereka, juga melahirkan
teori dan pengetahuan orisinil yang sama sekali baru. Peradaban Yunani, Persia
dan Romawi jelas menyumbangkan peradaban yang sangat berharga bagi Islam.
Peradaban Zoroastrian (Sassanian) telah mencapai puncak renaisan kebudayaannya
pada abad ke enam, sebelum Islam datang di tanah Arab. Hal ini yang kemudian
menjadi pembawa obor bagi peradaban Barat, bersama-sama membawa sebuah
sinkronisme kreatif baru pemikiran ilmiah dan filosofis Yunani, Hebrew, India
(Hindu), Syirian, dan Zoroaster.
Mengenai kebangkitan bangsa Arab tersebut dengan agama Islamnya,
Huston Smith (2004:254-255) mengutip juga dari Philip Hitti yang menyatakan
sekitar nama orang Arab bersinarlah lingkaran cahaya dari kegemilangan yang
dimiliki oleh para penakluk dunia. Dalam waktu satu abad setelah bangsa ini
muncul, mereka telah menjadi tuan dari suatu daerah kekuasaan yang terbentang
dari pantai Samudra Atlantik sampai ke perbatasan Cina, yang merupakan suatu
daerah kekuasaan yang lebih besar dari kekaisaran Romawi pada zaman puncak
kejayaannya. Dalam masa perluasan wilayah yang luar biasa ini mereka “merangkul
berbagai unsur asing ke dalam kepercayaan, bahasa dan bahkan bentuk fisik
mereka, lebih daripada yang pernah atau sesudahnya, tidak terkecuali orang
Yunani, Romawi, Anglo-Sakson, atau Rusia”. Tentu saja periode yang dimaksud
dalam kutipan tersebut adalah saat pemerintahan Harun al-Rasyid.
Filsafat Islam memiliki karakteristik
sekaligus sebagai keunikan tersendiri. Setidaknya, terdapat tiga karakteristik
yang dapat kita diketemukan dalam khazanah ini, yaitu peripatetisme (Masysya’iyyah),
iluminasi (Israqiyyah) dan teosofi transenden (al-hikmah
al-muta’aliyah). Ketiga karakteristik tersebut sudah sering dikaji oleh
para sarjana muslim.
Filsafat
peripatetisme adalah paham kelanjutan dari pengaruh ide-ide
Aristotelian yang bersifat diskursif-demontrasional. Corak dari Aristotelian
yaitu hylomorfisme, suatu paham yang cenderung bersifat material.
Peripatetisme dimulai sejak al-Kindi, yang melewati antara lain, al-Farabi, Ibn
Sina, Ibn Thufail dan Ibn Bajjah hingga Ibn Rusyd. Mungkin, hanya Ibn Rusyd
saja yang agak berani membersihkan Aristotelianisme dari Neo-Platonisme.
Filsafat
iluminasi (Israqiyyah) berbicara mengenai suatu
kilatan-mendadak dalam bentuk pemahaman atau ilham sebagai suatu arus cahaya.
Asal mulanya, teori ini berakar dari pola-pola Platonik, yang selama periode
Hellenistik dan Romawi aliran ini diserap dan tergabungkan dalam pikiran Kristiani
dan Yahudi. Tokoh yang ternama dalam corak filsafat iluminasi yaitu Surawardi.
Sebagai pencetus paham iluminasi, dia telah membuka jalan suatu dialog dengan
wacana-wacana dan upaya-upaya religius atau mistis dalam dunia ilmiah. Dia juga
termasuk filosof yang meyakini adanya perennial wisdom. Sebuah jalan
kebenaran yang dijadikan ukuran adalah pengalaman “intuitif” yang kemudian
mengelaborasi dan memverifikasinya secara logis-rasional.
Sementara filsafat hikmah
di perkenalkan oleh Mulla Shadra. Dia membangun aliran baru filsafat dengan
semangat untuk mempertemukan berbagai aliran pemikiran yang berkembang di
kalangan kaum muslim. Yakni tradisi Aristotelian cum Neo platonis yang
diwakili figur-figur al-Farabi dan Ibn Sina, filsafat Israqiyyah, pemikiran
Irfani Ibn ‘Arabi, serta tradisi kalam (teologi dialektis). Filsafat hikmah
cenderung berbicara masalah esensi (wujud), sehingga sering disebut-sebut
sebagai eksistensialisme Islam. Aliran ini mempercayai bahwa pengetahuan
diperoleh tidak melalui penalaran rasional, tetapi hanya melalui sejenis
intuisi, yakni penyaksian bathin (syuhud, inner witnessing), cita rasa (dzauq,
tasting), pencerahan (hudhur, presence) (Haidar Bagir dalam
Mujtahid, 2011:uin-malang.ac.id). Begitulah perkembangan filsafat Islam yang
telah mendapat pengaruh dari beberapa filosof Romawi dan Yunani yang kemudian
diserap menjadi beberapa pandangan baru dari kacamata Islam. Hanya saja sedikit
pengaruh-pengaruh baik dari Aristoteles, Plato maupun Sokrates terakulturasi
dalam filsafat ini.
Dalam pembahasan ini akan diulas
mengenai pemikiran dua tokoh filosofi Islam yakni Al-Kindi dan Al-Ghazali
sebagai contoh gambaran konkrit dari filsafat Islam.

Nama lengkap filsuf ini adalah Ya’kub bin Ishaq bin al-Kindi
yang lahir di Kufah dan bertempat tinggal di Kindah, Yaman. Orangtuanya adalah
Gubernur Basrah. Menurut keterangan Ibnu al-Nadim buku-buku yang ditulisnya itu
berkisar 241 buah dalam bidang filsafat, logika, ilmu hitung, astronomi,
kedokteran, ilmu jiwa, politik, optik, musik, matematika, dan sebagainya. Dalam
The Legacy of Islam dapat kita jumpai informasi yang menjelaskan bahwa
buku Al-Kindi tentang optika diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan banyak
mempengaruhi Roger Bacon.
Pengetahuan menurut al-Kindi terbagi menjadi dua, yakni Pertama
pengetahuan Illahi atau ilm ila’hiy (devine science) seperti yang
tercantum dalam al-Qur’an, yaitu pengetahuan langsung yang diperoleh Nabi dari
Tuhan. Dasar pengetahuan itu adalah keyakinan. Kedua, pengetahuan
manusiawi atau ilm insaniyy (human science) atau filsafat yang
didasarkan atas pemikiran (ration reason). Filsafat baginya adalah pengetahuan
tentang yang benar atau baths an al-haqq (knowledge of the truth).
Dari sinilah kita bisa melihat persamaan antara filsafat dan agama. Tujuan
agama dan tujuan filsafat adalah sama, yaitu menerangkan apa yang benar dan apa
yang baik. Agama, disamping wahyu, juga menggunakan akal. Adapun kebenaran
pertama, menurut al-Kindi, ialah Tuhan (Allah). Dialah al-haqq al-awwal,
the first Truth. Dengan demikian filsafat membahas soal Tuhan, agama pun
yang menjadi dasarnya Tuhan. Oleh karena itu, bagi al-Kindi, filsafat yang
paling tinggi adalah filsafat tentang Tuhan.
Al-Kindi memandang jiwa sebagai intisari dari manusia. Para
filsuf Islam banyak memperbincangkan hal ini, karena Al-Qur’an atau Hadist Nabi
tidak menjelaskan hakikat jiwa atau ruh. Jiwa menurut al-Kindi, seperti halnya
menurut al-Ghazali dan Ibn Taimiyyah, mempunyai tiga macam daya, yaitu daya
bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir/berakal. Namun demikian, pendapat
al-Kindi berbeda dengan keduanya ketika ia mengatakan ada tiga macam akal,
yaitu: (a) Akal yang bersifat potensial, (b) Akal yang telah keluar dari sifat
potensial menjadi actual, dan (c) Akal yang telah mencapai tingkat kedua dari
aktualitas (Juhaya, 2008: 1986-201).

Abu Hamid Muhammad al-Ghazali lahir di tahun 1059 M, di
Ghazaleh, suatu kota kecil yang terletak di dekat Tus, Khurasan, kawasan Iran
dewasa ini. Al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam dikenal pada mulanya
sebagai syak (skeptis) terhadap gejala-gejalanya. Perasaan syak ini
kelihatannya timbul dalam dirinya dari pelajaran ilmu kalam atau teologi yang
diperoleh dari al-Juwaini. Pada mulanya pengetahuan seperti dalam ilmu pasti
itu dijumpai al-Ghazali dalam hal-hal yang ditangkap dengan panca indera,
tetapi baginya kemudian ternyata bahwa panca indera juga berdusta. Sebagai
upama, ia sebut bayangan (rumah) kelihatannya tak bergerak, tetapi akhirnya
ternyata berpindah tempat. Bintang-bintang di langit kelihatannya kecil, tetapi
perhitungan enyatakan bahwa bintang-bintang iu lebih besar dari bumi. Karena
al-Ghazali tidak percaya pada apanca indera lagi,ia kemudian meletakkan
kepercayaannya pada akal. Tetapi akal juga ternyata tak dapat dipercayai.
“Sewaktu bermimpi”, demikian kata al-Ghazali,”orang melihat hal-hal yang
kebenarannya diyakni betul-betul, tetapi setelah bangun, ia sadar bahwa apa
yang ia lihat benar itu sebetulnya tidaklah benar.” Tidaklah mungkin apa yang
sekarang dirasa benar menurut pendapat akal, nanti kalau kesadaran yang lebih
dalam timbul akan ternyata tidak benar pula, sebagaimana halnya dengan orang
yang telah bangun dan sadar dari tidurnya.
Al-Ghazali mempelajari filsafat, kelihatannya untuk
menyelidiki apakaha pendapat-pendapat yang diajukan filsuf-filsuf itulah yang
merupakan kebenaran. Baginya ternyata bahwa argument-argumen yang mereka ajukan
tidak kuat dan menurut keyakinannnya ada yang ada yang bertentangan dengan
ajaran-ajaran Islam.
Tasawuflah yang dapat menghilangan rasa syak (keragu-raguan)
yang lama mengganggu dirinya. Dalam tasawuflah ia memperoleh keyakinan yang
dicari-crinya. Pengetahuan mistiklah, cahaya yang diturunkan Tuhan ke dalam
dirinya, itulah yang membuat al-Ghazali memperoleh keyakinannya kembali
(Juhaya, 2008:202-204) Dengan demikian satu-satunya pengetahuan yang
menimbulkan keyakianan akan kebenarannya bagi al-Ghazali adalah pengetahuan
yang diperoleh secara langsung dari Tuhan dengan tasawuf.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Filsafat India mengusung keyakinan akan kesatuan fundamental
antara manusia (individu) dengan alam (kosmos). Dengan demikian, tidaklah
mustahil jika filsafat India bisa menjadi solusi bagi krisis spiritual dan alam
saat ini. Menurut filsafat India, harmoni yang terjalin akan mengantarkan
seseorang menjadi waskita (arif bijaksana) terhadap hidup. Tidak terasing dari
kehidupan dunia (alam semesta) dan mampu beramah-tamah dengan semua benda di sekelilingnya.
Bagaikan bersahabat dengan gemericiknya air, kesuburan tanah yang menumbuhkan
segalanya, dan sinar matahari yang menghangatkan semesta raya.
Dalam memahami asal mula Filsafat Cina, ada 3 hal yang perlu
diketahui. Pertama, filsafat adalah sebuah usaha sadar untuk
memformulasikan pandangan-pandangan dan nilai-nilai sebagai ekspresi dari
keyakinan fundamental sekelompok orang. Karenanya filsafat tidak dapat
dilepaskan dari latar belakang budaya dan tradisi kelompok tersebut.
Dalam hal ini adalah bahasa, seni, literatur, dan agama. Yang kedua,
filsafat sebagai sebuah aktivitas yang berkelanjutan haruslah dipandang sebagai
sesuatu yang muncul dari aktivitas praktis kehidupan yang berfokus pada
pemecahan masalah tentang pengetahuan yang benar, pemahaman asali, dan
penghargaan yang wajar atas berbagai masalah kehidupan, entah secara individu
ataupun sosial. Yang ketiga adalah lebih berupa konstruksi-konstruksi
teoretis sebagai hasil pemikiran filosofis ataupun kegiatan kultural dari suatu
kelompok orang/masyarakat (Fung Yu-Lian,2007:5) .Islam berasal dari kata salam
yang terutama berarti “damai” dan juga berarti “menyerahkan diri”, maka
keseluruhan pengertian yang dikandung nama ini adalah “kedamaian sempurna yang
terwujud jika hidup seseorang diserahkan kepada Allah”. Kata sifat yang
berkenaan dengan ini adalah Muslim (Huston, 2004:254). Filsafat Islam
digolongkan ke dalam filsafat timur karena lebih dominan sifatnya yang
menunjukkan idealisme seperti umumnya filsafat-filsafat yang muncul di dunia
timur, seperti Cina dan India. Filsafat timur ini yang memiliki aliran
idealisme utamanya bercirikan bersifat spiritual, esensinya adalah dengan
berfikir.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 1975. Sejarah pendidikan. Semarang: CV. Toha Putra.
Bagir,
Haidar. 2005. Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Mizan.
Praja,
Juhaya.S. 2008. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Jakarta:Prenada Media.
Smith,
Huston. 2001. Agama-Agama Manusia. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Takwin, Bagus. 2003. Filsafat
Timur, Sebuah Pengantar ke Pemikiran-Pemikiran Timur. Jakarta: UI Press.
Lan, Fung Yu. 2007. Sejarah
Filasafat Cina. Yogyakarta: Balai pelajar.
Said, Muhammad. 1987. Mendidik
Dari Zaman ke Zaman. Bandung: Jemmars.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar