BAB I
PENDAHULUAN
Pertumbuhan
penduduk dan dinamika pembangunan telah menggeser pemanfaatan lahan yang
akhirnya menimbulkan kompleksitas permasalahan lahan yang semula berfungsi
sebagai media bercocok tanam (pertanian), berangsur-angsur berubah menjadi
multifungsi pemanfaatan. Berubahnya pemanfaatan lahan pertanian ke non
pertanian dapat disebut juga sebagai alih fungsi lahan. Pulau Bali sendiri
tidak luput terkena dampak alih fungsi lahan. Sistem pengairan yang memadukan
keselarasan antara pencipta, alam dan manusia yang biasa disebut subak.
Eksistensi sistem irigasi subak yang ada di Bali sudah ada sejak beradab-abad
lamanya dan mengalami perkembangan pesat sejak masa pemerintahan raja-raja di
Bali dianggap sebagai penopang pertanian di Bali. Namun hal ini pun kini dapat
di goyahkan dengan arus alih fungsi lahan yang kuat melihat perkembangan alih
fungsi lahan dari tahun ke tahun sangat terlihat nyata terjadi di perkotaan.
Walaupun demikian subak sangat diharapkan dapat menjaga keutuhan daerah persawahan
yang ada di Bali. Banyak kalangan yang menganggap bahwa pertanian bisa menjadi
pilar pendukung bagi perekonomian Bali. Kendati demikian, pertanian Bali juga
dihadapkan dengan banyak kendala. Salah satunya adalah mengenai penyesuaian dan
penggunaan lahan. Perkembangan arus pariwisata di Bali yang sangat besar
membuat lahan pertanian menjadi tertekan. Kebijakan pemerintah dalam hal
pembangunan sarana dan prasarana pendukung sektor pariwisata yang memanfaatkan
lahan pertanian, membuat para investor dalam maupun luar negeri banyak memburu
lahan-lahan yang produktif di bidang pertanian berubah menjadi lahan bidang
pariwisata. Kontibusi yang besar kepada para pemilik lahan menjadi salah satu
cara untuk meluluhkan para pemilik lahan agar lahannya dapat digunakan menjadi
sektor pariwisata.
Konversi lahan dapat diartikan
sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya
semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak
negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri (Utomo dkk,
1992). Menurut Kustiawan (1997), alih fungsi lahan berarti alih fungsi atau
mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya
lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Sejalan dengan itu Sinaga
(2006), mengartikan alih fungsi lahan sebagai transformasi dalam bentuk
pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya,
namun secara terminology dalam kajian land economic, pengertiannya
terutama difokuskan pada proses dialihfungsikannya lahan dari lahan pertanian
ke bentuk penggunaan lainnya, khususnya dalam sektor industri. Menurut Zarmawis
Ismail (2000:8), ”Sebagaimana diketahui, bahwa problema kemiskinan bersifat
multi dimensional, karena pada umumnya kondisi kemiskinan selain berhubungan
dengan persoalan-persoalan struktural (seperti ketersediaan sarana dan
prasarana) dan ekonomi, juga berkaitan dengan masalah-masalah non ekonomi,
seperti masalah sosio-kultural.
Konversi lahan merupakan konsekuensi logis dari peningkatan
aktivitas dan jumlah penduduk serta proses pembangunan lainnya. Menurut
statistika BPS (1989) setiap tahun kita kehilangan sampai sekitar 10.000 hektar
sawah yang berpengairan. Tahun 2008, luas lahan pertanian yang tersisa di
Indonesia adalah sebesar 7,7 juta hektar dengan laju konversi 110.000 hektar
sawah pertahun. Konversi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi,
namun pada kenyataannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi di atas
lahan pertanian yang masih produktif. Berbagai peraturan telah dikeluarkan oleh
pemerintah untuk membatasi terjadinya fenomena alih fungsi lahan, namun upaya
ini tidak banyak berhasil karena adanya kemudahan untuk merubah kondisi fisik
lahan sawah, peraturan yang bertujuan untuk mengendalikan konversi lahan secara
umum hanya bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, serta ijin
konversi merupakan keputusan kolektif sehingga sulit ditelusuri pihak mana yang
bertanggung jawab atas pemberian ijin konversi lahan.
BAB II
ANALISIS
2.1 Konversi Lahan
Menurut
Utomo dkk (1992) mendefenisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai
konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari
fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi
dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri.
Alih fungsi lahan berarti perubahan/ penyesuaian peruntukan penggunaan,
disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya
tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Sihaloho (2004) membagi konversi
lahan kedalam tujuh pola atau tipologi, yaitu:
1.
Konversi gradual berpola sporadis;
dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan yang kurang/ tidak produktif dan
terdesakan ekonomi pelaku konversi.
2.
Konversi sistematik berpola
‘enclave’ dikarenakan lahan kurang produktif, sehingga konversi dilakukan
secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah.
3.
Konversi lahan sebagai respon atas
pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion); lebih lanjut
disebut konversi adaptasi demografi, di mana dengan meningkatnya pertumbuhan
penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi kebutiuhan tempat tinggal.
4.
Konversi yang disebabkan oleh
masalah sosial (social problem driven land conversion); disebabkan oleh dua
faktor yakni keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan.
5.
Konversi tanpa beban; dipengaruhi
oleh faktor keinginan untuk mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat
ini dan ingin keluar dari kampung
6.
Konversi adaptasi agraris;
disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan keinginan untuk berubah dari
masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian.
7.
Konversi multi bentuk atau tanpa
bentuk; konversi dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan
untuk perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang
tidak dijelaskan dalam konversi demografi.
Menurut Lestari
(2009) proses alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian yang
terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Tiga faktor penting yang menyebabkan
terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu sebagai berikut.
1. Faktor
eksternal merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan
perkotaan, demografi maupun ekonomi.
2. Faktor
internal dimana faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna
lahan.
3.
Faktor kebijakan merupakan aspek regulasi yang
dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan
fungsi lahan pertanian. Kelemahan pada aspek regulasi atau peraturan itu
sendiri terutama terkait dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan
akurasi objek lahan yang dilarang dikonversi.
Provinsi Bali, selama periode waktu
tahun 2000 hingga tahun 2005, total luas lahan sawah telah mengalami penurunan
sekitar 4.566 ha, yaitu dari 85.776 ha menjadi 81.210 ha, dengan kata lain,
selama periode waktu tersebut lahan sawah di provinsi ini telah terkonversi
rata-rata sekitar 913,20 ha (1,09%) per tahun. Alih fungsi lahan yang terbanyak
terjadi di daerah Jembrana. Namun bukan hanya Jembrana saja yang menjadi
sorotan kini daerah Badung dan Denpasar pun sudah menunjukkan alih fungsi lahan
yang pesat. Berkembangnya sektor pariwisata yang tidak dapat dibendung menjadi
penyebab utama alih fungsi lahan di daerah ini. Kecamatan Kuta Kabupaten Badung
yang merupakan daerah pusat pariwisata telah menyebabkan daerah di sekitarnya
tidak luput terkena dampaknya. Tak hanya di daerah pinggiran, kini daerah
Badung sudah mulai merambah ke
tengah-tengah pedesaan. Hal ini dapat dilihat dengan mulai terjadinya alih
fungsi lahan pada Desa Tibubeneng yang merupakan salah satu desa di Kecamatan
Kuta Utara Kabupaten Badung. Masyarakat di desa ini banyak yang
mengalihfungsikan lahan sawahnya menjadi lahan pendukung pariwisata
seperti villa dan supermarket. Selain itu, pertambahan penduduk
juga menyebabkan pembangunan perumahan di lahan sawah para pemilik lahan.
2.2 Dampak
Negatif Konversi Lahan Pertanian
2.2.1 Dampak Konversi Lahan
Konversi lahan berimplikasi pada perubahan struktur
agraria, beberapa perubahan
yang terjadi, yaitu:
1.
Perubahan pola
penguasaan lahan. Pola penguasaan tanah dapat diketahui dari pemilikan tanah
dan bagaimana tanah tersebut diakses oleh orang lain. Perubahan yang terjadi
akibat adanya konversi yaitu terjadinya perubahan jumlah penguasaan tanah.
Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa petani pemilik berubah menjadi penggarap
dan petani penggarap berubah menjadi buruh tani. Implikasi dari perubahan ini
yaitu buruh tani sulit mendapatkan lahan dan terjadinya proses marginalisasi.
2.
Perubahan pola
penggunaan tanah. Pola penggunaan tanah dapat dari bagaimana masyarakat dan
pihak-pihak lain memanfaatkan sumber daya agraria tersebut. Konversi lahan
menyebabkan pergeseran tenaga kerja dalam pemanfaatan sumber agraria, khususnya
tenaga kerja wanita. Konversi lahan mempengaruhi berkurangnya kesempatan kerja
di sektor pertanian. Selain itu, konversi lahan menyebabkan perubahan pada
pemanfaatan tanah dengan intensitas pertanian yang makin tinggi. Implikasi dari
berlangsungnya perubahan ini adalah dimanfaatkannya lahan tanpa mengenal sistem
“bera”, khususnya untuk tanah sawah.
3.
Perubahan pola
hubungan agraria. Tanah yang makin terbatas menyebabkan memudarnya sistem bagi
hasil tanah “maro” menjadi “mertelu”. Demikian juga dengan munculnya sistem
tanah baru yaitu sistem sewa dan sistem jual gadai. Perubahan terjadi karena
meningkatnya nilai tanah dan makin terbatasnya tanah.
4.
Perubahan pola
nafkah agraria. Pola nafkah dikaji berdasarkan sistem mata pencaharian
masyarakat dari hasil-hasil produksi pertanian dibandingkan dengan hasil non
pertanian. Keterbatasan lahan dan keterdesakan ekonomi rumah tangga menyebabkan
pergeseran sumber mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor non
pertanian.
5.
Perubahan sosial
dan komunitas. Konversi lahan dapat menyebabkan kemunduran kemampuan ekonomi
(pendapatan yang semakin menurun).
2.2.2 Dampak Konversi Lahan Sawah
Dampak konversi lahan sawah dapat
dipandang dari dua sisi. Pertama, dari fungsinya, lahan sawah diperuntukan
untuk memproduksi padi, dengan demikian adanya konversi lahan sawah ke fungsi lain akan menurunkan
produksi padi nasional. Kedua, dari bentuknya perubahan lahan sawah ke pemukiman,
perkantoran, prasarana jalan dan lainnya berimplikasi besarnya kerugian akibat
sudah diinvestasikannya dana untuk mencetak sawah, membangun waduk dan sistem
irigasi. Volume produksi yang hilang akibat konversi lahan sawah ditentukan
oleh: pola tanam yang diterapkan di lahan sawah yang belum dikonversi;
produktivitas usahatani dari masing-masing komoditi dari pola tanam yang
diterapkan; dan luas lahan sawah yang terkonversi.
2.3 Pengaturan
dan Pengendalian Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian
Peraturan pemerintah dalam upaya mengatur konversi lahan, di
mana dalam konversi lahan pertanian terdapat beberapa aturan, antara lain:
1.
Peraturan Menteri Dalam Negeri no.5
Tahun 1974 tentang Ketentuan – ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian
Tanah untuk Keperluan Perusahaan.
2.
Keppres No. 53 Tahun 1989 tentang
Kawasan Industri, antara lain ditegaskan bahwa untuk kawasan industri tidak
boleh menggunakan tanah sawah dan tanah pertanian subur lainnya. Dalam
pelaksanaannya, larangan ini telah diberlakukan pula untuk perumahan, jasa dan
lain sebagainya.
3.
Keppres No. 33 Tahun 1990 tentang
Penggunaan Tanah Kawasan Industri.
4.
Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang
Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum.
Dengan begitu banyak permasalahan yang diakibatkan oleh alih
fungsi lahan pertanian, untuk itu ada beberapa strategi penanganan atau
pengendalian tanah secara menyeluruh. Seperti yang dikemukakan oleh Sunito (2005)
strategi yang dapat ditempuh salah satunya adalah memperkecil peluang
terjadinya konversi lahan pertanian. Upaya yang dapat dilakukan untuk
memperkecil terjadinya konversi lahan adalah dari sisi penawaran dan sisi
permintaan. Sunito (2005) juga menjelaskan bahwa dari sisi penawaran dapat
berupa insentif kepada pemilik lahan. Sedangkan dari sisi permintaan dapat
dilihat melalui :
1.
Mengembangkan pajak tanah yang
progresif.
2.
Meningkatkan efisiensi kebutuhan
lahan non pertanian sehingga tidal ada tanah yang sia-sia.
3.
Mengembangkan prinsip hemat lahan
untuk kawasan industri, perumahan dan perdagangan.
Strategi untuk mengendalikan kegiatan konversi lahan
pertanian yang berikutnya adalah dengan membatasi konversi tanah sawah yang
memiliki produktivitas tinggi dan menyerap tenaga kerja pertanian dalam upaya
mengurangi pengangguran. Kemudian mengarahkan kegiatan konversi tanah pertanian
untuk pembangunan kawasan industri, perdagangan dan perumahan pada kawasan yang
kurang produktif. Selanjutnya dengan membatasi luas tanah yang dapat dikonversi
di setiap kabupaten/kota yang mengacu pada kemampuan pengadaan pangan mandiri.
Serta dengan menetapkan Kawasan Pangan Abadi yang tidak boleh di konversi,
dengan pemberian insentif bagi pemilik tanah (Sunito. 2005). Selain
strategi-strategi yang telah dikemukakan oleh Sunito (2005) di atas, penulis
juga dapat memberikan beberapa saran atau penanganan untuk mengatasi adanya
konversi lahan pertanian yang semakin meluas. Strategi yang utama yaitu
mengenai kebijakan pemerintah yang ingin mengganti lahan pertanian menjadi
lahan industri itu harus di ubah, selain itu juga konversi lahan sebaiknya
dilakukan pada lahan yang memang sudah tidak produktif. Alternatif terakhir
yang bisa diharapkan adalah walaupun tetap dilakukan konversi lahan, namun
harus benar-benar memperhatikan kelestarian lingkungan yang ada di pedesaan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Konversi
lahan atau alih fungsi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari
fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi
dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Ada
tujuh pola penyebab konversi lahan, yaitu: konversi gradual berpola sporadis,
konversi sistematik berpola enclave, konversi lahan sebagai respon atas
pertumbuhan penduduk, konversi yang disebabkan oleh masalah sosial, konversi
tanpa beban, konversi adaptasi agraris, konversi multi bentuk atau tanpa
bentuk. Konversi lahan akan memunculkan berbagai dampak-dampak, diantaranya
dampak negatif konversi lahan pertanian, seperti: perubahan pola penguasaan
lahan, perubahan pola penggunaan tanah, perubahan pola hubunggan agraria,
perubahan pola nafkah agraria dan perubahan sosial dan komunitas. Peran serta
dan kerja sama pemerintah dan masyarakat sangat penting diperlukan dalam
melindungi lahan pertanian. Adapun perannya untuk mengendalikan dan memperkecil konversi lahan supaya lahan yang
produktif bisa menghasilkan produktivitas yang tinggi dan lahan yang kurang
produktif dikonversi jika benar-benar diperlukan untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat.
Daftar
Pustaka
Badan Pusat
Statistik Provinsi Bali. 2010. Bali Dalam Angka. Denpasar.
Dinas Kebudayaan
Bali. 2000. Inventori Warisan Budaya
Penting dan Mendesak!. Media Dialog Kebudayaan. No. 007/IV/2000.
Dinas Pertanian Tanaman
Pangan dan Hortikultura (DPTPH) Bali. 2007. Fenomena dan Strategi Kebijakan
Pemerintah Daerah dalam Pengentalian Konversi Lahan Sawah di Provinsi Bali dan
Nusa Tenggara Barat. http://pse.litbang.deptan.go.id. diunduh 20 Desember
2014.
Ismail. Z.
2000. Penanggulangan Kemiskinan
Masyarakat Perkampungan Kumuh Di Yogyakarta: Kasus Kelurahan
Keparakan.Jakarta: Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan-LIPI (PEP-LIPI).
Kustiawan. 1997. Pengertian
Alih Fungsi Lahan. http.//repository.ipb.ac.id. diunduh tanggal 20 Desember
2014.
Lestari T.
2010. Konversi lahan pertanian dan
perubahan taraf hidup rumahtangga petani (Kasus pembangunan X di Kampung
Cibeurem Sunting dan Kampung Pabuaran, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor
Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat). [Skripsi]. Fakultas Ekologi
Manusia: Institut Pertanian Bogor.
Sihaloho, Martua. 2004. Konversi
Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. [Tesis] Fakultas
Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sinaga. 2006. Pengertian Alih Fungsi Lahan.
http.//repository.ipb.ac.id. diunduh tanggal 20 Desember 2014.
Sunito S,
Heru Purwandari dan Dyah Ita Mardiyaningsih. 2005. Penanganan konversi lahan
dan pencapaian lahan pertanian abadi. Prosiding Seminar. 166 hal.
Utomo, M.,
Eddy Rifai dan Abdulmutalib Thahir. 1992. Pembangunan dan Alih Fungsi Lahan.
Lampung: Universitas Lampung.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar