BAB
I
PENDAHULUAN
Siwa adalah
salah satu dari tiga dewa utama (Trimurti) dalam
agama Hindu. Kedua dewa lainnya
adalah Brahma dan Wisnu. Dalam ajaran agama Hindu, Dewa Siwa adalah dewa pelebur, bertugas
melebur segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak berada di dunia fana
lagi sehingga harus dikembalikan kepada asalnya. Dewa Siwa memiliki nama lain
yaitu, Jagatpati, Nilakantha, Parameswara, Rudra, dan
Trinetra. Oleh umat Hindu Bali, Dewa Siwa
dipuja di Pura Dalem, sebagai dewa yang mengembalikan manusia ke unsurnya,
menjadi Panca Maha Bhuta. Dalam pengider Dewata Nawa Sangga , Dewa Siwa
menempati arah tengah dengan warna panca warna. Ia bersenjata padma dan mengendarai lembu Nandini. Aksara
sucinya I dan Ya. Kadangkala Dewa Siwa disebut dengan nama Bhatara Guru. Dewa Siwa
juga disebut Siwa Rudra, dalam Rig Weda, Rudra semakin banyak dipuja bahkan diidentikkan
dengan Siwa (Siwa Rudra). Selain itu juga, dalam Lontar Siwagama diuraikan
bahwa Bhatara Siwa memiliki murid para
dewa, diantaranya ada murid yang paling
pintar dan bisa meniru Siwa, murid ini adalah Bhatara Surya dengan
kepintarannya itu Bhatara Surya dianugrahi nama tambahan yaitu Sanghyang Siwa
Raditya yang berwenang sebagai wakilNya di dunia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Siwa Rudra dan Siwa Raditya
(Surya)
2.1.1 Siwa Rudra
Rudra adalah dewa yang termasuk gugusan dewa-dewa dalam
Kitab Weda, dalam Kitab Reg Weda, nama Rudra sedikit disebut, tetapi dalam
berbagai kitab sesudah Reg Weda, Rudra semakin banyak dipuja dan bahkan diidentikkan
dengan Siwa (Siwa-Rudra). Dalam Kitab Yajurweda dan Atharwaweda, Rudra
digambarkan sebagai laki-laki bertubuh besar, perut warna biru, punggung
berwarna merah, kepala biru (Nilagriwa), rambut keriting panjang terurai,
seluruh tubuh memancar sinar keemasan. Tangannya memegang busur dan panah yang
bercahaya. Karakternya sangat angker, sangat menakutkan dan mengerikan.
Dalam Reg Weda disebut Rudra sebagai pemburu Ilahi,
menyusuri jalan sepi, mencari orang yang bisa dimangsanya. Dia Asura Agung dari
sorga. Dalam Kitab Atharwa Weda disebutkan Rudra sebagai raja semesta,
melepaskan anak panahnya kepada siapa pun yang dikehendaki, dan anak panahnya
menyebabkan kematian atau memberi penyakit. Bahkan para dewa pun takut, bahwa
Rudra akan menghancurkan mereka, karena tidak ada yang lebih kuat daripadanya.
Uniknya, Rudra memiliki sifat Rwa Bhineda, yaitu
menakutkan/ghora dan tenang/santa. Rudra sebagai pembunuh kejam tetapi
sekaligus memberi kelembutan yang luar biasa. Rudra membunuh dan menghidupkan,
menyakiti dan menyembuhkan. Tak seorangpun dapat lepas dari tangannya. Bukan
hanya sebagai perusak besar, tapi juga
penyembuh Ilahi dengan persediaan ribuan macam jampi. Tangannya suka mengelus
menyembuhkan dan menyejukkan, serta dapat mengusir penyakit-penyakit yang
disebabkan oleh dewa-dewa lainnya.
Dalam Atharwa Weda lebih lanjut disebutkan, Rudra diberi
gelar Pasupati sebagai raja kawanan ternak. Dalam wujud inilah para pemuja suka
memujinya, sebab mereka menganggap diri mereka sebagai bagian dari kawanan ternak,
dan Rudra adalah raja kawanan ternak. Bahkan lebih itu, Rudra adalah rajanya
dari kehidupan liar di hutan. Rudra tinggal di gunung dan hutan sebagai pemuja
Lingga.
Dalam diri Rudra sendiri pertentangan-pertentangan
dipertemukan tapi belum didamaikan. Berbeda dengan Siwa, dalam diri Siwa juga
terdapat pertentangan-pertentangan yang dipertemukan untuk diatasi dan
diperdamaikan.
Nama Rudra juga terdapat dalam Kitab Buana Kosa. Kitab Buana
Kosa menyebutkan Rudra sebagai bagian dari Tri Murti. Pada VII.25, disebutkan, “Utpatti Bhagawan Brahma, sthiti Wisnuh
tathe waca, pralina Bhagawan Rudrah, trayastre lokya saranah”. Artinya:
Bhatara Brahma sebagai pencipta, Bhatara Wisnu memelihara, Bhatara Rudra
melebur. Ketiga dewa itu menjadi pelindung dunia.
Dalam pengider-ider di Bali, Rudra ditempatkan pada arah
mata angin di barat daya (neiriti). Dalam hal ini Rudra sebagai manifestasi
Siwa, bagian dari Dewata Nawa Sanga, dengan Siwa berada di tengah-tengah
(madya). Dalam pengider-ider, Rudra digambarkan bersenjata Moksala, wahananya
kerbau, urip 3, warna orange, aksara suci Mang, dengan wuku warigadean, pahang,
dan prangbakat.
Rudra dikenal sebagai dewa penyebab kematian, penyebab dan
penyembuh penyakit. Rudra juga dikenal sebagai penguasa angin topan, pelebur
alam semesta. Untuk mencegah terjadinya
kehancuran akibat kemarahannya, maka Rudra dipuja secara istimewa dengan
doa-doa khusus untuk ‘menenangkan’ dan meredakan kemarahannya. Sifat Rudra yang
pemarah itu sangat terkait dengan riwayat kelahirannya. Kisah kelahiran Rudra
terdapat dalam beberapa Purana dengan beragam cerita. Disebutkan Rudra lahir
dari kening Brahma yang sedang marah. Rudra yang lahir ini berbadan setengah
laki-laki dan setengah perempuan. Dari tubuh Rudra ini lahirlah sebelas putra
Rudra. Badan Rudra yang berjumlah sebelas ini menurut kitab Wisnu Purana
merupakan asal mula Eka Dasa Rudra.
Konsep tentang
sebelas Rudra telah dikembangkan di dalam Reg Weda. Kedelapan Wasu dan ketiga
Prana bersama-sama membentuk angka sebelas sebagai sebelas Rudra. Penjelasan
tentang Rudra dijabarkan di dalam upanishad-upanishad, di mana ke sebelas Rudra
adalah simbol-simbol dari sebelas kekuatan-kekuatan prana. Kesebelas Rudras
yang mengatur alam semesta (buana agung dan buana alit), diantaranya Kapali,
pingala, Bima, Virupaksha, Vilohita, Shasta, Ajapada, Abhirbudhnya, Shambu,
Chanda, dan Bhava.
1.
Kapali menunjukkan tulang (dinyatakan
dalam istilah feminin) atau cangkir /mangkuk yang
digunakan untuk menyimpan makanan. Dengan kata lain bisa disebut sebagai kepala
perempuan atau penyedia perempuan. Ini menunjukkan kekuatan Rudra tertanam jauh
di dalam Amba.
2.
Pingala menunjukkan api coklat kemerahan.
Ini adalah api yang dimulai di Amba bawah pengaruh Purusha
3.
Bima menunjukkan kekuatan, kuat hebat
dan luar biasa. Ini adalah gaya Prana (Angkatan Kuat atau gluon dalam istilah
modern) yang terbentuk api di Amba,
4.
Virupa-aksha
menunjukkan multi-lipat, multi-warna
mata. Ini adalah Aksi / Caksu kekuatan ( tenaga lapangan) yang berasal dari
Amba,
5.
Vilohita menunjukkan kekuatan merah tua.
Merah menunjukkan jarak jauh. Ini adalah Higgs kekuatan-bidang yang memiliki
jangkauan panjang dengan intensitas rendah (Higgs lapangan)
6.
Abhirbudnya menunjukkan sesuatu yang di
kedalaman atau jauh di dalam inti. Ini adalah Getaran yang menyebabkan senar
terbentuk pada Amba bergetar seperti partikel Core (Baryon),
7.
Shasta
menunjukkan untuk menahan,
mengendalikan, perintah atau perintah. Ini adalah getaran yang menyebabkan
senar terbentuk pada Amba terlihat seperti partikel tersembunyi, yang merupakan
'Mana' Partikel (meson)
8.
Ajapada menunjukkan kambing berkaki. Ini
adalah getaran yang menyebabkan senar terbentuk pada Amba untuk menjauh dan
membentuk partikel Satelit (lepton) dengan Getaran yang berbeda. Ini adalah
kekuatan yang membawa dalam Apana (mengusir kekuatan atau Angkatan Lemahnya
boson W dan Z) dan memulai proses dari Peluruhan Radio-aktif yang tidak lain
adalah kematian. Hal ini disebut sebagai kambing berkaki dengan kekuatan atom bisa
dibentuk dengan penta / struktur heksagonal. (Orbit elips beberapa partikel
satelit sekitar partikel inti membentuk struktur kaki berbentuk kambing)
9.
Bhava menunjukkan datang ke keberadaan
atau kelahiran. Ini adalah getaran yang menyebabkan ziznam.
10.
Chanda
menunjukkan memikat atau mengundang.
Ini adalah getaran yang menyebabkan Reta yang berarti aliran bergerak atau
mengalir.
11.
Shambu menunjukkan mempertemukan atau
bertemu atau bergabung. Ini adalah getaran yang menyatukan ziznam, reta dan Apa
dan menyediakan platform untuk hidup,
2.1.1.1 Pura Luhur Uluwatu sebagai Tempat Pemujaan
Dewa Siwa Rudra
Pura Luhur Uluwatu
berfungsi sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra dan terletak di barat daya
Pulau Bali. Pura Luhur Uluwatu didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka dan
Padma Bhuwana. Sebagai pura yang didirikan dengan konsepsi Sad Winayaka Pura Luhur
Uluwatu sebagai salah satu dari Pura Sad Kahyangan untuk melestarikan Sad
Kertih (Atma Kerti, Samudra Kerti, Danu Kerti, Wana Kerti, Jagat Kerti dan Jana
Kerti). Sementara sebagai pura yang didirikan berdasarkan konsepsi Padma
Bhuwana Pura Luhur Uluwatu didirikan sebagai aspek Tuhan yang menguasai arah
barat daya. Pemujaan Dewa Siwa Rudra adalah pemujaan Tuhan dalam memberi energi
kepada ciptaannya. Ida Pedanda Punyatmaja Pidada saat masih walaka pernah
beberapa kali menjabat ketua Parisada Hindu Dharma Pusat menyatakan bahwa di
Pura Luhur Uluwatu memancar energi spiritual tiga dewa. Kekuatan suci ketiga
Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu dan Siwa) menyatu di Pura Luhur Uluwatu. Karena
itu, umat yang membutuhkan dorongan spiritual untuk menciptakan, memelihara dan
meniadakan sesuatu yang patut diadakan, dipelihara dan dihilangkan sering
sangat khusyuk memuja Dewa Siwa Rudra di Pura Luhur Uluwatu. Salah satu ciri
hidup yang ideal menurut pandangan Hindu adalah menciptakan segala sesuatu yang
patut diciptakan. Memelihara sesuatu yang patut dipelihara dan menghilangkan
sesuatu yang sepatutnya dihilangkan. Menciptakan, memelihara dan menghilangkan
sesuatu yang patut itu tidaklah mudah. Berbagai hambatan akan selalu
menghadang.
2.1.2 Siwa Raditya (Surya)
Menurut kepercayaan umat Hindu Surya adalah Dewa Matahari. Surya juga
diadaptasi ke dalam dunia pewayangan sebagai dewa yang menguasai
atau mengatur surya atau matahari, dan diberi
gelar "Bhatara". Menurut
kepercayaan Hindu, Surya mengendarai kereta yang ditarik oleh 7 kuda. Ia
memeiliki kusir bernama Aruna, saudara Garuda, putra Dewi Winata.
Surya memiliki tiga ratu; Saranyu (juga disebut Saraniya, Saranya,
Sanjna, atau Sangya), Ragyi, dan Prabha. Saranyu adalah ibu dari Waiwaswata Manu (Manu ketujuh), dan si kembar Yama (dewa kematian) dan adiknya Yami. Dia juga melahirkan si kembar
dikenal sebagai Aswin. Dewi Saranyu, karena tidak sanggup menyaksikan cahaya
terang dari Surya, menciptakan tiruan dirinya yang bernama Chhayadan memerintahkan dia untuk bertindak sebagai istri Surya
selama dia tidak ada. Chhaya memiliki dua putra dari Surya, Sawarni Manu (Manu kedelapan) dan Sani (dewa planet Saturnus), dan dua anak perempuan Tapti dan Vishti. Dewa Surya juga memiliki seorang
putra, Rewanta, atau Raiwata, dari Dewi Ragyi.
Menariknya, dua putra Surya, Sani dan Yama bertanggung jawab untuk mengadili
kehidupan manusia. Sani memberi hasil dari perbuatan seseorang melalui kehidupan
seseorang melalui hukuman dan penghargaan yang sesuai, sementara Yama memberi
hasil dari perbuatan seseorang setelah kematian. Dalam Ramayana, Surya disebutkan sebagai ayah dari Raja Sugriwa, yang membantu Rama dan Laksmana dalam mengalahkan raja Rahwana. Ia juga melatih Hanoman sebagai gurunya.
Dalam Mahabharata, Kunti menerima sebuah mantra dari seorang bijak, Durwasa; jika diucapkan, ia akan dapat memanggil setiap dewa dan
melahirkan anak oleh dia. Percaya dengan kekuatan mantra ini, tanpa disadari
Kunti telah memanggil Surya, tetapi ketika Surya muncul, ia akan takut dan
permintaan dia untuk kembali. Namun, Surya memiliki kewajiban untuk memenuhi
mantra sebelum kembali. Surya secara ajaib membuat Dewi Kunti untuk melahirkan
anak, sementara mempertahankan keperawanannya sehingga ia, sebagai putri yang
belum menikah, tidak perlu menghadapi rasa malu apapun atau menjadi sasaran
pertanyaan dari masyarakat. Kunti merasa dipaksa untuk meninggalkan anak, Karna, yang tumbuh menjadi salah satu
karakter sentral dalam perperangan besar dari Kurukshetra.
2.1.2.1 Siwa Raditya ( Surya)
Hubungan dengan Stana-Stana Padmasana
Padmasana adalah sebuah tempat untuk bersembahyang dan
menaruh sajian bagi umat Hindu. Simbol dari Padmasana menggambarkan tingkatan
alam yaitu Tri Loka (bhur, bwah dan swah). Hal ini terlihat dari Bhedawang Nala
dengan dua naga (Anantabhoga dan Basuki) melambangkan alam bawah (bhur loka),
badannya (padma termasuk singhasana) melambangkan atmosfer bumi (bwah loka). Sedangkan
swah loka tidak dilukiskan dalam wujud bangunan tetapi di dalam pesimpen
pedagingan yang berwujud padma dan di dalam puja yang dilukiskan dengan “Om Padmasana ya namah dan Om Dewa Pratistha
ya namah.”Padma dalam Bahasa Bali artinya bunga teratai, dan Sana artinya
duduk. Dewa Siwa digambarkan sebagai Dewa yang duduk di atas bunga teratai.
Bunga teratai yang berhelai delapan tepat pula sebagai
simbol delapan kemahakuasaan Sanghyang Widhi yang disebut Asta Aiswarya. Asta Aiswarya ini juga
menguasai delapan penjuru mata angin. Keistimewaan bunga padma adalah: puncak
atau mahkotanya bulat, daun bunganya delapan, tangkainya lurus, dan tumbuh
hidup di tiga lapisan: lumpur, air, dan udara. Hal-hal ini memenuhi simbol
unsur-unsur filsafat Ketuhanan atau Widhi Tattwa, yakni keyakinan, kejujuran,
kesucian, keharuman, dan ketulusan. Dengan demikian Padmasana adalah simbol
yang menggambarkan kedudukan Hyang Widhi sebagai bunga teratai, atau dapat juga
dikatakan bahwa Padmasana sebagai tuntunan batin atau pusat konsentrasi. Bunga
teratai dipilih sebagai simbol yang tepat menggambarkan kesucian dan keagungan
Hyang Widhi.
Adapun
stana-stana di Padmasana antara lain:
Stana Sanghyang Siwa Raditya.
Dalam lontar Siwagama diuraikan
bahwa Bhatara Siwa mempunyai murid-murid terdiri dari para dewa. Diantaranya
ada murid yang paling pintar dan bisa meniru Siwa, murid ini adalah Bhatara
Surya; oleh karena itu Bhatara Surya dianugrahi nama tambahan: Sanghyang Siwa
Raditya dan berwenang sebagai wakil-Nya di dunia.
Stana Bhatara Guru.
Sebagai rasa hormat dan terima kasih
Bhatara Surya atas anugerah yang diberikan, maka Siwa dipuja sebagai guru, dan
selanjutnya Siwa dikenal juga sebagai Bhatara Guru.
Stana Bhatara Surya.
Bhatara Siwa acintya. Bila manusia
ingin mengetahui kemahakuasaan Bhatara Siwa, lihatlah matahari karena
mataharilah sebagai salah satu contoh asta aiswarya-Nya, karena kehidupan di
dunia bersumber dari kekuatan energi matahari.
Stana Sanghyang Tri Purusa.
Dalam Wrhaspati Tattwa, Sanghyang
Widhi dinyatakan sebagai Tri Purusa, yaitu: Parama-Siwa, Sadha-Siwa, dan Siwa.
Parama-Siwa, adalah Sanghyang Widhi dalam keadaan niskala, tidak beraktivitas,
tidak berawal, tidak berakhir, tenang, kekal abadi, dan memenuhi seluruh alam
semesta.
Sadha-Siwa,
adalah Sanghyang Widhi yang beraktivitas sebagai pencipta, pemelihara, dan
pelebur. Siwa adalah Sanghyang Widhi yang utaprota sehingga nampak berwujud
sebagai mahluk hidup.
Fungsi utama Padmasana adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan
Yang Maha Esa. Di situlah Tuhan dipuja dalam fungsinya sebagai jiwa alam
semesta (makrokosmos) dengan segala aspek kemahakuasaanya. Padmasana adalah
niyasa atau simbol stana Hyang Widhi dengan berbagai sebutannya; Sanghyang Siwa
Raditya (dalam manifestasi yang terlihat/dirasakan manusia sebagai matahari
atau surya) dan Sanghyang Tri Purusa (dalam tiga manifestasi yang manunggal
yaitu sebagai Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa). Di Pura Besakih ada Padmasana
berjejer tiga, di situ di stanakan Parama Siwa (tengah), Sadasiwa (kanan) dan
Sang Hyang Siwa (kiri).
Memperhatikan makna niyasa tersebut, jelaslah bahwa makna
Padmasana adalah niyasa yang digunakan Hindu dari sekte Siwa Sidhanta karena
sentral manifestasi Hyang Widhi yang menjadi pujaan utama adalah sebagai Siwa. Danghyang
Nirartha yang mengembangkan bentuk niyasa Padmasana adalah pandita dari
kelompok Hindu sekte Siwa Sidhanta. Sedangkan Padmasari dan Padmacapah dapat
ditempatkan menyendiri yang berfungsi sebagai pengayatan atau penyawangan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Rudra sebagai manifestasi Siwa, bagian dari Dewata Nawa
Sanga, dengan Siwa berada di tengah-tengah. Dalam pengider-ider, Rudra
digambarkan bersenjata Moksala, wahananya kerbau, urip 3, warna orange, aksara
suci Mang. Rudra dikenal sebagai dewa penyebab kematian, penyebab dan penyembuh
penyakit. Rudra dipuja secara istimewa dengan doa-doa khusus untuk
‘menenangkan’ dan meredakan kemarahannya. Dari tubuh Rudra ini lahirlah sebelas
putra Rudra. Badan Rudra yang berjumlah sebelas ini menurut kitab Wisnu Purana
merupakan asal mula Eka Dasa Rudra. Kesebelas Rudras yang mengatur alam semesta
(buana agung dan buana alit), diantaranya Kapali, pingala, Bima, Virupaksha,
Vilohita, Shasta, Ajapada, Abhirbudhnya, Shambu, Chanda, dan Bhava. Umat Hindu
di Bali, Pura Luhur Uluwatu berfungsi sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra
dan terletak di barat daya Pulau Bali. Pemujaan Dewa Siwa Rudra adalah pemujaan
Tuhan dalam memberi energi kepada ciptaannya.
Dewa Siwa memberikan anugerah kepada Dewa Surya dengan nama
Sanghyang Siwa Raditya, karena beliau adalah murid dari Dewa Siwa yang pintar
dari para dewa lainnya. Dewa Surya diberi tugas sebagai wakil dari Dewa Siwa
untuk menyaksikan atau sebagai saksi
dalam setiap upacara-upacara yang dilaksanakan oleh umat manusia di dunia. Dalam
Padmasana, stana-stana di Padmasana antara lain; Stana Sanghyang Siwa Raditya
(atas anugerah dari Dewa Siwa kepada Dewa Surya), Stana Bhatara Guru (rasa
hormat Dewa Surya kepada Dewa Siwa atas anugerah yang telah diberikan), Stana
Bhatara Surya (untuk melihat kemahakuasaan Dewa Siwa maka lihatlah matahari)
dan Stana Sanghyang Tri Purusa (Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar