BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 ARTI DAN MAKNA
DHARMA
Kata
yang umum dipergunakan oleh umat Hindu di India sebagai istilah kerohanian,
bukanlah kata Agama tetapi kata “Dharma”. Kata Dharma ini berasal dari bahasa
Sansekerta dari urat kata “Dhr” yang artinya menjunjung, memangku, mengatur dan
menuntun. Dharma berarti hukum yang mengatur dan memelihara alam semesta
beserta makhluk semua. Untuk peredaran alam semesta kata dharma dapat diartikan
“kodrat”, sedangkan untuk kehidupan umat manusia, Dharma itu dapat diartikan
Ajaran, kewajiban atau peraturan-peraturan suci yang memelihara dan menuntun
manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup, berupa Dharma yaitu laksana dan budi
pekerti yang tinggi disebut Jagadhita yang akan membawa kebahagian dan
kesejahteraan masyarakat dan ketentraman yang tidak didasarkan atas kebendaan
atau keduniawian yang menyebabkan roh bebas dari penjelmaan dan mendapat
kesucian yang bernama Moksa.
Di
dalam Mahabrata terdapatlah keterangan-keterangan yang menerangkan makna kata
Dharma itu bunyinya sebagai berikut:
1.
Dharanad
dharma ityahur
Dharmena
widhrtah prajah
(Çantiparwa 109.11)
Dharma dikatakan datang
dari kata dharana (yang berarti memangku atau mengatur).
Dengan Dharma semua
makhluk diatur (dipelihara).
2.
Dharmane
dharyate sarwam
Jagat
sthawarajanggaman.
(Mahabharata 2.28)
Semua alam,
tumbuh-tumbuhan dan binatang
Diatur oleh Dharma (kodrat).
3.
Lokasamgrahasamyuktam
Widatrawihitam
pura
Suksmadharmarthaniyatam
Satam
caritam utta mam.
(Çantiparwa 259.26)
Kesentosaan umat
manusia dan kesejahteraan masyarakat datang dari Dharma, laksana dan budi yang
luhur untuk kesejahteraan manusia itulah Dharma yang utama.
Dengan
keterangan dan kutipan sloka di atas jelas kiranya arti dan makna Dharma itu.
Perlu sedikit ditambahkan, bahwa uraian kata Dharma tersebut di atas sesuai
dengan kata Rta di dalam Weda yang berarti hukum kodart alam dan hukum tata
tertib kehidupan dan kesusilaan yang abadi.
2.2
TUJUAN AGAMA ATAU DHARMA
Apakah perlunya ajaran-ajaran suci Agama
atau Dharma diwahyukan kedunia?. Tujuannya sebagai yang telah disebutkan
didalam uraian kata Dharma yaitu : menuntun umat manusia untuk mencapai
kesempurnaan hidup berupa kesucian batin laksana dan budi pekerti yang
luhur(Dharma) yang memberi kebahagian dan kesejahteraan material kepada sesama
manusia dan makhluk yang disebut Jagadhita dan memberi ketentraman rohani,
sumber kebahagian abadi, sukha tanpawali dukha, yang tiada didasarkan atas
terpenuhnya nafsu duniawi, memberi kesucian dan menyebabkan roh bebas dari
penjelmaan serta merasakan menunggal dengan Tuhan, yang disebut M o k s a.
“Mokas
artham jagad hitaya ca iti Dharmah”.
“Tujuan Agama ialah untuk mendapat moksa
dan Jagadhita.
Di
dalam menurut bahtra hidup, manusia sering disesatkan oleh kabut kegelapan
berupa kebodohan dan ketidaksadaran yang disebut Awidya, yang menimbulkan nafsu
serakah, yang sering menjerumuskan mereka kelembah dosa dan malapetaka. Oleh
karena itu, Tuhan mewahyukan ajaran suci kerohanian Agama atau Dharma untuk
menyalakan api kebijaksanaan dan kesadaran atau Widya umatnya guna mencapai
kesempurnaan itu. Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang menurunkan Agama
kedunia, bukan untuk kepentinganNya sendiri, hendaknya manusia memuji-muji dan
mengagungkan kebesaranNya.
Ia mewahyukan ajaran Agama dengan
perantara para Rsi dan para Nabi bukan mengharap sanjungan dan pujian. Tuhan
pencipta yang Maha Agung, yang sempurna dalam segala-galanya tiada pernah
gelisah hendak dipuja dan disanjung, sedangkan manusia biasa, bila masih
mengharapkan sanjungan dan pujian masih dapat dikatakan belum sempurna, apalagi
Tuhan. Demi untuk kesejahteraan dan kesempurnaan hidup manusia. Ia menurunkan
ajaran suci kerohanian kedunia. Tetapi sayang wahyunya yang suci sering disalah
gunakan dan tidak dilaksanakan oleh manusia munafik yang mengaku dirinya umat
Agama dan penganut kerohanian, hingga wahyunya itu bagaikan sumber air jernih
dikeruhkan oleh lumpur manusia yang pura-pura menjadi penganutnya, tetapi
mengingkari petunjuk sucinya. Perbuatan ingkar manusia munafik, menyebabkan
Agama kadang-kadang menjadi alat angkara murka manusia. Perbuatan munafik
menyebabkan pengisapan, penindasan, dari suatu golongan terhadap sesamanya
didalam suatu masyarakat yang menganut suatu Agama. Ketinggian inti ajaran
kerohanian lenyap diganti oleh kefanatikan, tahyul, penindasan, kekejaman,
kelaliman, kejahatan, dsb., yang sering mnyebabkan hilangnya kepercayaan
beberapa golongan terhadap kebenaran dan kesucian Agama.
Agama mengajarkan kepada umatnya untuk
percaya dan menyembah Tuhan; percaya dan menyembah Tuhan hanyalah jalan bagi
umat manusia untuk mencapai tujuan Agama, yaitu kesempurnaan hidup rohani
maupun jasmani. Çantiparwa menyebut mengenai tujuan Dharma atau Agama sebagai
berikut:
Prabhawarthaya
bhutanam
Dharmaprawacam
krtam
Yah syat
prabawasamyuktah
Sa dharmah iti
nicacayah
(Çantiparwa 109, 10)
Segala sesuatu
yang bertujuan member kesejahteraan dan memelihara semua, itulah disebut Dharma
(Agama), segala sesuatu yang membawa kesentosaan (kepada makhluk) itulah Dharma
(Agama) sebenarnya.
Di dalam memenuhi segala nafsu dan
keinginan harus berdasarkan atas kebajikan dan kebenaran yang dapat menuntun
setiap manusia di dalam mencapai kebahagiaan. Karena seringkali manusia menjadi
celaka atau sengsara dalam memenuhi nafsu atau kamanya bila tidak berdasarkan
atas dharma. Oleh karena itu dharma harus menjadi pengendali dalam memenuhi
tuntunan kama atas artha, sebagaimana disyaratkan di dalam Weda (S.S.12)
sebagai berikut:
Kamarthau Lipsmanastu
dharmam eweditaccaret,
na hi dhammadapetyarthah
kamo vapi kadacana.
(Sarasamuccya, sloka 12)
Artinya:
Pada hakekatnya, jika artha dan kama dituntut, maka
hendaknyalah dharma dilakukan terlebih dahulu. Tidak dapat disangsikan lagi,
pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti. Tidak akan ada artinya, jika
artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma.
Jadi dharma mempunyai kedudukan yang
paling penting dalam Catur Purusa Artha, karena dharmalah yang menuntun manusia
untuk mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Dengan jalan dharma pula manusia
dapat mencapai Sorga, sebagaimana pula ditegaskan di dalam Weda (S.S.14),
sebagai berikut:
Dharma ewa plawo nanyah
swargam samabhiwanchatam
sa ca naurpwani jastatam jala
dhen paramicchatah
(Sarasamuccaya, sloka 14)
Artinya:
Yang disebut dharma adalah merupakan jalan untuk pergi ke
sorga, sebagai halnya perahu yang merupakan alat bagi saudagar
untuk mengarungi lautan.
Demikian pula Manusamhita merumuskan dharma itu sebagai berikut:
Demikian pula Manusamhita merumuskan dharma itu sebagai berikut:
"Weda
pramanakah creyah sadhanam dharmah"
Artinya:
Dharma (agama) tercantum didalam ajaran suci Weda, sebagai
alat untuk mencapai kesempurnaan hidup, bebasnya roh dari penjelmaan dan
manunggal dengan Hyang Widhi Wasa (Brahman).
Weda (S.S. 16) juga menyebutkan :
Yathadityah samudyan wai tamah
sarwwam wyapohati
ewam kalyanamatistam sarwwa
papam wyapohati
(Sarasamuccaya, sloka 16)
Artinya:
Seperti halnya matahari yang terbit melenyapkan gelapnya
dunia, demikianlah orang yang melakukan dharma, memusnahkan segala macam dosa.
Demikianlah dharma merupakan dasar
dan penuntun manusia di dalam menuju kesempurnaan hidup, ketenangan dan
keharmonisan hidup lahir bathin. Orang yang tidak mau menjadikan dharma sebagai
jalan hidupnya maka tidak akan mendapatkan kebahagiaan tetapi kesedihanlah yang
akan dialaminya. Hanya atas dasar dharmalah manusia akan dapat mencapai
kebahagiaan dan kelepasan, lepas dari ikatan duniawi ini dan mencapai Moksa
yang merupakan tujuan tertinggi. Demikianlah Catur Purusa Artha itu.
2.3
SWADHARMA DAN PARADHARMA
Kata
swadharma dan paradharma berasal dari bahasa Sansekerta, yakni dari kata swa,
para dan dharma. Kata swa artinya sendiri, diri sendiri, aku, orang-orang dan
golongan sendiri, teman. Kata para artinya lebih jauh, kemudian, masa lalu,
amat, tertinggi, mulia, lain. Kata dharma artinya lembaga, adat, kebiasaan,
aturan, kewajiban, moral yang baik, pekerjaan yang baik, kebenaran, hukum,
keadilan. Kata swadharma artinya kebenaran sendiri, kewajiban sendiri.
Sedangkan paradharma artinya aturan atau kewajiban orang lain atau kasta lain. Menyimak
dan beberapa pengertian swadharma dan pradharma sesuai Sabdakosa Sansekerta
tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa maksud dan istilah dalam ajaran swadharma
dan paradharma adalah kewajiban diri sendiri, kebenaran diri sendiri ataupun
hal lainnya yang terkait dengan konteks diri sendiri, terutama dalam hal
kewajiban ataupun hal terkait dengan kebenaran atau aturan. Begitu juga istilah
dalam ajaran paradharma sudah jelas yang berkaitan dengan yang lain, orang
lain, masyarakat pada umumnya, disekitar kita, dan sebagainya. Jadi paradharma
adalah kewajiban orang lain, atau kewajiban terhadap orang lain, kewajiban
terhadap publik atau pelayanan publik (public service), kewajiban untuk
kebersamaan sebagai tanggung jawab bersama, dan juga kebenaran untuk
bersama-sama. Dalam hal ini sangat relevan dengan konteks asas musyawarah
menuju mufakat yang mengutamakan kebersamaan dan persetujuan bersama ke arah kebaikan,
kebenaran, kebajikan, kemuliaan, dan menuju kerahayuan bersama.
reyan
wã-dharma wigunah paradharmat swanusthitat,
Swa-dharme nidhanam sreyah paradharma bhayãwahah
Swa-dharme nidhanam sreyah paradharma bhayãwahah
Artinya:
Lebih baik melakukan dharmanya sendiri walaupun tidak
sempurna dan pada melaksanakan dharma orang lain walaupun dikerjakan dengan
sempurna. Lebih baik mati dalam menyelesaikan dharmanya sendiri dari pada
mengikuti dharma orang lain yang berbahaya. (Maswinara, 1997: 181-182).
Nilai ajaran swadharma dan paradharma mengandung nilai ajaran yang sangat universal dan menggelobal di era kesejagatan ini yang serba canggih dan akurat. Dalam kutipan sloka suci di atas telah ditegaskan bahwa melakukan sesuatu yang terbaik, termulia, terhormat, terbijaksana dimulai dan diri sendiri yang pada akhirnya untuk dipersembahkan selain untuk diri sendiri tetapi juga untuk pihak lain, orang lain, warga lain, sesama lain, suku lain, adat lain, negara lain, bangsa lain dan sebagainya. Sama halnya bangsa Indonesia ini melakukan sesuatu yang berguna bagi bangsanya sendiri, tentu bagi amatan bangsa lain di dunia ini akan membenihkan dampak yang baik pula bagi bangsa Indonesia.
2.4
DHARMA ATAU RTA
Salah satu dari
unsur keimanan dalam agama Hindu setelah percaya akan adanya Tuhan (SATYA, SAT)
adalah kepercayaan akan adanya hukum yang ditentukan oleh Tuhan. Hukum itu
semacam sifat dari kekuasaan Tuhan yang diperlihatkan dengan bentuk yang dapat
dilihat dan dialami oleh manusia. Bentuk hukum Tuhan yang murni disebutkan RTA (baca :
RITA) atau RETA. Bentuk hukum yang disebut RTA itu adalah hukum murni yang
bersifat absolut transcendental. Bentuk hukumnya yang dijabarkan ke dalam
amalan manusiawi disebut DHARMA. Hukum agama yang disebut DHARMA (DHARMAN) ini
bersifat relatip karena selalu dikaitkan dengan pengalaman manusia dan karena
itu dharma bersifat mengatur tingkah laku manusia untuk mencapai kebahagiaan di
dalam hidup.
Di dalam
terjemahannya, istilah RTA sering diartikan ORDE atau HUKUM, tetapi dalam arti
yang kekal atau tidak pernah berubah. Di dalam Kitab Weda dinyatakan bahwa
mula-mula setelah Tuhan menciptakan alam semesta ini, kemudian Ia ciptakan
hukumnya yang mengatur hubungan antar partikel yang diciptakannya itu. Sekali
Ia tentukan hukumnya itu, untuk selanjutnya demikianlah jalannya hukum itu
selama-lamanya. Tuhan sebagai pencipta hukumnya dan Tuhan sebagai pengendali
atas hukumnya itu. Karena itu ia disebutkan RITAWAN. Dalam
perkembangan sastra Sanskerta, istilah Rita kemudian diartikan sama dengan
WIDHI yang artinya sama dengan aturan yang ditetapkan oleh Tuhan. Dari kata
itulah kemudian lahirnya istilah Sang Hyang Widhi, yang artinya sama dengan
penguasa atas hukumnya atau LORD OF LAW, atau GUARDIAN OF LAW.
Di dalam ilmu
sosial konsepsi istilah hukum itu kemudian berkembang dalam bentuk dua istilah,
yaitu hukum alam dan hukum bangsa. Hukum alam inilah yang disebut dengan RTA
sedangkan hukum bangsa atau kelompok manusiawi disebut DHARMA yang bentuknya
berbeda-beda menurut tempat setempat. Karena itu istilah dharma sebagai hukum
tidak sama bentuknya di semua tempat, melainkan dihubungkan dengan
kebiasaan-kebiasaan setempat. Adapun ajaran Orde Abadi (Rta) dalam sejarah pertumbuhan
agama Hindu itu berkembang sebagai landasan idiil mengenai bentuk-bentuk hukum
yang ingin diterapkan dalam pengaturan masyarakat di dunia ini yang kemudian
dikenal dengan ajaran dharma. Di dalam pengembangan ajaran dharma itu, dharma
dianggap bersumber pada Weda, Smriti, Sila, Acara dan Atmanastusti. Sedangkan
Rta berkembang menjadi bentuk kepercayaan akan adanya nasib yang ditentukan
oleh Tuhan.
Ajaran Rta dan
Dharma yang menjadi landasan ajaran karma dan phala karma. Rta inilah yang
mengatur akibat dari pada tingkah laku manusia sebagai satu kekuatan yang tak
tampak oleh manusia. Ia hanya dapat dilihat berdasarkan keyakinan akan adanya
kebenaran. Dengan keyakinan atas kebenaran itu Rta dapat dihayati sehingga
dengan penghayatan itu akan terciptalah keyakinan akan adanya Rta dan dharma sebagai
salah satu unsur dalam keyakinan agama Hindu. Rta dan dharma
mencakup pengertian yang luas, meliputi pengertian orde abadi, sebagai ajaran
kesusilaan, mengandung ajaran estetika dan mencakup pengertian hukum sosial.
Karena itu Rta selalu menjadi dasar pemikiran yang idiil dan yang selalu
diharapkan akan dapat diwujudkan di dunia ini.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kata
Dharma ini berasal dari bahasa Sansekerta dari urat kata “Dhr” yang artinya menjunjung,
memangku, mengatur dan menuntun. Dharma berarti hukum yang mengatur dan
memelihara alam semesta beserta makhluk semua. Untuk peredaran alam semesta
kata dharma dapat diartikan “kodrat”, sedangkan untuk kehidupan umat manusia,
Dharma itu dapat diartikan Ajaran. Tujuan Agama Hindu adalah “Moksartham
Jagadhitaya ca iti Dharmah”yang artinya untuk mencapai kebahagian lahir dan
bathin baik di dunia maupun di akhirat. Ajaran swadharma dan paradharma adalah kewajiban diri
sendiri, kebenaran diri sendiri ataupun hal lainnya yang terkait dengan konteks
diri sendiri, terutama dalam hal kewajiban ataupun hal terkait dengan kebenaran
atau aturan. Begitu juga istilah dalam ajaran paradharma sudah jelas yang
berkaitan dengan yang lain, orang lain, masyarakat pada umumnya, disekitar
kita, dan sebagainya. Jadi paradharma adalah kewajiban orang lain, atau
kewajiban terhadap orang lain, kewajiban terhadap publik atau pelayanan publik
(public service), kewajiban untuk kebersamaan sebagai tanggung jawab bersama,
dan juga kebenaran untuk bersama-sama. Ajaran Rta dan Dharma yang menjadi
landasan ajaran karma dan phala karma. Rta inilah yang mengatur akibat dari
pada tingkah laku manusia sebagai satu kekuatan yang tak tampak oleh manusia.
SARAN-SARAN
Tujuan
Agama Hindu adalah Moksa, untuk mencapai itu marilah kita tingkatkan Dharma
kita masing-masing dan selalu melakukan Dharma dan kebaikan dengan selalu
menjaga keharmonisan antara Tuhan/Ida SangHyang Widhi Wasa, sesama
manusia/makhluk hidup dan alam semesta sekitarnya yang disebut dengan Tri Hita
Karana. Dan marilah kita melaksanakan Swadharma dan Paradharma dengan
sebaik-baiknya yang dimulai dari diri sendiri dan selalu ingat bahwa setiap
dari perbuatan yang kita perbuat selalu ada buah/hasil perbuatan yang disebut
dengan karmaphala yang akan kita terima didemikian hari.
DAFTAR PUSTAKA
1. Oka
Punyatmadja, I.B., Drs. 1993. Panca Çradha. Denpasar: Upada Sastra.
2. Kajeng,
I Nyoman, Dkk. 1999. Sarasamuccaya. Denpasar: Paramita.
3. Maswinara,
I Wayan. 2000. Panggilan Veda. Denpasar: Paramita.
4. Suhardana,
K.M, Drs. 2006. Pengantar Etika dan Moralitas Hindu. Denpasar: Paramita.
5. Subagiasta,
I Ketut. 2008. Sradha dan Bhakti. Denpasar: Paramita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar