Kamis, 30 April 2015

Konversi Lahan Pertanian Ke Nonpertanian di Bali



BAB I
PENDAHULUAN




Pertumbuhan penduduk dan dinamika pembangunan telah menggeser pemanfaatan lahan yang akhirnya menimbulkan kompleksitas permasalahan lahan yang semula berfungsi sebagai media bercocok tanam (pertanian), berangsur-angsur berubah menjadi multifungsi pemanfaatan. Berubahnya pemanfaatan lahan pertanian ke non pertanian dapat disebut juga sebagai alih fungsi lahan. Pulau Bali sendiri tidak luput terkena dampak alih fungsi lahan. Sistem pengairan yang memadukan keselarasan antara pencipta, alam dan manusia yang biasa disebut subak. Eksistensi sistem irigasi subak yang ada di Bali sudah ada sejak beradab-abad lamanya dan mengalami perkembangan pesat sejak masa pemerintahan raja-raja di Bali dianggap sebagai penopang pertanian di Bali. Namun hal ini pun kini dapat di goyahkan dengan arus alih fungsi lahan yang kuat melihat perkembangan alih fungsi lahan dari tahun ke tahun sangat terlihat nyata terjadi di perkotaan. Walaupun demikian subak sangat diharapkan dapat menjaga keutuhan daerah persawahan yang ada di Bali. Banyak kalangan yang menganggap bahwa pertanian bisa menjadi pilar pendukung bagi perekonomian Bali. Kendati demikian, pertanian Bali juga dihadapkan dengan banyak kendala. Salah satunya adalah mengenai penyesuaian dan penggunaan lahan. Perkembangan arus pariwisata di Bali yang sangat besar membuat lahan pertanian menjadi tertekan. Kebijakan pemerintah dalam hal pembangunan sarana dan prasarana pendukung sektor pariwisata yang memanfaatkan lahan pertanian, membuat para investor dalam maupun luar negeri banyak memburu lahan-lahan yang produktif di bidang pertanian berubah menjadi lahan bidang pariwisata. Kontibusi yang besar kepada para pemilik lahan menjadi salah satu cara untuk meluluhkan para pemilik lahan agar lahannya dapat digunakan menjadi sektor pariwisata.
Konversi lahan dapat diartikan sebagai perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri (Utomo dkk, 1992). Menurut Kustiawan (1997), alih fungsi lahan berarti alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Sejalan dengan itu Sinaga (2006), mengartikan alih fungsi lahan sebagai transformasi dalam bentuk pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya, namun secara terminology dalam kajian land economic, pengertiannya terutama difokuskan pada proses dialihfungsikannya lahan dari lahan pertanian ke bentuk penggunaan lainnya, khususnya dalam sektor industri. Menurut Zarmawis Ismail (2000:8), ”Sebagaimana diketahui, bahwa problema kemiskinan bersifat multi dimensional, karena pada umumnya kondisi kemiskinan selain berhubungan dengan persoalan-persoalan struktural (seperti ketersediaan sarana dan prasarana) dan ekonomi, juga berkaitan dengan masalah-masalah non ekonomi, seperti masalah sosio-kultural.
Konversi lahan merupakan konsekuensi logis dari peningkatan aktivitas dan jumlah penduduk serta proses pembangunan lainnya. Menurut statistika BPS (1989) setiap tahun kita kehilangan sampai sekitar 10.000 hektar sawah yang berpengairan. Tahun 2008, luas lahan pertanian yang tersisa di Indonesia adalah sebesar 7,7 juta hektar dengan laju konversi 110.000 hektar sawah pertahun. Konversi lahan pada dasarnya merupakan hal yang wajar terjadi, namun pada kenyataannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan pertanian yang masih produktif. Berbagai peraturan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk membatasi terjadinya fenomena alih fungsi lahan, namun upaya ini tidak banyak berhasil karena adanya kemudahan untuk merubah kondisi fisik lahan sawah, peraturan yang bertujuan untuk mengendalikan konversi lahan secara umum hanya bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, serta ijin konversi merupakan keputusan kolektif sehingga sulit ditelusuri pihak mana yang bertanggung jawab atas pemberian ijin konversi lahan.







BAB II
ANALISIS


2.1 Konversi Lahan
Menurut Utomo dkk (1992) mendefenisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan berarti perubahan/ penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Sihaloho (2004) membagi konversi lahan  kedalam tujuh pola atau tipologi, yaitu:

1.    Konversi gradual berpola sporadis; dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan yang kurang/ tidak produktif dan terdesakan ekonomi pelaku konversi.
2.    Konversi sistematik berpola ‘enclave’ dikarenakan lahan kurang produktif, sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah.
3.    Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth driven land conversion); lebih lanjut disebut konversi adaptasi demografi, di mana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk memenuhi kebutiuhan tempat tinggal.
4.    Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land conversion); disebabkan oleh dua faktor yakni keterdesakan ekonomi dan perubahan kesejahteraan.
5.    Konversi tanpa beban; dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampung
6.    Konversi adaptasi agraris; disebabkan karena keterdesakan ekonomi dan keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian.
7.    Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk; konversi dipengaruhi oleh berbagai faktor, khususnya faktor peruntukan untuk perkantoran, sekolah, koperasi, perdagangan, termasuk sistem waris yang tidak dijelaskan dalam konversi demografi.

Menurut Lestari (2009) proses alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu sebagai berikut.

1.    Faktor eksternal merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi.
2.    Faktor internal dimana faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi  sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.
3.    Faktor kebijakan merupakan aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian. Kelemahan pada aspek regulasi atau peraturan itu sendiri terutama terkait dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan yang dilarang dikonversi.

Provinsi Bali, selama periode waktu tahun 2000 hingga tahun 2005, total luas lahan sawah telah mengalami penurunan sekitar 4.566 ha, yaitu dari 85.776 ha menjadi 81.210 ha, dengan kata lain, selama periode waktu tersebut lahan sawah di provinsi ini telah terkonversi rata-rata sekitar 913,20 ha (1,09%) per tahun. Alih fungsi lahan yang terbanyak terjadi di daerah Jembrana. Namun bukan hanya Jembrana saja yang menjadi sorotan kini daerah Badung dan Denpasar pun sudah menunjukkan alih fungsi lahan yang pesat. Berkembangnya sektor pariwisata yang tidak dapat dibendung menjadi penyebab utama alih fungsi lahan di daerah ini. Kecamatan Kuta Kabupaten Badung yang merupakan daerah pusat pariwisata telah menyebabkan daerah di sekitarnya tidak luput terkena dampaknya. Tak hanya di daerah pinggiran, kini daerah Badung sudah mulai merambah  ke tengah-tengah pedesaan. Hal ini dapat dilihat dengan mulai terjadinya alih fungsi lahan pada Desa Tibubeneng yang merupakan salah satu desa di Kecamatan Kuta Utara Kabupaten Badung. Masyarakat di desa ini banyak yang mengalihfungsikan lahan sawahnya menjadi lahan pendukung pariwisata seperti villa dan supermarket. Selain itu, pertambahan penduduk juga menyebabkan pembangunan perumahan di lahan sawah para pemilik lahan.


2.2 Dampak Negatif Konversi Lahan Pertanian

2.2.1 Dampak Konversi Lahan
Konversi lahan berimplikasi pada perubahan struktur agraria, beberapa perubahan yang terjadi, yaitu:
1.    Perubahan pola penguasaan lahan. Pola penguasaan tanah dapat diketahui dari pemilikan tanah dan bagaimana tanah tersebut diakses oleh orang lain. Perubahan yang terjadi akibat adanya konversi yaitu terjadinya perubahan jumlah penguasaan tanah. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa petani pemilik berubah menjadi penggarap dan petani penggarap berubah menjadi buruh tani. Implikasi dari perubahan ini yaitu buruh tani sulit mendapatkan lahan dan terjadinya proses marginalisasi.
2.    Perubahan pola penggunaan tanah. Pola penggunaan tanah dapat dari bagaimana masyarakat dan pihak-pihak lain memanfaatkan sumber daya agraria tersebut. Konversi lahan menyebabkan pergeseran tenaga kerja dalam pemanfaatan sumber agraria, khususnya tenaga kerja wanita. Konversi lahan mempengaruhi berkurangnya kesempatan kerja di sektor pertanian. Selain itu, konversi lahan menyebabkan perubahan pada pemanfaatan tanah dengan intensitas pertanian yang makin tinggi. Implikasi dari berlangsungnya perubahan ini adalah dimanfaatkannya lahan tanpa mengenal sistem “bera”, khususnya untuk tanah sawah.
3.    Perubahan pola hubungan agraria. Tanah yang makin terbatas menyebabkan memudarnya sistem bagi hasil tanah “maro” menjadi “mertelu”. Demikian juga dengan munculnya sistem tanah baru yaitu sistem sewa dan sistem jual gadai. Perubahan terjadi karena meningkatnya nilai tanah dan makin terbatasnya tanah.
4.    Perubahan pola nafkah agraria. Pola nafkah dikaji berdasarkan sistem mata pencaharian masyarakat dari hasil-hasil produksi pertanian dibandingkan dengan hasil non pertanian. Keterbatasan lahan dan keterdesakan ekonomi rumah tangga menyebabkan pergeseran sumber mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor non pertanian.
5.    Perubahan sosial dan komunitas. Konversi lahan dapat menyebabkan kemunduran kemampuan ekonomi (pendapatan yang semakin menurun).
2.2.2 Dampak Konversi Lahan Sawah
Dampak konversi lahan sawah dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, dari fungsinya, lahan sawah diperuntukan untuk memproduksi padi, dengan demikian adanya konversi lahan sawah ke fungsi lain akan menurunkan produksi padi nasional. Kedua, dari bentuknya perubahan lahan sawah ke pemukiman, perkantoran, prasarana jalan dan lainnya berimplikasi besarnya kerugian akibat sudah diinvestasikannya dana untuk mencetak sawah, membangun waduk dan sistem irigasi. Volume produksi yang hilang akibat konversi lahan sawah ditentukan oleh: pola tanam yang diterapkan di lahan sawah yang belum dikonversi; produktivitas usahatani dari masing-masing komoditi dari pola tanam yang diterapkan; dan luas lahan sawah yang terkonversi.


2.3 Pengaturan dan Pengendalian Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian
Peraturan pemerintah dalam upaya mengatur konversi lahan, di mana dalam konversi lahan pertanian terdapat beberapa aturan, antara lain:
1.    Peraturan Menteri Dalam Negeri no.5 Tahun 1974 tentang Ketentuan – ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan.
2.    Keppres No. 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri, antara lain ditegaskan bahwa untuk kawasan industri tidak boleh menggunakan tanah sawah dan tanah pertanian subur lainnya. Dalam pelaksanaannya, larangan ini telah diberlakukan pula untuk perumahan, jasa dan lain sebagainya.
3.    Keppres No. 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah Kawasan Industri.
4.    Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum.
Dengan begitu banyak permasalahan yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan pertanian, untuk itu ada beberapa strategi penanganan atau pengendalian tanah secara menyeluruh. Seperti yang dikemukakan oleh Sunito (2005) strategi yang dapat ditempuh salah satunya adalah memperkecil peluang terjadinya konversi lahan pertanian. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperkecil terjadinya konversi lahan adalah dari sisi penawaran dan sisi permintaan. Sunito (2005) juga menjelaskan bahwa dari sisi penawaran dapat berupa insentif kepada pemilik lahan. Sedangkan dari sisi permintaan dapat dilihat melalui :
1.    Mengembangkan pajak tanah yang progresif.
2.    Meningkatkan efisiensi kebutuhan lahan non pertanian sehingga tidal ada tanah yang sia-sia.
3.    Mengembangkan prinsip hemat lahan untuk kawasan industri, perumahan dan perdagangan.
Strategi untuk mengendalikan kegiatan konversi lahan pertanian yang berikutnya adalah dengan membatasi konversi tanah sawah yang memiliki produktivitas tinggi dan menyerap tenaga kerja pertanian dalam upaya mengurangi pengangguran. Kemudian mengarahkan kegiatan konversi tanah pertanian untuk pembangunan kawasan industri, perdagangan dan perumahan pada kawasan yang kurang produktif. Selanjutnya dengan membatasi luas tanah yang dapat dikonversi di setiap kabupaten/kota yang mengacu pada kemampuan pengadaan pangan mandiri. Serta dengan menetapkan Kawasan Pangan Abadi yang tidak boleh di konversi, dengan pemberian insentif bagi pemilik tanah (Sunito. 2005). Selain strategi-strategi yang telah dikemukakan oleh Sunito (2005) di atas, penulis juga dapat memberikan beberapa saran atau penanganan untuk mengatasi adanya konversi lahan pertanian yang semakin meluas. Strategi yang utama yaitu mengenai kebijakan pemerintah yang ingin mengganti lahan pertanian menjadi lahan industri itu harus di ubah, selain itu juga konversi lahan sebaiknya dilakukan pada lahan yang memang sudah tidak produktif. Alternatif terakhir yang bisa diharapkan adalah walaupun tetap dilakukan konversi lahan, namun harus benar-benar memperhatikan kelestarian lingkungan yang ada di pedesaan.



 

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Konversi lahan atau alih fungsi lahan adalah  perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Ada tujuh pola penyebab konversi lahan, yaitu: konversi gradual berpola sporadis, konversi sistematik berpola enclave, konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk, konversi yang disebabkan oleh masalah sosial, konversi tanpa beban, konversi adaptasi agraris, konversi multi bentuk atau tanpa bentuk. Konversi lahan akan memunculkan berbagai dampak-dampak, diantaranya dampak negatif konversi lahan pertanian, seperti: perubahan pola penguasaan lahan, perubahan pola penggunaan tanah, perubahan pola hubunggan agraria, perubahan pola nafkah agraria dan perubahan sosial dan komunitas. Peran serta dan kerja sama pemerintah dan masyarakat sangat penting diperlukan dalam melindungi lahan pertanian. Adapun perannya untuk mengendalikan dan  memperkecil konversi lahan supaya lahan yang produktif bisa menghasilkan produktivitas yang tinggi dan lahan yang kurang produktif dikonversi jika benar-benar diperlukan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.




Daftar Pustaka


Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2010. Bali Dalam Angka. Denpasar.

Dinas Kebudayaan Bali. 2000. Inventori Warisan Budaya Penting dan Mendesak!. Media Dialog Kebudayaan. No. 007/IV/2000.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (DPTPH) Bali. 2007. Fenomena dan Strategi Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pengentalian Konversi Lahan Sawah di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat. http://pse.litbang.deptan.go.id. diunduh 20 Desember 2014.
Ismail. Z. 2000. Penanggulangan Kemiskinan Masyarakat Perkampungan Kumuh Di Yogyakarta: Kasus Kelurahan Keparakan.Jakarta: Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan-LIPI (PEP-LIPI).
Kustiawan. 1997. Pengertian Alih Fungsi Lahan. http.//repository.ipb.ac.id. diunduh tanggal 20 Desember 2014.
Lestari T. 2010. Konversi lahan pertanian dan perubahan taraf hidup rumahtangga petani (Kasus pembangunan X di Kampung Cibeurem Sunting dan Kampung Pabuaran, Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat). [Skripsi]. Fakultas Ekologi Manusia: Institut Pertanian Bogor.
Sihaloho, Martua. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria. [Tesis] Fakultas Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sinaga. 2006. Pengertian Alih Fungsi Lahan. http.//repository.ipb.ac.id. diunduh tanggal 20 Desember  2014.
Sunito S, Heru Purwandari dan Dyah Ita Mardiyaningsih. 2005. Penanganan konversi lahan dan pencapaian lahan pertanian abadi. Prosiding Seminar. 166 hal.
Utomo, M., Eddy Rifai dan Abdulmutalib Thahir. 1992. Pembangunan dan Alih Fungsi Lahan. Lampung: Universitas Lampung.
.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar