AGAMA
SEBAGAI SISTEM BUDAYA
kebudayaan
yang hidup pada suatu masyarakat, pada dasarnya merupakan gambaran dari pola pikir,
tingkah laku, dan nilai yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Dari
sudut pandang ini, agama di satu sisi memberikan kontribusi terhadap
nilai-nilai budaya yang ada, sehingga agama pun bisa berjalan atau bahkan
akomodatif dengan nilai-nilai budaya yang sedang dianutnya. Pada sisi lain, karena
agama sebagai wahyu dan memiliki kebenaran yang mutlak, maka agama tidak bisa
disejajarkan dengan nilai-nilai budaya setempat, bahkan agama harus menjadi
sumber bagi kelangsungan nilai-nilai budaya itu. Di sinilah terjadi timbal
balik antara agama dengan budaya. Persoalannya adalah, apakah nilai-nilai agama
lebih dominan dalam kehidupan masyarakat itu? pertanyaan-pertanyaan seperti
inilah yang akan kita bahas dalam tulisan ini.
A.
Agama
dan Sistem Budaya
Menurut
Herskovit, memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu
generasi ke generasi yang lain. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung
keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan
struktur-struktur sosial, religious dan lain-lain. Menurut Edward B. Tylor,
kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adat istiadat dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Parsupadi Suparian secara lebih spesifik menjelaskan bahwa kebudayaan
merupakan cetak biru bagi kehidupan, atau pedoman bagi kehidupan masyarakat,
yaitu merupakan perangkat-perangkat acuan yang berlaku untuk pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan para warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Maka
dapat disimpulkan, bahwa kebudayaan itu merupakan sistem pengetahuan yang
meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga
dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan
perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai
makhluk yang berbudaya, berupa perilaku, bahasa, peralatan hidup,, organisasi
sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu
manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Hubungan
kebudayaan dan agama, dalam konteks ini agama dipandang sebagai realitas dan
fakta sosial sekaligus juga sebagai sumber nilai dalam tindakan-tindakan sosial
maupun budaya. Menurut Talcott Parsons menyatakan bahwa “agama merupakan suatu
komitmen terhadap perilaku; agama tidak hanya kepercayaan, tetapi perilaku atau
amaliah”. Sebagai realitas sosial, tentu saja ia hidup dan termanifestasikan di
dalam masyarakat.
B.
Pengaruh
Agama terhadap Sistem Budaya
Hubungan
yang erat antara agama dengan masyarakat dan budayanya tidak berarti bahwa
agama harus menyesuaikan diri dengan segala yang ada dalam masyarakat begitu
saja. Malahan sebaliknya, agama diharapkan untuk memberi pengarahan dan bantuan
untuk memainkan peranan kritis-kreatif terhadap masyarakat yang dalam banyak
hal memang tidak beres. Antara agama dan masyarakat seharusnya terdapat
hubungan timbal balik (dialektis). Oleh karena itu, betapa pentingnya bagi
setiap agama dan terutama para pemeluknya memiliki pengertian, kepekaan,
kesadaran, dan pengetahuan tentang keadaan masyarakat. Inilah yang diperlukan
oleh umat beragama, khususnya para pemuka agama dalam kehidupan sosial
keagamaannya. Dalam kehidupan masyarakat, agama mempunyai peranan penting
karena ia mengandung beberapa faktor, yaitu:
1. faktor
kreatif, yaitu faktor yang mendorong dan merangsang manusia baik untuk
melakukan kerja produktif maupun karya kreatif yang menciptakan.
2. faktor
inovatif, yaitu faktor yang mendorong, melandasi cita-cita dan amalan perbuatan
manusia dalam seluruh aspek kehidupan.
3. faktor
sublimatif, yaitu meningkatkan dan menguduskan gejala kegiatan manusia bukan
hanya dalam hal-hal yang bersilat keagamaan saja, tapi juga yang bersilat
keduniaan.
4. faktor
integratif, yaitu mempersatukan pandangan dan sikap manusia serta memadukan
berbagai kegiatannya, baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam
berbagai penghayatan agama guna menghindarkan diri dari ketidakserasian dan
perpecahan yang pada gilirannya nanti mampu menghadapi berbagai macam tantangan
hidup.
MANUSIA RELIGIUS
A. Yang Sakral dan Yang Profan (The
Sacred and The Profane)
Yang
sakral atau yang kudus (sacred) adalah sesuatu yang terlindung dari
pelanggaran, pengacauan atau pencemaran. Yang kudus merupakan sesuatu yang
dihormati, dimuliakan dan tidak dapat dinodai. Pengertian yang kudus tidak
hanya terbatas pada agama, tetapi juga pada banyak objek, baik yang bersifat
keagamaan maupun bukan, seperti tindakan-tindakan, tempat-tempat, kebiasaan-kebiasaan
dan gagasan-gagasan. Dalam pengertian yang lebih sempit, yang kudus adalah
sesuatu yang dilindungi, khususnya oleh agama, terhadap pelanggaran, pengacauan
atau pencemaran. Yang kudus adalah sesuatu yang suci, keramat.
Kebalikan
dari yang kudus adalah yang profane. Profan adalah sesuatu yang biasa, umum,
tidak dikuduskan dan bersifat sementara. Pendek kata, yang ada di luar
religius. Dalam pandangan Dhavamony, istilah profane dalam pengertian itu,
tidak dimaksudkan dalam arti apa yang tidak suci, tidak sopan, yang menghina
atau cemar. Dalam memahami yang kudus dan profane ini, Eliade lebih menekankan
pada manusia beragamanya (homo-religius), sebab manusia religius mempunyai
sikap tertentu terhadap kehidupan ini, terhadap dunia, terhadap manusia sendiri
dan terhadap apa myang dianggapnya kudus. Yang kudus merupakan pusat kehidupan
dan pengalaman religius. Kehidupan religius adalah pengalaman kratofani,
hierofani dan teofani yang mempengaruhi seluruh kehidupan manusia. Rudolt Otto
menyatakan bahwa unsur pokok dalam pengalaman religius adalah perasaan numinous
(dari latin, numen; Inggris, god) yang nonrasional terhadap obyek (mysterium
tremendum). Maka, yang kudus (the sacred-das heilige) merupakan unsur khas yang
menciptakan pengalaman religius dalam semua gagasan dan perasaannya yang
berbeda-beda dan selalu menampakkan dirinya sebagai suatu realitas alamiah.
Obyek numinus (mysterium tremendum) menimbulkan rasa kagum atau takut, kuasa
atau kekuatan dan urgensi atau energi. Obyek ini tidak hanya membuat kagum dan
takut, tetapi juga tertarik dan terpikat. Dalam agama-agama yang berkembang
sekarang, secara hierofani, konsep yang kudus bisa ditemukan. Misalnya, bagi
orang Hindu, yang kudus ada dalam Veda (pengetahuan suci), Brahman (formula
suci, realitas suci), Dharma (hukum suci, kewajiban suci), dan Moksha
(pembebasan sebagai sarana dan tujuan pembebasan).
B. Upacara Keagamaan (Ritus)
Ritus
adalah alat manusia religius untuk melakukan perubahan. Juga bisa dikatakan
sebagai tindakan simbolis agama atau ritual itu merupakan agama dalam tindakan.
Susanne Langer menunjukkan bahwa ritual merupakan ungkapan yang bersifat logis
daripada hanya bersifat psikologis. Ritual memperlihatkan tatanan atas
simbol-simbol yang diobyekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan
perasaan serta membentuk disposisi pribadi dari pada pemuja yang mengikuti
modelnya masing-masing, Menurutnya, ritual dapat dibedakan dalam empat macam:
a. tindakan
magi, yang dikait dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya
mistis;
b. tindakan
religius, kultus para leluhur, juga bekerja dengan cara yang pertama;
c. ritual
konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk
pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan
menjadi khas; dan
d. ritual
faktitif, yang meningkatkan produktifitas atau kekuatan, atau pemurnian dan
perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu
kelompok.
Masa Transisi Ritual, masa
ritus ini khususnya dilakukan pada waktu-waktu krisis, baik ketika ingin
memenuhi kebutuhan hidup, fisik maupun spiritual. Kondisi seperti ini
melibatkan supranatural, baik dilakukan secara individu maupun kelompok.
Bentuk-bentuk upacara ritual pada masa-masa krisis ini antara lain masa
kelahiran, anak remaja, perkawinan, kematian, saat menanam dan memanen dan
pertukaran tahun.
Bentuk-bentuk ritus,
Van Gennep menyatakan bahwa semua ritus dan upacara itu dapat dibagi ke dalam
tiga bagian, yaitu:
a. ritus
perpisahan (separation); manusia melepaskan kedudukannya yang semula. Acaranya
ditandai dengan tindakan-tindakan yang melambangkan perpisahan;
b. ritus
peralihan (marge); manusia dianggap mati atau tak ada lagi, dan dalam keadaan
seperti tak tergolong dalam lingkungan sosial manapun. Mereka dipersiapkan
untuk menjadi manusia baru dalam lingkungan sosialnya yang baru pula. Misalnya,
diberikan pelajaran mengenai adat istiadat keramat nenek moyangnya,
diperlihatkan benda-benda suci pusaka nenek moyangnya, diceritakan
cerita-cerita mitologi suci, dipelajari sopan santun, dan sebagainya;
c. ritus
integrasi kembali (aggregation); upacara peresmian menuju tahap kehidupan dan
lingkungan sosial yang baru, sebagaimana dilakukan pada upacara-upacara
inisiasi lainnya, di mana individu yang bersangkutan secara perlambang
seakan-akan dilahirkan kembali, dan mengukuhkan integrasinya ke dalam
lingkungan sosialnya yang baru.
Dalam setiap ritus
penerimaan, dijalani melalui tiga tahap, yaitu perpisahan, peralihan, dan
penggabungan. Pada tahap perpisahan, individu dipisahkan dari suatu tempat atau
kelompok atau status; dalam tahap peralihan, ia disucikan dan menjadi subyek
bagi prosedur-prosedur perubahan; sedangkan pada masa penggabungan ia secara
resmi ditempatkan pada suatu tempat, kelompok, atau status yang baru.
Tujuan ritus, bagi
kebanyakan suku-suku primitive, upacara atau ritus keagamaan dilakukan untuk
mempertahankan kontak dengan roh-roh
yang berkuasa dan membuat mereka mempunyai perhatian yang menguntungkan dengan
mengaruniakan makanan dan kesehatan. Hubungan ini perlu dipertahankan dalam
arti tertentu sebagaimana hubungan dengan manusia yang berkuasa, yaitu
mempersembahkan hadiah-hadiah dan bersikap merendah. Namun, penguasa itu harus
diperlakukan secara lebih hormat dan bahkan lebih formal.
C. Simbolisme Agama
Kegiatan
manusia pada umumnya melibatkan simbolisme, karena itu manusia bukan hanya
merupakan animal rationale, tetapi juga disebut homo simbolicus.
Ungkapan-ungkapan simbolis digunakan untuk menunjuk pada suatu yang transenden,
yang transmanusiawi, yang transhistoris, dan metaempiris. Fungsi simbol-simbol
yang dipakai dalam upacara adalah sebagai alat komunikasi dan menyuarakan
pesan-pesan ajaran agama dan kebudayaan yang dimilikinya, khususnya yang
berkaitkan dengan etos dan pandangan hidup, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai
oleh adanya upacara tersebut. Simbol merupakan gambaran yang sakral sekaligus
juga sebagai mediator manusia untuk berhubungan dengan yang sakral, sebab
manusia tidak bisa mendekati yang sakral secara langsung, karena yang sakral
itu adalah transenden sedangkan manusia adalah makhluk temporal yang terikat di
dalam dunianya. Maka manusia bisa mengenal yang sakral, sejauh bisa kenal,
melalui simbol.
BEBERAPA TEORI TENTANG ASAL-USUL
DAN BENTUK KEPERCAYAAN (RELIGI)
A. Teori-teori tentang Asal-Usul Kepercayaan
Adapun
teori-teori antropologi yang mengkaji asal-usul dari bentuk kepercayaan itu,
antara lain:
1.
Teori
Animisme dan Kritikannya
Edward
Burnett Tylor (1832-1917), seorang antropolog yang pertama mengajukan teori
animisme dalam bukunya primitive culture. Pada dasarnya, teori ini berangkat
dari pendapat bahwa manusia pertama mengamati dirinya dan dunia disekitarnya
dan mengambil konklusi mengenai adanya jiwa atau anima. Menurutnya, penemuan
ini melalui dua jalur pemikiran: mimpi dan kematian. Manusia awal atau premitif
itu memperoleh pangalaman bahwa dalam mimpi ia bisa melakukan hal-hal yang
mustahil: bisa pergi ke tempat-tempat lain, menemui orang lain, melihat hal-hal
yang jauh-jauh, sedangkan menurut kenyataannya, dia hanya berada dalam keadaan
istirahat dan tidur. Suasana mimpi ini dijelaskannya melalui suatu jiwa yang
tidak secara obsolut identik dengan dirinya. Dengan cara yang hampir sama, dia
bisa menjelaskan, bagaimana konsep jiwa bisa lahir dari renungan terhadap
kematian.
2.
Teori
tentang Dewa Tertinggi
Andrew
Lang ((1844-1912), yang memiliki teori ini adalah seorang sastrawan inggris
yang banyak menulis sajak dan esai untuk majalah. Sekalipun bukan seorang
antropolog, namun ia banyak menulis buku tentang kebudayaan dan dianggap
merupakan bacaan penting bagi para ahli antropologi. Diantara buku-bukunya itu,
ada sebuah buku yang memuat teori asal-usul dan bentuk kepercayaan agama kuno,
yakni the making of religion (1898). Buku ini terdiri dari dua bagian, yang
pertama berkenaan dengan gejala para psikologi, dan yang kedua mengenai suatu
keyakinan yang ada pada banyak suku bangsa primitif yang dikenal dengan dewa
tertinggi (supreme Being). Dia menemukan berbagai mitos dari suku-suku dan
daerah-daerah di muka bumi ini. Dalam mitos tersebut ditemukan adanya tokoh
dewa yang dipandang sebagai tertinggi, pencipta seluruh alam semesta beserta
isinya. Sepandangan dengan Lang, Pettazzoni menyatakan bahwa supreme being
bersumberkan mitos dan bukan hasil pemikiran logico causal sebagaimana
pandangan Schmidt. Juga paham dewa tertinggi tidak timbul atas dasar keutuhan
intelektualitas, tetapi berasal dari kebutuhan eksistensial manusia. Dengan
demikian, Lang berkesimpulan bahwa kepercayaan kepada dewa tertinggi dalam
religi suku-suku bangsa tersebut sudah sangat tua, dan kemungkinan merupakan
bentuk religi manusia yang tertua, kemudian terdepak ke belakang oleh keyakinan
kepada makhluk-makhluk halus lain seperti dewa-dewa alam, roh nenek moyang, hantu,
dn lain-lain.
3.
Teori
tentang Animatisme (Pra-Animisme)
Animatisme
dapat dipahami dalam dua cara, sebagai kepercayaan dan sebagai teori untuk
menjelaskan asal-usul historis dari agama dalam kontek pemikiran evolusionis.
R.R. Marett dalam bukunya The Threshold of Religion, berpendapat bahwa
animatisme mendahului animisme sebab bentuknya lebih sederhana dibandingkan
animisme. Ia melawan anggapan Tylor bahwa konsep-konsep animistis bukanlah
unsur yang paling sederhana dalam agama-agama primitif. Menurut teori ini,
semula manusia primitif telah berpikir mengenai suatu daya pembaharu yang
tersebar ke mana-mana di dunia sebelum dia mempribadikannya dalam
makhluk-makhluk rohani secara terpisah.
Mana,
yang merupakan istilah Oceania, kemudian dipergunakan Marett untuk
mengembangkan suatu teori tentang apa yang dianggapnya sebagai bentuk religi
yang tertua. Bentuk religi yang paling tua yang diuraikan Marett di atas
disebutnya Praeanimisme, suatu bentuk religi yang paling tua dibandingkan
dengan penyembahan terhadap roh atau makhluk halus sebagaimana dikemukakan
dalam teori Tylor, animisme.
4.
Teori
Totemisme
Istilah
totemisme berasal dari kata Ojibwa (suku Algonkin di amerika utara), ditulis
secara beragam totem, tatam, dodaim. Totemisme merupakan fenomena yang menunjuk
kepada hubungan organisasional khusus antara suatu suku bangsa atau klan dan
suatu proses tertentu dalam wilayah binatang atau tumbuhan. Hubungan ini
diungkapan sebagaian dalam upacara-upacara khusus dan sebagian lagi dalam
aturan-aturan khusus perkawinan di luar suku. Totem merupakan simbol kelompok
dan menganggapnya sebagai pelindung kelompok secara keseluruhan.
5.
Teori
Urmonoteisme (Firman Tuhan)
Pada
dasarnya teori yang dikembangkan Schmidt merupakan kelanjutan dari teori Lang.
Wilhelm Schmidt (1868-1954) merupakan seorang antropolog sekaligus juga seorang
pendeta Katolik bangsa Austria. Karena kependetaan inilah, teori yang
dikembangkannya sangat dipengaruhi oleh keyakinan agamanya. Olek karena itu,
teori Lang tentang adanya keyakinan terhadap dewa tertinggi dalam sistem religi
suku-suku bangsa primitif, sangat cocok dengan pandangan dasarnya sebagai
pendeta agama Katolik. Ia mengembangkan suatu teori bahwa religi itu berasal
dari Titah Tuhan yang diturunkan kepada makhluk manusia waktu ia mula-mula
muncul di muka bumi. Adanya keyakinan kepada dewa pencipta yang justru ada pada
bangsa-bangsa primitif (Schmidt menyebut bangsa yang paling tua) memperkuat
anggapannya tentang adanya Titah Tuhan asli, atau Uroffenbarung,
Urmonotheismus. Keyakinan kepada Tuhan yang asli dan bersih (Urmotheismus) ini
malah ada pada bangsa-bangsa tua, yang hidup pada zaman ketika tingkat
kebudayaan manusia masih rendah. Ketika kebudayaan manusia bertambah maju,
kayakinan asli terhadap Tuhan menjadi kabur, kebutuhan manusia semakin banyak,
maka keyakinan asli itu menjadi makin terdesak oleh pemujaan kepada
makhluk-makhluk halus, roh-roh, dewa-dewa, dan sebagainya.
6.
Teori
Animisme dan Dinamisme
Kruyt
(1869-1949) adalah seorang pendeta bangsa belanda yang bertugas sebagai penyiar
agama Nasrani bagi penduduk yang berada di pegunungan, yaitu orang Toraja di
Sulawesi Tengah. Ia banyak menulis etnografi tentang suku-suku bangsa di Sulawesi
Tengah itu. Salah satu berjudul Het Animisme in den Indischen Archipel (1906).
Ia juga mengembangkan teori kekuatan gaib pada masyarakat purba yang serupa
dengan mana dan kekuatan supernatural
sebagai mana dikemukakan oleh
Codrington dan Marett.
Menurut
keyakinan manusia kuno itu, bagian tubuh manusia yang mengandung lebih banyak
zielestof adalah kepala, rambut, kuku, jeroan, pusar, gigi, ludah, keringat,
air mata, air seni, dan kotoran manusia. Untuk menambah zielestofnya, manusia
harus meminum atau memakan zat-zat tertentu, seperti minum darah. Sedangkan
binatang yang mengandung lebih banyak zielestof adalah kunang-kunang, jangkrik,
kupu-kupu, burung, tikus, ular, dan jenis-jenis binatang yang besar seperti
harimau. Tumbuh-tumbuhan seperti padi, nyiur, pohon aren, kamper, dan karet
mengandung lebih banyak zielestof daripada tumbuhan lainnya. Demikian juga
diantara benda-benda yang mengandung zielestof adalah benda-benda yang terbuat
dari besi, batu, periuk, belangga, serta benda-benda pusaka.
Keyakinan
pada zielestof tersebut di atas, oleh Kruyt disebut anemisme. Karena, zielestof
itu ada dalam diri manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan, sehingga timbul
keyakinan bahwa zielestof itu dapat beralih dari satu medium ke medium lain,
misalnya dari manusia ke binatang, atau sebaliknya. Dengan adanya keyakinan
tentang perpindahan jiwa atau inkarnasi, maka hal demikian merupakan bagian
dari sistem animisme. Di samping itu, manusia purba sendiri membagi makhluk
halus kepada dua golongan, yakni makhluk halus yang jahat dan baik. Atas dasar
pembagian ini, maka manusia purba menggambarkan wujud makhluk halus itu dengan
gambaran yang menakutkan, juga dengan yang menarik hati. Sistem keyakinan
terhadap makhluk halus ini, oleh Kruyt disebut spiritisme. Kruyt pun
menghubungkan teori animisme dan spiritisme dengan mengembangkan sebuah
pemikiran yang mengikuti cara-cara berpikir evolusionisme.
7.
Teori
tentang Yang Gaib atau Keramat
Rudolf
Otto (1869-1937) adalah orang yang memiliki konsep tentang sikap takut-terpesona
terhadap hal yang gaib, yang diuraikan dalam buku Das Heilige atau Hal Yang
Keramat (1917). Menurutnya, semua sistem religi, kepercayaan dan agama berpusat
kepada suatu konsep tentang hal yang gaib (mysterium) yang dianggap maha
dahsyat (tremendum) dan keramat (sacre) oleh manusia. Yang gaib dan keramat
(sacre) itu adalah maha-abadi, maha dahsyat, maha-baik, maha-adil,
maha-bijaksana, tak terlihat, dan sebagainya. Sifat-sifat yang melekat pada
yang gaib dan keramat itu tidak bisa dijangkau oleh akal pikiran manusia.
Sekalipun demikian, karena yang keramat dan gaib itu menimbulkan rasa
takut-terpesona, menimbulkan hasrat universal untuk menghayati dan bersatu
denganNya.
8.
Teori
yang Didasarkan pada Upacara Religi
Robertson
Smith (1846-1894) adalah seorang teolog, ahli ilmu pasti, ahli bahasa dan
kesusastraan semit. Teori yang dikemukakan Robertson adalah Upacara Bersaji.
Teori ini tidak didasarkan pada sistem keyakinan atau doktirn religi, tetapi
berpangkal pada upacaranya. Teorinya terungkap dalam buku Lectures on Religion
of the Semites (1889). Ada tiga gagasan mengenai asas-asas agama yang
dikemukakan Robertson, yakni:
a. bahwa
disamping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara merupakan suatu
perwujudan dari agama yang memerlukan studi atau analisa yang khusus.
b. bahwa
upacara religi atau agama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan
solidaritas masyarakat.
c. bahwa
fungsi upacara bersaji di mana manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang,
terutama darahnya kepada dewa dan sebagian lagi untuk dimakannya sendiri
merupakan suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas terhadap dewa.
9.
Teori
Magic (Kekuatan Gaib)
Teori
ini dimunculkan oleh J.G Frazer (1854-1941), seorang antropolog asal Inggris
dalam bukunya The Golden Bough, a Study in Magic and Religion. Magic
menurutnya, adalah suatu penerapan yang salah dari kaidah sebab akibat yang
berlaku dan dianut oleh ilmu pengetahuan manusia pada umumnya. Magic dipandang
sebagai manipulasi dari suatu kekuatan misterius. Persoalan-persoalan hidup
yang tidak dapat dipecahkan dengan akal, dipecahkan dengan ilmu gaib (magic).
Ilmu gaib tiada lain adalah segala perbuatan manusia untuk mencapai suatu
maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada di alam semesta ini dan diyakini
penuh dengan makhluk-makhluk halus, maka manusia berusaha mencari hubungan
dengan makhluk halus tersebut. Yang paling penting dalam teori ini adalah,
bahwa dari kepercayaan terhadap kekuatan gaib inilah awal timbulnya agama.
10.
Teori tentang Upacara Inisiasi (Kematian)
R.
Hertz adalah seorang antropolog Prancis. Hertz berpandangan bahwasebagain besar
dari tingkah laku manusia dalam masyarakat sangat banyak dipengaruhi dan
ditentukan oleh gagasan orang banyak, atau gagasan kolektif yang hidup dalam
masyarakat itu. Begitu pula gagasannya tentang upacara kematian, selalu
dilakukan manusia dalam rangka adat istiadat dan struktur sosial dari
masyarakatnya yang berwujud sebagai gagasan kolektif. Oleh karena itu, analisa
terhadap upacara kematian harus terlepas dari perasaan pribadi para pelaku
upacara terhadap orang yang meninggal, tetapi harus dipandang dari sudut
gagasan kolektif tadi. Dalam konteks ini, mati bisa dianggap sebagai suatu
proses peralihan dari suatu kedudukan sosial yang tertentu ke kedudukan sosial
yang lain. Dalam peristiwa mati, peralihan manusia terjadi dari suatu kedudukan
sosial di dunia ke suatu kedudukan sosial di dunia makhluk halus. Dengan
demikian, upacara kematian tiada lain adalah upacara inisiasi.
B. Kritik terhadap Teori Evolusionisme
Salah
satu pembicaraan tentang agama yang diselidiki dengan metode evolusionisme
adalah asal-usul agama dan pokok metode ini adalah teori evolusi. Mendengar
istilah evolusionisme, pada umumnya akan dihubungkan dengan nama Darwin sang
pencipta teori ini yang terkenal dengan bukunya The Origin of Species by Means
of Natural Selection. Khususnya mengenai teori evolusionisme ini, Mukti Ali,
memberikan penolakannya, bahwa agama yang benar adalah monoteisme. Kepercayaan
tentang monoteisme ini tidak melalui evolusi tetapi revelasi (wahyu), sebab:
1. Kalau
kepercayaan tentang Tuhan itu melalui evolusi, maka sesuai dengan tingkat
berpikirnya akan membawa kesimpulan, bahwa agama merupakan produk (hasil)
pemikiran manusia.
2. Kalau
kepercayaan tentang Tuhan itu, melalui proses evolusi, yang asal kepercayaannya
itu percaya terhadap Tuhan yang banyak kemudian berkembang menjadi monoteisme,
berarti bahwa yang satu itu lebih sempurna dari yang banyak. Padahal tidak
setiap yang banyak adalah lebih sempurna dan lebih baik daripada yang sedikit
atau daripada yang satu.
3. Apabila
kepercayaan yang satu berasal dari yang banyak, kenapa proses evolusi yang satu
kemudian menjadi berhenti. Mengapa konsep evolusi yang satu ini tidak
dilanjutkan menjadi Tuhan tiga-perempat, Tuhan separuh, dan sebagainya.
Penolakan
ini kelihatannya bersifat apologis, karena menurut pandangan keagamaaan yang
diyakininya. Evolosionisme memandanng agama sebagai produk budaya manusia,
sedangkan Mukti Ali melihat agama sebagai revelation (wahyu). Sekalipun
demikian, Mukti Ali cukup rasional membantah evolusionisme yang dilihat dari
pandangan agama (pada umumnya).
C. Pemujaan terhadap Leluhur
Ada
dua hal yang mesti dibedakan, yang pada umumnya seringkali dicampuradukkan,
yaitu:
Pertama,
pemujaan terhadap leluhur merupakan kumpulan sikap, kepercayaan, dan praktik
yang berhubungan dengan pendewaan orang-orang
yang sudah meninggal dalam suatu komunitas, khususnya dalam hubungan
kekeluargaan. Akan tetapi, ada banyak kasus di mana orang mati tidak
diilahikan, melainkan dianggap sebagai makhluk-makhluk berkuasa yang
kebutuhannya harus dipenuhi.
Kedua,
bentuk pemujaan tersebut mengandaikan bahwa leluhur yang telah meninggal
sebenarnya masih hidup dalam wujud yang efektif dan bisa campur tangan dalam
kehidupan manusia, oleh karenanya harus ditenangkan, atau bahwa kegiatan
manusia sendiri dapat mengembangkan kesejahteraan leluhur yang telah meninggal
dalam kehidupan berikutnya. Dengan membedakan penghormatan kepada leluhur dan
pemujaan kepada leluhur, dengan anggapan bahwa mereka seolah dewa-dewa, kita
membatasi pemakaian istilah pemujaan terhadap leluhur hanya dalam arti yang
kedua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar