Kamis, 04 Juni 2015

Antropologi Agama



AGAMA SEBAGAI SISTEM BUDAYA
kebudayaan yang hidup pada suatu masyarakat, pada dasarnya merupakan gambaran dari pola pikir, tingkah laku, dan nilai yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Dari sudut pandang ini, agama di satu sisi memberikan kontribusi terhadap nilai-nilai budaya yang ada, sehingga agama pun bisa berjalan atau bahkan akomodatif dengan nilai-nilai budaya yang sedang dianutnya. Pada sisi lain, karena agama sebagai wahyu dan memiliki kebenaran yang mutlak, maka agama tidak bisa disejajarkan dengan nilai-nilai budaya setempat, bahkan agama harus menjadi sumber bagi kelangsungan nilai-nilai budaya itu. Di sinilah terjadi timbal balik antara agama dengan budaya. Persoalannya adalah, apakah nilai-nilai agama lebih dominan dalam kehidupan masyarakat itu? pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang akan kita bahas dalam tulisan ini.
A.      Agama dan Sistem Budaya
Menurut Herskovit, memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religious dan lain-lain. Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Parsupadi Suparian secara lebih spesifik menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan cetak biru bagi kehidupan, atau pedoman bagi kehidupan masyarakat, yaitu merupakan perangkat-perangkat acuan yang berlaku untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan para warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Maka dapat disimpulkan, bahwa kebudayaan itu merupakan sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku, bahasa, peralatan hidup,, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Hubungan kebudayaan dan agama, dalam konteks ini agama dipandang sebagai realitas dan fakta sosial sekaligus juga sebagai sumber nilai dalam tindakan-tindakan sosial maupun budaya. Menurut Talcott Parsons menyatakan bahwa “agama merupakan suatu komitmen terhadap perilaku; agama tidak hanya kepercayaan, tetapi perilaku atau amaliah”. Sebagai realitas sosial, tentu saja ia hidup dan termanifestasikan di dalam masyarakat.

B.       Pengaruh Agama terhadap Sistem Budaya
Hubungan yang erat antara agama dengan masyarakat dan budayanya tidak berarti bahwa agama harus menyesuaikan diri dengan segala yang ada dalam masyarakat begitu saja. Malahan sebaliknya, agama diharapkan untuk memberi pengarahan dan bantuan untuk memainkan peranan kritis-kreatif terhadap masyarakat yang dalam banyak hal memang tidak beres. Antara agama dan masyarakat seharusnya terdapat hubungan timbal balik (dialektis). Oleh karena itu, betapa pentingnya bagi setiap agama dan terutama para pemeluknya memiliki pengertian, kepekaan, kesadaran, dan pengetahuan tentang keadaan masyarakat. Inilah yang diperlukan oleh umat beragama, khususnya para pemuka agama dalam kehidupan sosial keagamaannya. Dalam kehidupan masyarakat, agama mempunyai peranan penting karena ia mengandung beberapa faktor, yaitu:
1.    faktor kreatif, yaitu faktor yang mendorong dan merangsang manusia baik untuk melakukan kerja produktif maupun karya kreatif yang menciptakan.
2.    faktor inovatif, yaitu faktor yang mendorong, melandasi cita-cita dan amalan perbuatan manusia dalam seluruh aspek kehidupan.
3.    faktor sublimatif, yaitu meningkatkan dan menguduskan gejala kegiatan manusia bukan hanya dalam hal-hal yang bersilat keagamaan saja, tapi juga yang bersilat keduniaan.
4.    faktor integratif, yaitu mempersatukan pandangan dan sikap manusia serta memadukan berbagai kegiatannya, baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam berbagai penghayatan agama guna menghindarkan diri dari ketidakserasian dan perpecahan yang pada gilirannya nanti mampu menghadapi berbagai macam tantangan hidup.

MANUSIA RELIGIUS
A.  Yang Sakral dan Yang Profan (The Sacred and The Profane)
Yang sakral atau yang kudus (sacred) adalah sesuatu yang terlindung dari pelanggaran, pengacauan atau pencemaran. Yang kudus merupakan sesuatu yang dihormati, dimuliakan dan tidak dapat dinodai. Pengertian yang kudus tidak hanya terbatas pada agama, tetapi juga pada banyak objek, baik yang bersifat keagamaan maupun bukan, seperti tindakan-tindakan, tempat-tempat, kebiasaan-kebiasaan dan gagasan-gagasan. Dalam pengertian yang lebih sempit, yang kudus adalah sesuatu yang dilindungi, khususnya oleh agama, terhadap pelanggaran, pengacauan atau pencemaran. Yang kudus adalah sesuatu yang suci, keramat.
Kebalikan dari yang kudus adalah yang profane. Profan adalah sesuatu yang biasa, umum, tidak dikuduskan dan bersifat sementara. Pendek kata, yang ada di luar religius. Dalam pandangan Dhavamony, istilah profane dalam pengertian itu, tidak dimaksudkan dalam arti apa yang tidak suci, tidak sopan, yang menghina atau cemar. Dalam memahami yang kudus dan profane ini, Eliade lebih menekankan pada manusia beragamanya (homo-religius), sebab manusia religius mempunyai sikap tertentu terhadap kehidupan ini, terhadap dunia, terhadap manusia sendiri dan terhadap apa myang dianggapnya kudus. Yang kudus merupakan pusat kehidupan dan pengalaman religius. Kehidupan religius adalah pengalaman kratofani, hierofani dan teofani yang mempengaruhi seluruh kehidupan manusia. Rudolt Otto menyatakan bahwa unsur pokok dalam pengalaman religius adalah perasaan numinous (dari latin, numen; Inggris, god) yang nonrasional terhadap obyek (mysterium tremendum). Maka, yang kudus (the sacred-das heilige) merupakan unsur khas yang menciptakan pengalaman religius dalam semua gagasan dan perasaannya yang berbeda-beda dan selalu menampakkan dirinya sebagai suatu realitas alamiah. Obyek numinus (mysterium tremendum) menimbulkan rasa kagum atau takut, kuasa atau kekuatan dan urgensi atau energi. Obyek ini tidak hanya membuat kagum dan takut, tetapi juga tertarik dan terpikat. Dalam agama-agama yang berkembang sekarang, secara hierofani, konsep yang kudus bisa ditemukan. Misalnya, bagi orang Hindu, yang kudus ada dalam Veda (pengetahuan suci), Brahman (formula suci, realitas suci), Dharma (hukum suci, kewajiban suci), dan Moksha (pembebasan sebagai sarana dan tujuan pembebasan).

B.  Upacara Keagamaan (Ritus)
Ritus adalah alat manusia religius untuk melakukan perubahan. Juga bisa dikatakan sebagai tindakan simbolis agama atau ritual itu merupakan agama dalam tindakan. Susanne Langer menunjukkan bahwa ritual merupakan ungkapan yang bersifat logis daripada hanya bersifat psikologis. Ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobyekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan perasaan serta membentuk disposisi pribadi dari pada pemuja yang mengikuti modelnya masing-masing, Menurutnya, ritual dapat dibedakan dalam empat macam:
a.    tindakan magi, yang dikait dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis;
b.    tindakan religius, kultus para leluhur, juga bekerja dengan cara yang pertama;
c.    ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas; dan
d.   ritual faktitif, yang meningkatkan produktifitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok.
Masa Transisi Ritual, masa ritus ini khususnya dilakukan pada waktu-waktu krisis, baik ketika ingin memenuhi kebutuhan hidup, fisik maupun spiritual. Kondisi seperti ini melibatkan supranatural, baik dilakukan secara individu maupun kelompok. Bentuk-bentuk upacara ritual pada masa-masa krisis ini antara lain masa kelahiran, anak remaja, perkawinan, kematian, saat menanam dan memanen dan pertukaran tahun.
Bentuk-bentuk ritus, Van Gennep menyatakan bahwa semua ritus dan upacara itu dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu:
a.    ritus perpisahan (separation); manusia melepaskan kedudukannya yang semula. Acaranya ditandai dengan tindakan-tindakan yang melambangkan perpisahan;
b.    ritus peralihan (marge); manusia dianggap mati atau tak ada lagi, dan dalam keadaan seperti tak tergolong dalam lingkungan sosial manapun. Mereka dipersiapkan untuk menjadi manusia baru dalam lingkungan sosialnya yang baru pula. Misalnya, diberikan pelajaran mengenai adat istiadat keramat nenek moyangnya, diperlihatkan benda-benda suci pusaka nenek moyangnya, diceritakan cerita-cerita mitologi suci, dipelajari sopan santun, dan sebagainya;
c.    ritus integrasi kembali (aggregation); upacara peresmian menuju tahap kehidupan dan lingkungan sosial yang baru, sebagaimana dilakukan pada upacara-upacara inisiasi lainnya, di mana individu yang bersangkutan secara perlambang seakan-akan dilahirkan kembali, dan mengukuhkan integrasinya ke dalam lingkungan sosialnya yang baru.
Dalam setiap ritus penerimaan, dijalani melalui tiga tahap, yaitu perpisahan, peralihan, dan penggabungan. Pada tahap perpisahan, individu dipisahkan dari suatu tempat atau kelompok atau status; dalam tahap peralihan, ia disucikan dan menjadi subyek bagi prosedur-prosedur perubahan; sedangkan pada masa penggabungan ia secara resmi ditempatkan pada suatu tempat, kelompok, atau status yang baru.
Tujuan ritus, bagi kebanyakan suku-suku primitive, upacara atau ritus keagamaan dilakukan untuk mempertahankan  kontak dengan roh-roh yang berkuasa dan membuat mereka mempunyai perhatian yang menguntungkan dengan mengaruniakan makanan dan kesehatan. Hubungan ini perlu dipertahankan dalam arti tertentu sebagaimana hubungan dengan manusia yang berkuasa, yaitu mempersembahkan hadiah-hadiah dan bersikap merendah. Namun, penguasa itu harus diperlakukan secara lebih hormat dan bahkan lebih formal.

C.  Simbolisme Agama
Kegiatan manusia pada umumnya melibatkan simbolisme, karena itu manusia bukan hanya merupakan animal rationale, tetapi juga disebut homo simbolicus. Ungkapan-ungkapan simbolis digunakan untuk menunjuk pada suatu yang transenden, yang transmanusiawi, yang transhistoris, dan metaempiris. Fungsi simbol-simbol yang dipakai dalam upacara adalah sebagai alat komunikasi dan menyuarakan pesan-pesan ajaran agama dan kebudayaan yang dimilikinya, khususnya yang berkaitkan dengan etos dan pandangan hidup, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh adanya upacara tersebut. Simbol merupakan gambaran yang sakral sekaligus juga sebagai mediator manusia untuk berhubungan dengan yang sakral, sebab manusia tidak bisa mendekati yang sakral secara langsung, karena yang sakral itu adalah transenden sedangkan manusia adalah makhluk temporal yang terikat di dalam dunianya. Maka manusia bisa mengenal yang sakral, sejauh bisa kenal, melalui simbol.

BEBERAPA TEORI TENTANG ASAL-USUL DAN BENTUK KEPERCAYAAN (RELIGI)
A.  Teori-teori tentang Asal-Usul Kepercayaan
Adapun teori-teori antropologi yang mengkaji asal-usul dari bentuk kepercayaan itu, antara lain: 
1.        Teori Animisme dan Kritikannya
Edward Burnett Tylor (1832-1917), seorang antropolog yang pertama mengajukan teori animisme dalam bukunya primitive culture. Pada dasarnya, teori ini berangkat dari pendapat bahwa manusia pertama mengamati dirinya dan dunia disekitarnya dan mengambil konklusi mengenai adanya jiwa atau anima. Menurutnya, penemuan ini melalui dua jalur pemikiran: mimpi dan kematian. Manusia awal atau premitif itu memperoleh pangalaman bahwa dalam mimpi ia bisa melakukan hal-hal yang mustahil: bisa pergi ke tempat-tempat lain, menemui orang lain, melihat hal-hal yang jauh-jauh, sedangkan menurut kenyataannya, dia hanya berada dalam keadaan istirahat dan tidur. Suasana mimpi ini dijelaskannya melalui suatu jiwa yang tidak secara obsolut identik dengan dirinya. Dengan cara yang hampir sama, dia bisa menjelaskan, bagaimana konsep jiwa bisa lahir dari renungan terhadap kematian.
2.        Teori tentang Dewa Tertinggi
Andrew Lang ((1844-1912), yang memiliki teori ini adalah seorang sastrawan inggris yang banyak menulis sajak dan esai untuk majalah. Sekalipun bukan seorang antropolog, namun ia banyak menulis buku tentang kebudayaan dan dianggap merupakan bacaan penting bagi para ahli antropologi. Diantara buku-bukunya itu, ada sebuah buku yang memuat teori asal-usul dan bentuk kepercayaan agama kuno, yakni the making of religion (1898). Buku ini terdiri dari dua bagian, yang pertama berkenaan dengan gejala para psikologi, dan yang kedua mengenai suatu keyakinan yang ada pada banyak suku bangsa primitif yang dikenal dengan dewa tertinggi (supreme Being). Dia menemukan berbagai mitos dari suku-suku dan daerah-daerah di muka bumi ini. Dalam mitos tersebut ditemukan adanya tokoh dewa yang dipandang sebagai tertinggi, pencipta seluruh alam semesta beserta isinya. Sepandangan dengan Lang, Pettazzoni menyatakan bahwa supreme being bersumberkan mitos dan bukan hasil pemikiran logico causal sebagaimana pandangan Schmidt. Juga paham dewa tertinggi tidak timbul atas dasar keutuhan intelektualitas, tetapi berasal dari kebutuhan eksistensial manusia. Dengan demikian, Lang berkesimpulan bahwa kepercayaan kepada dewa tertinggi dalam religi suku-suku bangsa tersebut sudah sangat tua, dan kemungkinan merupakan bentuk religi manusia yang tertua, kemudian terdepak ke belakang oleh keyakinan kepada makhluk-makhluk halus lain seperti dewa-dewa alam, roh nenek moyang, hantu, dn lain-lain.


3.        Teori tentang Animatisme (Pra-Animisme)
Animatisme dapat dipahami dalam dua cara, sebagai kepercayaan dan sebagai teori untuk menjelaskan asal-usul historis dari agama dalam kontek pemikiran evolusionis. R.R. Marett dalam bukunya The Threshold of Religion, berpendapat bahwa animatisme mendahului animisme sebab bentuknya lebih sederhana dibandingkan animisme. Ia melawan anggapan Tylor bahwa konsep-konsep animistis bukanlah unsur yang paling sederhana dalam agama-agama primitif. Menurut teori ini, semula manusia primitif telah berpikir mengenai suatu daya pembaharu yang tersebar ke mana-mana di dunia sebelum dia mempribadikannya dalam makhluk-makhluk rohani secara terpisah.
Mana, yang merupakan istilah Oceania, kemudian dipergunakan Marett untuk mengembangkan suatu teori tentang apa yang dianggapnya sebagai bentuk religi yang tertua. Bentuk religi yang paling tua yang diuraikan Marett di atas disebutnya Praeanimisme, suatu bentuk religi yang paling tua dibandingkan dengan penyembahan terhadap roh atau makhluk halus sebagaimana dikemukakan dalam teori Tylor, animisme.
4.        Teori Totemisme
Istilah totemisme berasal dari kata Ojibwa (suku Algonkin di amerika utara), ditulis secara beragam totem, tatam, dodaim. Totemisme merupakan fenomena yang menunjuk kepada hubungan organisasional khusus antara suatu suku bangsa atau klan dan suatu proses tertentu dalam wilayah binatang atau tumbuhan. Hubungan ini diungkapan sebagaian dalam upacara-upacara khusus dan sebagian lagi dalam aturan-aturan khusus perkawinan di luar suku. Totem merupakan simbol kelompok dan menganggapnya sebagai pelindung kelompok secara keseluruhan.
5.        Teori Urmonoteisme (Firman Tuhan)
Pada dasarnya teori yang dikembangkan Schmidt merupakan kelanjutan dari teori Lang. Wilhelm Schmidt (1868-1954) merupakan seorang antropolog sekaligus juga seorang pendeta Katolik bangsa Austria. Karena kependetaan inilah, teori yang dikembangkannya sangat dipengaruhi oleh keyakinan agamanya. Olek karena itu, teori Lang tentang adanya keyakinan terhadap dewa tertinggi dalam sistem religi suku-suku bangsa primitif, sangat cocok dengan pandangan dasarnya sebagai pendeta agama Katolik. Ia mengembangkan suatu teori bahwa religi itu berasal dari Titah Tuhan yang diturunkan kepada makhluk manusia waktu ia mula-mula muncul di muka bumi. Adanya keyakinan kepada dewa pencipta yang justru ada pada bangsa-bangsa primitif (Schmidt menyebut bangsa yang paling tua) memperkuat anggapannya tentang adanya Titah Tuhan asli, atau Uroffenbarung, Urmonotheismus. Keyakinan kepada Tuhan yang asli dan bersih (Urmotheismus) ini malah ada pada bangsa-bangsa tua, yang hidup pada zaman ketika tingkat kebudayaan manusia masih rendah. Ketika kebudayaan manusia bertambah maju, kayakinan asli terhadap Tuhan menjadi kabur, kebutuhan manusia semakin banyak, maka keyakinan asli itu menjadi makin terdesak oleh pemujaan kepada makhluk-makhluk halus, roh-roh, dewa-dewa, dan sebagainya.
6.        Teori Animisme dan Dinamisme
Kruyt (1869-1949) adalah seorang pendeta bangsa belanda yang bertugas sebagai penyiar agama Nasrani bagi penduduk yang berada di pegunungan, yaitu orang Toraja di Sulawesi Tengah. Ia banyak menulis etnografi tentang suku-suku bangsa di Sulawesi Tengah itu. Salah satu berjudul Het Animisme in den Indischen Archipel (1906). Ia juga mengembangkan teori kekuatan gaib pada masyarakat purba yang serupa dengan mana dan kekuatan supernatural sebagai mana dikemukakan oleh Codrington dan Marett.
Menurut keyakinan manusia kuno itu, bagian tubuh manusia yang mengandung lebih banyak zielestof adalah kepala, rambut, kuku, jeroan, pusar, gigi, ludah, keringat, air mata, air seni, dan kotoran manusia. Untuk menambah zielestofnya, manusia harus meminum atau memakan zat-zat tertentu, seperti minum darah. Sedangkan binatang yang mengandung lebih banyak zielestof adalah kunang-kunang, jangkrik, kupu-kupu, burung, tikus, ular, dan jenis-jenis binatang yang besar seperti harimau. Tumbuh-tumbuhan seperti padi, nyiur, pohon aren, kamper, dan karet mengandung lebih banyak zielestof daripada tumbuhan lainnya. Demikian juga diantara benda-benda yang mengandung zielestof adalah benda-benda yang terbuat dari besi, batu, periuk, belangga, serta benda-benda pusaka.
Keyakinan pada zielestof tersebut di atas, oleh Kruyt disebut anemisme. Karena, zielestof itu ada dalam diri manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan, sehingga timbul keyakinan bahwa zielestof itu dapat beralih dari satu medium ke medium lain, misalnya dari manusia ke binatang, atau sebaliknya. Dengan adanya keyakinan tentang perpindahan jiwa atau inkarnasi, maka hal demikian merupakan bagian dari sistem animisme. Di samping itu, manusia purba sendiri membagi makhluk halus kepada dua golongan, yakni makhluk halus yang jahat dan baik. Atas dasar pembagian ini, maka manusia purba menggambarkan wujud makhluk halus itu dengan gambaran yang menakutkan, juga dengan yang menarik hati. Sistem keyakinan terhadap makhluk halus ini, oleh Kruyt disebut spiritisme. Kruyt pun menghubungkan teori animisme dan spiritisme dengan mengembangkan sebuah pemikiran yang mengikuti cara-cara berpikir evolusionisme.
7.        Teori tentang Yang Gaib atau Keramat
Rudolf Otto (1869-1937) adalah orang yang memiliki konsep tentang sikap takut-terpesona terhadap hal yang gaib, yang diuraikan dalam buku Das Heilige atau Hal Yang Keramat (1917). Menurutnya, semua sistem religi, kepercayaan dan agama berpusat kepada suatu konsep tentang hal yang gaib (mysterium) yang dianggap maha dahsyat (tremendum) dan keramat (sacre) oleh manusia. Yang gaib dan keramat (sacre) itu adalah maha-abadi, maha dahsyat, maha-baik, maha-adil, maha-bijaksana, tak terlihat, dan sebagainya. Sifat-sifat yang melekat pada yang gaib dan keramat itu tidak bisa dijangkau oleh akal pikiran manusia. Sekalipun demikian, karena yang keramat dan gaib itu menimbulkan rasa takut-terpesona, menimbulkan hasrat universal untuk menghayati dan bersatu denganNya.
8.        Teori yang Didasarkan pada Upacara Religi
Robertson Smith (1846-1894) adalah seorang teolog, ahli ilmu pasti, ahli bahasa dan kesusastraan semit. Teori yang dikemukakan Robertson adalah Upacara Bersaji. Teori ini tidak didasarkan pada sistem keyakinan atau doktirn religi, tetapi berpangkal pada upacaranya. Teorinya terungkap dalam buku Lectures on Religion of the Semites (1889). Ada tiga gagasan mengenai asas-asas agama yang dikemukakan Robertson, yakni:
a.    bahwa disamping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara merupakan suatu perwujudan dari agama yang memerlukan studi atau analisa yang khusus.
b.    bahwa upacara religi atau agama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat.
c.    bahwa fungsi upacara bersaji di mana manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang, terutama darahnya kepada dewa dan sebagian lagi untuk dimakannya sendiri merupakan suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas terhadap dewa.
9.        Teori Magic (Kekuatan Gaib)
Teori ini dimunculkan oleh J.G Frazer (1854-1941), seorang antropolog asal Inggris dalam bukunya The Golden Bough, a Study in Magic and Religion. Magic menurutnya, adalah suatu penerapan yang salah dari kaidah sebab akibat yang berlaku dan dianut oleh ilmu pengetahuan manusia pada umumnya. Magic dipandang sebagai manipulasi dari suatu kekuatan misterius. Persoalan-persoalan hidup yang tidak dapat dipecahkan dengan akal, dipecahkan dengan ilmu gaib (magic). Ilmu gaib tiada lain adalah segala perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada di alam semesta ini dan diyakini penuh dengan makhluk-makhluk halus, maka manusia berusaha mencari hubungan dengan makhluk halus tersebut. Yang paling penting dalam teori ini adalah, bahwa dari kepercayaan terhadap kekuatan gaib inilah awal timbulnya agama.
10.    Teori  tentang Upacara Inisiasi (Kematian)
R. Hertz adalah seorang antropolog Prancis. Hertz berpandangan bahwasebagain besar dari tingkah laku manusia dalam masyarakat sangat banyak dipengaruhi dan ditentukan oleh gagasan orang banyak, atau gagasan kolektif yang hidup dalam masyarakat itu. Begitu pula gagasannya tentang upacara kematian, selalu dilakukan manusia dalam rangka adat istiadat dan struktur sosial dari masyarakatnya yang berwujud sebagai gagasan kolektif. Oleh karena itu, analisa terhadap upacara kematian harus terlepas dari perasaan pribadi para pelaku upacara terhadap orang yang meninggal, tetapi harus dipandang dari sudut gagasan kolektif tadi. Dalam konteks ini, mati bisa dianggap sebagai suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial yang tertentu ke kedudukan sosial yang lain. Dalam peristiwa mati, peralihan manusia terjadi dari suatu kedudukan sosial di dunia ke suatu kedudukan sosial di dunia makhluk halus. Dengan demikian, upacara kematian tiada lain adalah upacara inisiasi.

B.  Kritik terhadap Teori Evolusionisme
Salah satu pembicaraan tentang agama yang diselidiki dengan metode evolusionisme adalah asal-usul agama dan pokok metode ini adalah teori evolusi. Mendengar istilah evolusionisme, pada umumnya akan dihubungkan dengan nama Darwin sang pencipta teori ini yang terkenal dengan bukunya The Origin of Species by Means of Natural Selection. Khususnya mengenai teori evolusionisme ini, Mukti Ali, memberikan penolakannya, bahwa agama yang benar adalah monoteisme. Kepercayaan tentang monoteisme ini tidak melalui evolusi tetapi revelasi (wahyu), sebab:
1.    Kalau kepercayaan tentang Tuhan itu melalui evolusi, maka sesuai dengan tingkat berpikirnya akan membawa kesimpulan, bahwa agama merupakan produk (hasil) pemikiran manusia.
2.    Kalau kepercayaan tentang Tuhan itu, melalui proses evolusi, yang asal kepercayaannya itu percaya terhadap Tuhan yang banyak kemudian berkembang menjadi monoteisme, berarti bahwa yang satu itu lebih sempurna dari yang banyak. Padahal tidak setiap yang banyak adalah lebih sempurna dan lebih baik daripada yang sedikit atau daripada yang satu.
3.    Apabila kepercayaan yang satu berasal dari yang banyak, kenapa proses evolusi yang satu kemudian menjadi berhenti. Mengapa konsep evolusi yang satu ini tidak dilanjutkan menjadi Tuhan tiga-perempat, Tuhan separuh, dan sebagainya.
Penolakan ini kelihatannya bersifat apologis, karena menurut pandangan keagamaaan yang diyakininya. Evolosionisme memandanng agama sebagai produk budaya manusia, sedangkan Mukti Ali melihat agama sebagai revelation (wahyu). Sekalipun demikian, Mukti Ali cukup rasional membantah evolusionisme yang dilihat dari pandangan agama (pada umumnya).  
C.  Pemujaan terhadap Leluhur
Ada dua hal yang mesti dibedakan, yang pada umumnya seringkali dicampuradukkan, yaitu:
Pertama, pemujaan terhadap leluhur merupakan kumpulan sikap, kepercayaan, dan praktik yang berhubungan dengan pendewaan orang-orang  yang sudah meninggal dalam suatu komunitas, khususnya dalam hubungan kekeluargaan. Akan tetapi, ada banyak kasus di mana orang mati tidak diilahikan, melainkan dianggap sebagai makhluk-makhluk berkuasa yang kebutuhannya harus dipenuhi.
Kedua, bentuk pemujaan tersebut mengandaikan bahwa leluhur yang telah meninggal sebenarnya masih hidup dalam wujud yang efektif dan bisa campur tangan dalam kehidupan manusia, oleh karenanya harus ditenangkan, atau bahwa kegiatan manusia sendiri dapat mengembangkan kesejahteraan leluhur yang telah meninggal dalam kehidupan berikutnya. Dengan membedakan penghormatan kepada leluhur dan pemujaan kepada leluhur, dengan anggapan bahwa mereka seolah dewa-dewa, kita membatasi pemakaian istilah pemujaan terhadap leluhur hanya dalam arti yang kedua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar