BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan agama Hindu di India,
pada hakekatnya dapat dibagi menjadi empat fase, yakni Zaman Weda, Zaman
Brahmana, Zaman Upanisad dan Zaman Budha. Dari peninggalan benda-benda
purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang
tinggal di India pada zamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah
satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan
Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada zaman
ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap Dewa-dewa.
B. Rumusan
Masalah
Menjelaskan
perkembangan Agama Hindu Di India yang dibagi menjadi empat fase, yaitu
diantaranya menjelaskan tentang Zaman Brahmana dan perkembangan kehidupan masyarakatnya
pada zaman itu!.
C.
Tujuan Penulisan
Untuk melengkapi tugas yang telah diberikan oleh
dosen tentang perkembangan Agama Hindu pada zaman Brahmana.
D.
Manfaat Penulisan
o
Bagi Mahasiswa, pembahasan ini akan
bermanfaat untu memperdalam pengetahuan tentang perkembangan Agama Hindu pada
zaman Brahmana.
o
Bagi Kampus, pembahasan ini bisa
digunakan sebagai dokumen yang nantinya bisa disimpan di Perpustakaan.
o
Bagi Masyarakat, pembahasan ini akan
memberi pengetahuan baru tentang sejarah Agama Hindu di India.
E.
Metode Penulisan
Penulis mencari sumber-sumber yang berkaitan dengan
Zaman Brahmana dari buku-buku bacaan di Perpustakaan, media internet, observasi
dan wawancara terhadap masyarakat yang memahami tentang Zaman Brahmana.
BAB
II
PEMBAHASAN
ZAMAN BRAHMANA
Zaman
Brahmana mulai kira-kira tahun 1.000 SM hingga kira-kira 750 SM (Harun
Hadiwiyono, 1982 : 12). Zaman ini ditandai dengan disusunnya buku-buku
Brahmana, yaitu buku-buku yang menguraikan dan menjelaskan tentang saji dan
upacaranya, apa artinya sesuatu saji, apa syarat-syaratnya, tenaga gaib apa
yang tersimpul dalam upacaranya dan sebagainya (Soekmono, 1973 : 11). Tiap-tiap
weda mempunyai buku-buku Brahmana sendiri-sendiri. Rgveda buku Brahmananya
bernama Aitareya. Satapata Brahmana dan Taitiriya menjadi milik Yayurveda. Tandya
dan Arseya merupakan milik Samaveda. Sedangkan kitab Brahmana dari Atharwaveda
disebut Sopata (Swami Sivananda, 1993 : 16).
Buku-buku
Brahmana itu berisi petunjuk mengenai peraturan Agama serta penjelasan tentang
arti Veda yang sering dalam bentuk mitologi. Buku-buku tersebut merupakan
buku-buku tambahan yang digolongkan sebagai buku tafsir yang memberikan
keterangan atas buku suci Veda (Abu Suud, 1998 : 56-57). Wojowasito juga mengungkapkan bahwa isi buku
Brahmana itu merupakan teori, system dan peraturan yang dikarang oleh para
Padri sendiri (Wojowasito, 1953 : 15). Dari kedua kutipan di atas jelaslah
bahwa isi buku-buku Brahmana tersebut bukanlah Sabda Tuhan, melainkan merupakan
penjabaran, pengembangan dan penjelasan isi Veda berdasarkan penafsiran
penyusunnya.
Dampak
dari tersusunnya dan pemasyarakatan buku-buku Brahmana tersebut, adalah
berubahnya pandangan masyarakat terhadap dewa dan saji beserta upacaranya.
Seperti telah disinggung, pada zaman Veda persembahan kepada dewa dimaksudkan
untuk mendapatkan kemurah hatian dewa yang dipuja, atau untuk mendapat anugerah
yang nyata dari dewa, yang erat hubungannya dengan keperluan sehari-hari,
seperti kekayaan akan ternak, harta dan anak, kesehatan, hujan, berhasil dalam
usaha, terhindar dari mara bahaya dan sebagainya. Lama kelamaan terjadi
pergeseran pandangan. Lambat laun orang mulai percaya, bahwa apabila
persembahan itu sudah dilakukan sesuai dengan aturan, dan diantar oleh
mantra-mantra yang tepat, dewa yang dipuja pasti akan mengabulkan permohonan
dari orang yang melakukan persembahan. Selanjutnya berkembang anggapan bahwa
dengan upacara dan mantra yang benar bahkan dapat memaksa dewa-dewa untuk
memenuhi keinginan orang yang melakukan pemujaan. Lebih lanjut lagi timbul
anggapan bahwa para dewa pun sangat tergantung pada saji. Dewa itu dapat hidup
disebabkan karena usaha manusia yang setia menyediakan saji. Tanpa saji, tak
berartilah dewa-dewa itu. (Soekmono, 1973 : 11).
Oleh
karena yang mahir dalam aturan upacara dan mantra-mantra pengantar upacara
adalah kaum Brahmana, maka kedudukan kaum Brahmana menjadi sangat penting.
Bahkan timbul pandangan bahwa para Brahmana menjadi lebih penting dari dewa.
Sebab melalui saji dan mantra para Brahmana dapat memaksa para dewa untuk
memenuhi keinginan manusia. Dan kehidupan para dewa sangat tergantung kepada
korban yang dilakukan oleh pandita. Bahkan ada ungkapan yang sangat ekstrem,
yang menyatakan bahwa matahari tidak akan terbit seandainya para pandita pada
pagi hari tidak mempersembahkan korban api (Harun Hadiwijono, 1979 : 16).
Disamping
terjadinya perubahan pandangan terhadap para dewa dan saji beserta upacaranya,
juga menimbulkan dampak yang berupa struktur kemasyarakatan. Seperti diketahui,
pada zaman Veda, masyarakat dibagi menjadi tiga golongan yang disebut Tri
Warna, yaitu: Brahmana, Ksatrya dan Waisya. Pada zaman Brahmana pembagian itu
menjadi lebih tegas lagi dan ditambahkan lagi satu golongan keempat yang
disebut golongan Sudra, sehingga menjadi Catur Warna. Lengkapnya Catur Warna
itu sendiri terdiri dari: 1. Brahmana ( para pandita), 2. Ksatrya (raja,
bangsawan dan prajurit). 3. Waisya (petani, peternak, tukang dan perniagaan).
4. Sudra (buruh atau budak) (Soekmono, 1973 : 11).
Seperti
yang diketahui, pada zaman Veda pembagian tersebut bukan berdasarkan atas
keturunan, melainkan semata-mata berdasarkan kewajiban. Tetapi lama-kelamaan
golongan Brahmana yang mempunyai kedudukan tertinggi ingin mempertahankan
kedudukan tersebut sampai keanak cucunya. Untuk itu disusunlah mitos-mitos
untuk memperkuat kedudukannya. Timbullah pada zaman ini cerita-cerita dalam
bentuk mitos yang menguraikan asal mula para Brahmana (Harun Hadiwijono, 1979 :
16). Dalam mitos tersebut diceritakan bahwa Brahmana lahir dari mulut dewa
Brahma, Ksatrya lahir dari tangan, Waisya lahir dari perut dan Sudra lahir dari
telapak kaki. Kemudian disusun pula teori-teori yang mengatakan bahwa kaum
Brahmanalah satu-satunya perantara masyrakat dengan dewa. Hanya merekalah yang
dapat mendatangkan dewa-dewa. Hanya merekalah yang dapat memberikan petunjuk
tentang upacara-upacara. Dari teori-teori tersebut teranglah bahwa para pandita
member kedudukan yang sebaik-baiknya kepada golongan sendiri dan mencoba
mengikat rakyat dan masyarakat kepada system tersebut (Woyowasito, 1953 :
15-16). Teori-teori kaum brahmana ini disusun dalam suatu ajaran yang disebut
Brahmana Purana.
Juga
ada disebutkan bahwa kaum Sudra tidak boleh membaca atau mendengarkan Veda
(Soekmono, 1973 : 12). Tidak jelas latar belakang dari larangan tersebut. Ada
kemuingkinan larangan tersebut mempunyai maksud agar rakyat tetap bodoh,
sehingga selamanya tergantung kepada kaum Brahmana. Disamping itu, isi
ajaran-ajaran Veda diberi tafsiran-tafsiran baru. Cara mereka memberi
keterangan tidak karuan, menurut kehendak hati sendiri saja (Wojowasito, 1953 :
17). Dengan demikian timbullah kitab-kitab yang berlainan sekali sifatnya
dibandingkan dengan kitab-kitab Veda-Samhita (Harun Hadiwijono, 1982 : 12).
Kedudukan
kaum Brahmana semakin lama semakin kuat. Bukan saja rakyat jelata yang bodoh
terbius oleh teori-teori tersebut. Bahkan golongan Ksatrya yang gagah perkasa
itu pun lambat laun tunduk kepada mereka, walaupun golongan Ksatrya tersebut
tidak menyerah begitu saja. Sebagaimana halnya dengan sejarah Eropa dan
lain-lain benua didunia ini, dalam sejarah India pun didapati perlawanan antara
ulama dengan raja-raja. Jadi antara Agama dan Negara. Di Eropa, kaum rajalah
yang keluar sebagai pemenang dalam perlawanan ini sehingga dasar hidup orang
Eropa ditekankan pada soal materi. Sebaliknya di India yang keluar sebagai
pemenang adalah golongan Agama, sehingga dasar hidup bangsa India adalah
Spiritual (Sihombing,-:20). Kemenangan kaum Brahmana terhadap kaum Ksatrya
inilah yang mengilhami cerita Rama Parasu. Dimana Rama Parasu (Brahmana) dapat
mengalahkan kaum Ksatrya.
Pada
zaman ini dikembangkan ajaran-ajaran pelengkap Veda yang disebut Vedangga.
Mula-mula ajaran Vedangga itu diuraikan secara lisan, tetapi kemudian dibukukan
dalam bentuk sutra, yaitu uraian-uraian prosa yang disusun secara singkat
dengan maksud supaya mudah dihafal dan mudah digunakan sebagai buku pegangan
(Harun Hadiwijono, 1979 : 52 dan 1982 : 20). Menurut cabang pengetahuan yang
dibahas Vedangga dapat diklasifikasikan atas enam kelompok, dan disebut Sad
Vedangga. Adapun keenam Sad Vedangga tersebut adalah sebagai berikut:
a. Siksa,
yaitu ilmu tentang cara mengeja atau cara membaca.
b. Wyakarana,
yaitu ilmu tentang tata bahasa.
c. Chanda,
yaitu ilmu tentang irama atau cara-cara melagukan syair-syair Veda.
d. Niruktha,
yaitu ilmu tentang kosa kata yang digunakan dalam Veda.
e. Jyotisa,
yaitu ilmu tentang perbintangan, yang digunakan untuk menentukan hari baik
dalam menyelenggarakan suatu jenis upacara tertentu.
f. Kalpa,
yaitu ilmu tentang pedoman pelaksanaan upacara. Kalpa Sutra merupakan sutra
yang sangat penting pada zaman ini, dan terdiri dari: 1. Srauta Sutra, yaitu
kitab yang memuat pedoman tentang berbagai jenis upacara yang bersifat umum,
dan 2. Griha Sutra, yaitu kitab yang memuat pedoman tentang berbagai upacara
yang dilakukan dalam keluarga (Pudja, 1985 : 58-65).
Pada
zaman ini juga muncul konsep Catur Asrama Dharma, yaitu suatu konsep social
tentang kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan tingkatan hidup.
Berdasarkan tingkatan hidup yang dilalui manusia, maka ada empat jenis asrama
yaitu:
1. Brahmacarya,
yaitu masa berguru
Anak sekitar umur 8
(delapan) tahun mulai diserahkan kepada seorang acarya atau guru. Dengan
upacara upanayana ia resmi menjadi seorang brahmacari. Ia mempelajari Veda.
Setelah tamat ia kembali ke rumah orangtuanya.
2.
Grhasta, yaitu masa berumah tangga
Dalam
tahap ini ia harus berkeluarga dan mempunyai anak sebanyak mungkin, dan harus
ada anak laki-laki. Hal ini disebabkan karena anak lelaki mempunyai tugas
keagamaan. Selama menjalani masa grhasta ia harus mempelajari Veda lebih
lanjut, melakukan upacara, dan bersedekah.
3.
Wanaprasta, yaitu tahap menjadi penghuni
hutan (bertapa)
Setelah
semua anak-anaknya berumah tangga, dan setelah keelahiran cucu pertama dari
semua anak-anaknya, maka ia sendiri atau bersama istrinya harus meninggalkan
anak cucunya dan pergi ke hutan untuk bertapa. Yang dimaksud bertapa adalah
melakukan pendekatan diri secara batin kepada Tuhan.
4.
Sannyasa atau Parivrajaka, yaitu tahap
kelepasan
Dalam
tahap ini ia harus melepas segala kehidupan duniawi, hidup mengembara tanpa
membawa apa-apa kecuali pakaian yang dipakai. Dalam tahap ini ia sudah bebas
dari segala kewajibannya, termasuk tidak wajib melakukan saji.
Sehubungan
dengan Wanaprasta dan Sannyasa Asrama, Swami Prabhavananda memberikan komentar
bahwa pada masa Wanaprasta ia tidak lagi dikenakan kewajibannya untuk melakukan
ritual yajna, tetapi dianjurkan untuk meditasi. Akhirnya pada masa Sannyasa ia memasuki
tahap penyangkalan diri, yaitu dia tidaak lagi diikat oleh kerja maupun
keinginan (Swami Prabhavananda, 1995 : 39). Pelaksanaan Catur Asrama, khususnya
pelaksanaan Wanaprasta membawa perkembangan lebih lanjut. Mereka yang sudah
pergi ke hutan dan hidup sebagai pertapa sudah tidak tertarik lagi akan
peraturan-peraturan berbagai jenis saji dan upacara. Mereka mulai memikirkan
hakikat hidup yang lebih dalam dan ingin mencapai tingkatan hidup yang lebih
tinggi. Mereka lalu menyusun pedoman-pedoman hidup di hutan sebagai pertapa.
Buku-buku pedoman itu disebut Aranyaka. Jadi sebagai Aranyaka merupakan
cara-cara bagaimana menjalani hidup di hutan. Aranyaka sendiri berarti buku
hutan (Abu Suud, 1998 : 57).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Zaman
Brahmana mulai kira-kira tahun 1.000 SM hingga kira-kira 750 SM, Zaman ini
ditandai dengan disusunnya buku-buku Brahmana, yaitu buku-buku yang menguraikan
dan menjelaskan tentang saji dan upacaranya, apa artinya sesuatu saji, apa
syarat-syaratnya, tenaga gaib apa yang tersimpul dalam upacaranya. Tiap-tiap
weda mempunyai buku-buku Brahmana sendiri-sendiri. Rgveda buku Brahmananya
bernama Aitareya. Satapata Brahmana dan Taitiriya menjadi milik Yayurveda.
Tandya dan Arseya merupakan milik Samaveda. Sedangkan kitab Brahmana dari
Atharwaveda disebut Sopata. Buku-buku Brahmana itu berisi petunjuk mengenai
peraturan Agama serta penjelasan tentang arti Veda yang sering dalam bentuk
mitologi. Buku-buku tersebut merupakan buku-buku tambahan yang digolongkan sebagai
buku tafsir yang memberikan keterangan atas buku suci Veda.
Pada
zaman ini dikembangkan ajaran-ajaran pelengkap Veda yang disebut Vedangga.
Mula-mula ajaran Vedangga itu diuraikan secara lisan, tetapi kemudian dibukukan
dalam bentuk sutra, yaitu uraian-uraian prosa yang disusun secara singkat
dengan maksud supaya mudah dihafal dan mudah digunakan sebagai buku pegangan.
Pada zaman ini juga muncul konsep Catur Asrama Dharma, yaitu suatu konsep
social tentang kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan tingkatan
hidup.
Saran-saran
Agama
Hindu sangat terkenal dengan kebudayaannya itu disebabkan, karena sejarah
perkembangan Agama Hindu baik di India maupun di Indonesia khususnya di Bali
sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan beragama khususnya Agama Hindu untuk
mengajegkan kebudayaan tersebut supaya tetap ajeg dan lestari. Marilah kita
belajar dari sejarah-sejarah masa lampau dari perkembangan Agama Hindu baik di
India maupun di Indonesia dan terus kita kembangkan tiga kerangka dasar Agama
Hindu yaitu, Tatwa, Susila dan Upacara sehingga terjadi suatu keharmonisan
antara Tuhan, Manusia dan Alam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wojowasito.
1953. Sejarah Kebudayaan Indonesia, India Zaman Purbakala. Jakarta : Siliwangi.
2. Soekmono.
1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia
2. Jakarta : Yayasan Kanisius.
3. Hadiwijono,
Harun. 1982. Agama Hindu dan Budha. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
4. Pudja,
G., M.A., S.H. 1995. Satu Pengantar Dalam Ilmu Weda. Denpasar : Paramita.
5. Sivananda,
Swami. 1993. Intisari Ajaran Hindu. Alih Bahasa Tim Penterjemah Yayasan
Sanatana Dharmasrama. Surabaya : Paramita.
6. Nurkancana,
Wayan. 1997. Menguak Tabir Perkembangan Hindu. Denpasar : Pustaka Bali Post.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar