Rabu, 01 April 2015

Perkembangan Agama Hindu pada Zaman Brahmana



BAB I
 PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi empat fase, yakni Zaman Weda, Zaman Brahmana, Zaman Upanisad dan Zaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada zamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada zaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap  Dewa-dewa.

B.     Rumusan Masalah

Menjelaskan perkembangan Agama Hindu Di India yang dibagi menjadi empat fase, yaitu diantaranya menjelaskan tentang Zaman Brahmana dan perkembangan kehidupan masyarakatnya pada zaman itu!.

C.     Tujuan Penulisan

Untuk melengkapi tugas yang telah diberikan oleh dosen tentang perkembangan Agama Hindu pada zaman Brahmana.

D.    Manfaat Penulisan

o   Bagi Mahasiswa, pembahasan ini akan bermanfaat untu memperdalam pengetahuan tentang perkembangan Agama Hindu pada zaman Brahmana.
o   Bagi Kampus, pembahasan ini bisa digunakan sebagai dokumen yang nantinya bisa disimpan di Perpustakaan.
o   Bagi Masyarakat, pembahasan ini akan memberi pengetahuan baru tentang sejarah Agama Hindu di India.

E.     Metode Penulisan

Penulis mencari sumber-sumber yang berkaitan dengan Zaman Brahmana dari buku-buku bacaan di Perpustakaan, media internet, observasi dan wawancara terhadap masyarakat yang memahami tentang Zaman Brahmana.























BAB II
PEMBAHASAN

ZAMAN BRAHMANA
Zaman Brahmana mulai kira-kira tahun 1.000 SM hingga kira-kira 750 SM (Harun Hadiwiyono, 1982 : 12). Zaman ini ditandai dengan disusunnya buku-buku Brahmana, yaitu buku-buku yang menguraikan dan menjelaskan tentang saji dan upacaranya, apa artinya sesuatu saji, apa syarat-syaratnya, tenaga gaib apa yang tersimpul dalam upacaranya dan sebagainya (Soekmono, 1973 : 11). Tiap-tiap weda mempunyai buku-buku Brahmana sendiri-sendiri. Rgveda buku Brahmananya bernama Aitareya. Satapata Brahmana dan Taitiriya menjadi milik Yayurveda. Tandya dan Arseya merupakan milik Samaveda. Sedangkan kitab Brahmana dari Atharwaveda disebut Sopata (Swami Sivananda, 1993 : 16).
Buku-buku Brahmana itu berisi petunjuk mengenai peraturan Agama serta penjelasan tentang arti Veda yang sering dalam bentuk mitologi. Buku-buku tersebut merupakan buku-buku tambahan yang digolongkan sebagai buku tafsir yang memberikan keterangan atas buku suci Veda (Abu Suud, 1998 : 56-57).  Wojowasito juga mengungkapkan bahwa isi buku Brahmana itu merupakan teori, system dan peraturan yang dikarang oleh para Padri sendiri (Wojowasito, 1953 : 15). Dari kedua kutipan di atas jelaslah bahwa isi buku-buku Brahmana tersebut bukanlah Sabda Tuhan, melainkan merupakan penjabaran, pengembangan dan penjelasan isi Veda berdasarkan penafsiran penyusunnya.
Dampak dari tersusunnya dan pemasyarakatan buku-buku Brahmana tersebut, adalah berubahnya pandangan masyarakat terhadap dewa dan saji beserta upacaranya. Seperti telah disinggung, pada zaman Veda persembahan kepada dewa dimaksudkan untuk mendapatkan kemurah hatian dewa yang dipuja, atau untuk mendapat anugerah yang nyata dari dewa, yang erat hubungannya dengan keperluan sehari-hari, seperti kekayaan akan ternak, harta dan anak, kesehatan, hujan, berhasil dalam usaha, terhindar dari mara bahaya dan sebagainya. Lama kelamaan terjadi pergeseran pandangan. Lambat laun orang mulai percaya, bahwa apabila persembahan itu sudah dilakukan sesuai dengan aturan, dan diantar oleh mantra-mantra yang tepat, dewa yang dipuja pasti akan mengabulkan permohonan dari orang yang melakukan persembahan. Selanjutnya berkembang anggapan bahwa dengan upacara dan mantra yang benar bahkan dapat memaksa dewa-dewa untuk memenuhi keinginan orang yang melakukan pemujaan. Lebih lanjut lagi timbul anggapan bahwa para dewa pun sangat tergantung pada saji. Dewa itu dapat hidup disebabkan karena usaha manusia yang setia menyediakan saji. Tanpa saji, tak berartilah dewa-dewa itu. (Soekmono, 1973 : 11).
Oleh karena yang mahir dalam aturan upacara dan mantra-mantra pengantar upacara adalah kaum Brahmana, maka kedudukan kaum Brahmana menjadi sangat penting. Bahkan timbul pandangan bahwa para Brahmana menjadi lebih penting dari dewa. Sebab melalui saji dan mantra para Brahmana dapat memaksa para dewa untuk memenuhi keinginan manusia. Dan kehidupan para dewa sangat tergantung kepada korban yang dilakukan oleh pandita. Bahkan ada ungkapan yang sangat ekstrem, yang menyatakan bahwa matahari tidak akan terbit seandainya para pandita pada pagi hari tidak mempersembahkan korban api (Harun Hadiwijono, 1979 : 16).
Disamping terjadinya perubahan pandangan terhadap para dewa dan saji beserta upacaranya, juga menimbulkan dampak yang berupa struktur kemasyarakatan. Seperti diketahui, pada zaman Veda, masyarakat dibagi menjadi tiga golongan yang disebut Tri Warna, yaitu: Brahmana, Ksatrya dan Waisya. Pada zaman Brahmana pembagian itu menjadi lebih tegas lagi dan ditambahkan lagi satu golongan keempat yang disebut golongan Sudra, sehingga menjadi Catur Warna. Lengkapnya Catur Warna itu sendiri terdiri dari: 1. Brahmana ( para pandita), 2. Ksatrya (raja, bangsawan dan prajurit). 3. Waisya (petani, peternak, tukang dan perniagaan). 4. Sudra (buruh atau budak) (Soekmono, 1973 : 11).
Seperti yang diketahui, pada zaman Veda pembagian tersebut bukan berdasarkan atas keturunan, melainkan semata-mata berdasarkan kewajiban. Tetapi lama-kelamaan golongan Brahmana yang mempunyai kedudukan tertinggi ingin mempertahankan kedudukan tersebut sampai keanak cucunya. Untuk itu disusunlah mitos-mitos untuk memperkuat kedudukannya. Timbullah pada zaman ini cerita-cerita dalam bentuk mitos yang menguraikan asal mula para Brahmana (Harun Hadiwijono, 1979 : 16). Dalam mitos tersebut diceritakan bahwa Brahmana lahir dari mulut dewa Brahma, Ksatrya lahir dari tangan, Waisya lahir dari perut dan Sudra lahir dari telapak kaki. Kemudian disusun pula teori-teori yang mengatakan bahwa kaum Brahmanalah satu-satunya perantara masyrakat dengan dewa. Hanya merekalah yang dapat mendatangkan dewa-dewa. Hanya merekalah yang dapat memberikan petunjuk tentang upacara-upacara. Dari teori-teori tersebut teranglah bahwa para pandita member kedudukan yang sebaik-baiknya kepada golongan sendiri dan mencoba mengikat rakyat dan masyarakat kepada system tersebut (Woyowasito, 1953 : 15-16). Teori-teori kaum brahmana ini disusun dalam suatu ajaran yang disebut Brahmana Purana.
Juga ada disebutkan bahwa kaum Sudra tidak boleh membaca atau mendengarkan Veda (Soekmono, 1973 : 12). Tidak jelas latar belakang dari larangan tersebut. Ada kemuingkinan larangan tersebut mempunyai maksud agar rakyat tetap bodoh, sehingga selamanya tergantung kepada kaum Brahmana. Disamping itu, isi ajaran-ajaran Veda diberi tafsiran-tafsiran baru. Cara mereka memberi keterangan tidak karuan, menurut kehendak hati sendiri saja (Wojowasito, 1953 : 17). Dengan demikian timbullah kitab-kitab yang berlainan sekali sifatnya dibandingkan dengan kitab-kitab Veda-Samhita (Harun Hadiwijono, 1982 : 12).
Kedudukan kaum Brahmana semakin lama semakin kuat. Bukan saja rakyat jelata yang bodoh terbius oleh teori-teori tersebut. Bahkan golongan Ksatrya yang gagah perkasa itu pun lambat laun tunduk kepada mereka, walaupun golongan Ksatrya tersebut tidak menyerah begitu saja. Sebagaimana halnya dengan sejarah Eropa dan lain-lain benua didunia ini, dalam sejarah India pun didapati perlawanan antara ulama dengan raja-raja. Jadi antara Agama dan Negara. Di Eropa, kaum rajalah yang keluar sebagai pemenang dalam perlawanan ini sehingga dasar hidup orang Eropa ditekankan pada soal materi. Sebaliknya di India yang keluar sebagai pemenang adalah golongan Agama, sehingga dasar hidup bangsa India adalah Spiritual (Sihombing,-:20). Kemenangan kaum Brahmana terhadap kaum Ksatrya inilah yang mengilhami cerita Rama Parasu. Dimana Rama Parasu (Brahmana) dapat mengalahkan kaum Ksatrya.
Pada zaman ini dikembangkan ajaran-ajaran pelengkap Veda yang disebut Vedangga. Mula-mula ajaran Vedangga itu diuraikan secara lisan, tetapi kemudian dibukukan dalam bentuk sutra, yaitu uraian-uraian prosa yang disusun secara singkat dengan maksud supaya mudah dihafal dan mudah digunakan sebagai buku pegangan (Harun Hadiwijono, 1979 : 52 dan 1982 : 20). Menurut cabang pengetahuan yang dibahas Vedangga dapat diklasifikasikan atas enam kelompok, dan disebut Sad Vedangga. Adapun keenam Sad Vedangga tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Siksa, yaitu ilmu tentang cara mengeja atau cara membaca.
b.      Wyakarana, yaitu ilmu tentang tata bahasa.
c.       Chanda, yaitu ilmu tentang irama atau cara-cara melagukan syair-syair Veda.
d.      Niruktha, yaitu ilmu tentang kosa kata yang digunakan dalam Veda.
e.       Jyotisa, yaitu ilmu tentang perbintangan, yang digunakan untuk menentukan hari baik dalam menyelenggarakan suatu jenis upacara tertentu.
f.       Kalpa, yaitu ilmu tentang pedoman pelaksanaan upacara. Kalpa Sutra merupakan sutra yang sangat penting pada zaman ini, dan terdiri dari: 1. Srauta Sutra, yaitu kitab yang memuat pedoman tentang berbagai jenis upacara yang bersifat umum, dan 2. Griha Sutra, yaitu kitab yang memuat pedoman tentang berbagai upacara yang dilakukan dalam keluarga (Pudja, 1985 : 58-65).
Pada zaman ini juga muncul konsep Catur Asrama Dharma, yaitu suatu konsep social tentang kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan tingkatan hidup. Berdasarkan tingkatan hidup yang dilalui manusia, maka ada empat jenis asrama yaitu:
1.      Brahmacarya, yaitu masa berguru
Anak sekitar umur 8 (delapan) tahun mulai diserahkan kepada seorang acarya atau guru. Dengan upacara upanayana ia resmi menjadi seorang brahmacari. Ia mempelajari Veda. Setelah tamat ia kembali ke rumah orangtuanya.

2.      Grhasta, yaitu masa berumah tangga
Dalam tahap ini ia harus berkeluarga dan mempunyai anak sebanyak mungkin, dan harus ada anak laki-laki. Hal ini disebabkan karena anak lelaki mempunyai tugas keagamaan. Selama menjalani masa grhasta ia harus mempelajari Veda lebih lanjut, melakukan upacara, dan bersedekah.

3.      Wanaprasta, yaitu tahap menjadi penghuni hutan (bertapa)
Setelah semua anak-anaknya berumah tangga, dan setelah keelahiran cucu pertama dari semua anak-anaknya, maka ia sendiri atau bersama istrinya harus meninggalkan anak cucunya dan pergi ke hutan untuk bertapa. Yang dimaksud bertapa adalah melakukan pendekatan diri secara batin kepada Tuhan.

4.      Sannyasa atau Parivrajaka, yaitu tahap kelepasan
Dalam tahap ini ia harus melepas segala kehidupan duniawi, hidup mengembara tanpa membawa apa-apa kecuali pakaian yang dipakai. Dalam tahap ini ia sudah bebas dari segala kewajibannya, termasuk tidak wajib melakukan saji.

Sehubungan dengan Wanaprasta dan Sannyasa Asrama, Swami Prabhavananda memberikan komentar bahwa pada masa Wanaprasta ia tidak lagi dikenakan kewajibannya untuk melakukan ritual yajna, tetapi dianjurkan untuk meditasi. Akhirnya pada masa Sannyasa ia memasuki tahap penyangkalan diri, yaitu dia tidaak lagi diikat oleh kerja maupun keinginan (Swami Prabhavananda, 1995 : 39). Pelaksanaan Catur Asrama, khususnya pelaksanaan Wanaprasta membawa perkembangan lebih lanjut. Mereka yang sudah pergi ke hutan dan hidup sebagai pertapa sudah tidak tertarik lagi akan peraturan-peraturan berbagai jenis saji dan upacara. Mereka mulai memikirkan hakikat hidup yang lebih dalam dan ingin mencapai tingkatan hidup yang lebih tinggi. Mereka lalu menyusun pedoman-pedoman hidup di hutan sebagai pertapa. Buku-buku pedoman itu disebut Aranyaka. Jadi sebagai Aranyaka merupakan cara-cara bagaimana menjalani hidup di hutan. Aranyaka sendiri berarti buku hutan (Abu Suud, 1998 : 57).






















BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Zaman Brahmana mulai kira-kira tahun 1.000 SM hingga kira-kira 750 SM, Zaman ini ditandai dengan disusunnya buku-buku Brahmana, yaitu buku-buku yang menguraikan dan menjelaskan tentang saji dan upacaranya, apa artinya sesuatu saji, apa syarat-syaratnya, tenaga gaib apa yang tersimpul dalam upacaranya. Tiap-tiap weda mempunyai buku-buku Brahmana sendiri-sendiri. Rgveda buku Brahmananya bernama Aitareya. Satapata Brahmana dan Taitiriya menjadi milik Yayurveda. Tandya dan Arseya merupakan milik Samaveda. Sedangkan kitab Brahmana dari Atharwaveda disebut Sopata. Buku-buku Brahmana itu berisi petunjuk mengenai peraturan Agama serta penjelasan tentang arti Veda yang sering dalam bentuk mitologi. Buku-buku tersebut merupakan buku-buku tambahan yang digolongkan sebagai buku tafsir yang memberikan keterangan atas buku suci Veda.
Pada zaman ini dikembangkan ajaran-ajaran pelengkap Veda yang disebut Vedangga. Mula-mula ajaran Vedangga itu diuraikan secara lisan, tetapi kemudian dibukukan dalam bentuk sutra, yaitu uraian-uraian prosa yang disusun secara singkat dengan maksud supaya mudah dihafal dan mudah digunakan sebagai buku pegangan. Pada zaman ini juga muncul konsep Catur Asrama Dharma, yaitu suatu konsep social tentang kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan tingkatan hidup.

Saran-saran
Agama Hindu sangat terkenal dengan kebudayaannya itu disebabkan, karena sejarah perkembangan Agama Hindu baik di India maupun di Indonesia khususnya di Bali sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan beragama khususnya Agama Hindu untuk mengajegkan kebudayaan tersebut supaya tetap ajeg dan lestari. Marilah kita belajar dari sejarah-sejarah masa lampau dari perkembangan Agama Hindu baik di India maupun di Indonesia dan terus kita kembangkan tiga kerangka dasar Agama Hindu yaitu, Tatwa, Susila dan Upacara sehingga terjadi suatu keharmonisan antara Tuhan, Manusia dan  Alam.




DAFTAR PUSTAKA


1.      Wojowasito. 1953. Sejarah Kebudayaan Indonesia, India Zaman Purbakala. Jakarta : Siliwangi.
2.      Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia  2. Jakarta : Yayasan Kanisius.
3.      Hadiwijono, Harun. 1982. Agama Hindu dan Budha. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
4.      Pudja, G., M.A., S.H. 1995. Satu Pengantar Dalam Ilmu Weda. Denpasar : Paramita.
5.      Sivananda, Swami. 1993. Intisari Ajaran Hindu. Alih Bahasa Tim Penterjemah Yayasan Sanatana Dharmasrama. Surabaya : Paramita.
6.      Nurkancana, Wayan. 1997. Menguak Tabir Perkembangan Hindu. Denpasar : Pustaka Bali Post.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar