BAB
II
PEMBAHASAN
Hal
yang menarik dari sudut pandang feminism, adalah bagian ajaran maharesi manu
yang mengetengahkan konsep ardanareswari. Dinyatakan bahwa dalam rangka
penciptaan alam semesta ini Tuhan Yang Maha Esa membagi diri-Nya menjadi dua
bagian sebagai pasangan beroposisi yang disebut ardanareswari: satu bagian
sebagai laki-laki dan satu bagian lagi sebagai perempuan(MDs, I:32). Dari
pertemuan-Nya yang telah menjadi berpasangan ini lahirlah berbagai jenis
makhluk yang juga serba berpasang. Tuhan dalam aspek-Nya yang dualis atau
pasangan beroposisi ini dapat dipahami sebagai benih konsep kesetaraan gender
dalam hindu. Karena ia Yang Tunggal menjadikan diri-Nya dua: satu bersifat
maskulin dan satu lagi bersifat feminim.
Aspek
feminim tercipta bukan dari sesuatu di luar diri-Nya. Artinya, secara teologis
hindu tidak ada alasan yang membenarkan adanya diskriminasi dimana perempuan
berkedudukan lebih rendah dari laki-laki. Karena, laki-laki dan perempuan
bersumber dari satu sumber, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Perbedaan yang terjadi
hanyalah dalam hal peranan dan kerjanya. Satu semesta yang dalam terminology
hindu disebut purusa dan prakrti, azas roh dan azas materi. Personifikasi dari
dua aspek Tuhan tersebut dalam mitologi hindu digambarkan sebagai dewa dan
dewi, raja dan ratu. Dewa disebelah kanan dan dewi disebelah kiri. Posisi
berdampingan secara sejajar tersebut, dengan demikian menyimbolkan kesetaraan.
Atas
dasar konsep kesetaraan gender tersebut, Menawa Dharmasastra dengan tegas
memuliakan posisi perempuan sebagai berikut.
Pitribhir
bhratrbhis caitah patibhir dewaraistatha
Pujya
bhusayita wyacca bahu kalyanmipsubhih (MDs, III:55).
Artinya:
Perempuan harus
dihormati dan disayangi oleh ayahnya, kakaknya,
Suaminya dan iparnya
yang menghendaki kesejahteraan sendiri.
Yatra
naryastu pujyante ramante tatra dewatah
Yatraitastu
na pujyante sarwastalah kryayah (MDs, III:56).
Artinya:
Dimana perempuan
dihormati di sana para dewa merasa senang.
Akan tetapi, dimana
perempuan tidak dihormati di sana tidak ada
upacara suci apapun
berpahala.
Socanti
jamayo yatra winasyatyacu tatkulam
Na
socanti tu yatraita wardhate taddhi sarwada (MDs, III:57).
Artinya:
(rumah tangga) di mana
perempuannya hidup sedih
Keluarga itu akan cepat
mengalami kehancuran.
Sebaliknya, di mana
perempuan tidak hidup menderita
Keluarga itu akan
selalu hidup bahagia.
Pudja
(1996:147) member komentar pasal MDs di
atas bahwa dalam hukum hindu, pasal-pasal tersebut memposisikan perempuan dalam
kedudukannya yang mulia. Kata pujyante yang berarti harus dihormati memiliki
arti wajib hukumnya bagi orang tuanya, saudara-saudaranya, suaminya dan anaknya
untuk melindungi perempuan. Kedudukan perempuan kembali dikukuhkan dengan nilai
teologis oleh Maharesi Manu bahwa bgi seorang putra, ayah, ibu(perempuan), dan
gurunya adalah tiga serangkai orang mulia yang patut dihormati. Karena tiga
serangkai ini adalah symbol Brahman.
Tuhan
yang nirguna atau yang bebas nilai dipersonifikasikan sebagai sang penguasa
alam atas; Prajapati, Tuhan yang saguna atau yang aktif adalah personifikasi
dari azas maskulin sebagai penguasa alam tengah; sementara prethiwi adalah
personifikasi dari azs feminim Tuhan sebagai sang penguasa bumi (Ds, III:226).
Juga sebagai symbol tiga api suci: api ahawanya, api grihapatya, dan api
daksina (MDs, III:231). Artinya, dengan menghormati guru, seseorang putra
(siswa) mencapai alam brahma atau alam Tuhan, dengan menghormati ayah seorang
putra akan menikmati alam tengah atau sorga, dan dengan menghormati ibu seorang
putra akan menikmati kebahagian di bumi (MDs, III:233).
Sebaliknya,
manakala perempuan tidak mendapat tempat yang layak dan tidak diperlakukan
secara manusiawi, maka dari sudut pandang hindu dipastikan bahwa segala kerja
yang diusahakan oleh anggota keluarga yang bersangkutan tidak akan berpahala. Dan
cepat atau lambat rumah tangga tersebut akan mengalami kehancuran, karena
dihancurkan oleh kekuatan gaib (MDs, III:58). Oleh karena itu, diamanatkan
bahwa bagi orang yang menginginkan hidup bahagia wajib menghormati perempuan
antara lain dengan cara pada hari raya memberinya hadiah perhiasan, pakaian,
dan makanan (MDs, III:59). Dinyatakan pula, bahwa di mana perempuan selalu
tampil dengan wajah berseri maka seluruh keluarga itu akan kelihatan bercahaya,
demikian sebaliknya (MDs, III:61-61).
Kedudukan
dan kewajiban perempuan sebagai ratu rumah tangga tentu tidak dapat dimaknai
bahwa perempuan hanya boleh mengambil pekerjaan rumah saja, dan tidak
dibenarkan melakukan pekerjaan sebagai mana halnya laki-laki. Maharesi Manu
menegaskan bahwa:
Raja
karmasu yuktanam strinam presyajanasya ca
Pratyaham
kalpayed wrttim sthanam karmanurupatah (MDs, VII:125).
Artinya:
Bagi perempuan yang
diperkerjakan di istana dan untuk pekerjaan kasar
hendaknya ditetapkan
secara layak biaya hidup sehari-harinya
sebanding dengan kedudukan
pekerjaan mereka.
Pasal
tersebut secara jelas menyatakan bahwa ada pekerjaan perempuan. Pekerjaan itu
dilakukan di luar rumah tangganya, dalam pasal ini di istana. Pekerjaan yang
dikerjakan ada yang bersifat halus dan ada pula yang bersifat kasar dan upah
yang diterima harus disesuaikan dengan kedudukan dan jenis pekerjaannya. Dari
isi pasal tersebut dapat dipahami bahwa jenis kerja bagi perempuan tetap
mengacu pada kaonseo kerja berdasarkan guna dan karma, karakter, bakat dan
kemauan kerjanya. Tidak berdasarkan kelahiran, status dan jenis kelamin. Hal
ini barangkali dapat dibandingkan dengan system perkawinan yang bersifat
khusus, dimana perempuan diposisikan berstatus sebagai purusa(laki-laki)
sementara laki-laki pasangannya berposisi sebagai predana(perempuan). Artinya,
apabila perempuan melakukan pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan keluarga,
maka itu dapat dimaknai bahwa perempuan(ibu) mengambil peran sebagai purusa,
laki-laki(suami). Demikian sebaliknya, apabila laki-laki(suami) melakukan pekerjaan
sebagai yang digariskan untuk perempuan, yaitu mengurus rumah tangga sementara
istrinya bekerja di luar rumah tangganya, maka laki-laki tersebut dapat disebut
berstatus sebagai predana,ibu.
Secara
teologis hindu hal tersebut dibenarkan. Karena pengertian dasar purusa dan
predana mengacu pada roh dan badan. Pararel dengan pengertian tersebut secara
lebih mendasar dapat pula dimaknai bahwa secara hakikat manusia laki atau
perempuan dalam dirinya ada aspek maskulin, yaitu rohnya dan pada aspek feminim,
yaitu badannya sendiri. Dari makna hakikat tersebut dapat pula dipahami bahwa
konsep kerja dan pembagian kerja hindu tidak didasarkan pada jenis kelamin.,
tetapi pada karakter dan bakat kerjanya. Kerja, apapun jenisnya ( catur warna: brahmana, ksatriya, waisya,
dan sudra) wajib dilaksanakan menurut kewajiban yang ditentukan (swadharma)
berdasarkan pengetahuan yang benar (jnana).
Hanya dengan demikian tujuan kerja (catur
purusartha : dharma, artha, kama, dan moksa) dapat tercapai.
B. Gender Menurut Veda dan Susastra Hindu
Penghargaan kepada perempuan, wanita, istri atau putri sesungguhnya
demikian tinggi. Di dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya, dengan
demikian maka bila terjadi pelecehan terhadap wanita, sesungguhnya pelakunya
yang tidak memahami tentang kedudukan wanita dalam agama Hindu. Banyak
tokoh-tokoh wanita disebutkan dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya
sangat dihormati karena kesucian, kecerdasan dan kepemimpinannya. Untuk
melihat tokoh-tokoh ideal dalam agama Hindu, maka dapat dirunut pada
pengelompokan atas profesi seseorang. Di antara profesi tersebut yang
mendapatkan posisi sangat terhormat adalah posisi sebagai Bràhamaóa dan
Kûatriya. Tokoh-tokoh terkemuka di kalangan profesi Bràhmaóa adalah para
Maharûi, Saýnyàsin, Sadhu atau orang-orang suci yang tersebut dalam kitab suci
Veda maupun susastra Hindu lainnya seperti di dalam kitab-kitab Upaniûad,
Itihàsa, Puràóa, termasuk pula kitab-kitab parwa dan kakawin di Indonesia.
Intinya, kita bisa mengkaji melalui Veda dan susastra Hindu baik yang
berbahasa Sanskerta maupun dalam karya sastra yang menggunakan media bahasa
Jawa Kuno. Lebih jauh tokoh-tokoh ideal dalam agama Hindu dapat dimulai dari
tokoh-tokoh yang disebutkan dalam kitab suci Veda, sebagai para Brahmavàdinì
antara lain: Viûvavàrà, Apàlà, Ghoûà, Godhà istri dari Vasukra, saudara
perempuan dari maharûi Agastya, Lopàmudrà, Ûaûvatì dan Romaûà. Di samping
nama-nama tersebut ada lagi Vàch (Sushil, 1982:130). Selain tokoh-tokoh
Brahmavàdinì di atas, di dalam kitab-kitab Upaniûad terdapat tokoh-tokoh yang
dikenal sebagai perempuan ideal dan ahli filsafat, yaitu: Maitreyì, Kàtyàyanì,
yang merupakan dua istri dari Yàjñvalkya, seorang maharsi yang sering dan
amat dominan disebutkan di dalam kitab-kitab Upaniûad. Tokoh perempuan lainnya
adalah Gàrgì, yang merupakan putra seorang tokoh atau pahlawan yang berasal
dari kota Banares (Ibid: 138).
Berikut kami sampaikan bagaimana pandangan kitab suci Veda terhadap
seorang perempuan, istri atau wanita: Seorang gadis hendaknya suci, berbudi
luhur dan berpengetahuan tinggi (Atharvaveda XI.1.27). Seorang gadis menentukan
sendiri peria idamanan calon suaminya (svayaývara/Ågveda X.27.12). Mempelai
wanita sumber kemakmuran (Ågveda X.85.36), Seorang lelaki yang terlalu banyak
mempunyai anak selalu menderita (Ågveda I.164.32). Terjemahan mantra ini
menunjukkan bahwa bila lelaki tidak merencanakan keluarganya (istrinya terlalu
banyak melahirkan, atau suami banyak punya istri dan anak) tentunya sangat
menderita. Pengendalian nafsu seks juga mendapat perhatian dalam kitab suci
Veda. Lebih lanjut seorang wanita dituntut untuk percaya kepada suami, dengan
kepercayaannya itu (patibrata), seorang istri dan keluarga akan memperoleh
kebahagiaan (Atharvaveda XIV.1.42).
Lebih jauh keutamaan seorang perempuan atau wanita di dalam kitab suci
Veda dinyatakan memiliki sifat innovatif, cemerlang, mantap, memberi
kemakmuran, diharapkan untuk cerdas menjadi sarjana, gagah berani dan dapat
memimpin pasukan ke medan pertempuran dan senantiasa percaya diri.(Yajurveda
XIV.21, Ågveda VIII.33.19, Atharvaveda XX.126.10, Ågveda X. 86.9, Ågveda
X.159.2, Atharvaveda I.27.2, 4; Yajurveda XIII.26, Yajurveda V.10 dan
Atharvaveda XIV.2.14). Dalam pengamatan kami terhadap mantra-mantra Veda,
tidaklah menemukan diskriminasi antara seorang perempuan dengan laki-laki, anak
laki-laki dengan anak perempuan dan sejenisnya.
Tokoh-tokoh perempuan ideal lainnya dapat dijumpai dalam kitab-kitab
Itihàsa dan Puràóa, khususnya dalam Ràmàyaóa, antara lain: Anasùyà (seorang
perempuan pertapa dan Jñànin yang pernah bertemu memberi nasehat kepada Ràma,
Sità dan Lakûamaóa), Ûabarì (seorang bhakta yang tulus dan merupakan abdi dari
maharûi Mataòga), Svayamprabha (pertapa perempuan yang memberikan bantuan
kepada Sang Hanùman), Ahalyà (istri maharûi Gautama), Saramà (perempuan yang
ditugaskan oleh Ràvaóa untuk menjaga dewi Sità), Trijaþà (putra Vibhìsaóa yang
sangat telaten melayani dan melindungi dewi Sità), Mandodarì (istri Ràvaóa),
Tara (istri Sugriva yang dilarikan oleh Subali), Kausalyà (ibu Úrì Ràma),
Sumitrà (ibu dari Lakûamaóa dan Satrughna), Sìtà (tokoh sentral dan perempuan
ideal dalam Ràmàyaóa (Nihshreyasananda, 1982:142-16). Dalam Mahàbhàrata, antara
lain: Kuntì (ibu dari Pandava), dan Draupadì (istri dari
Pandava/Tripurari Chakravarti, 1982:173-176). Di samping itu terdapat
juga: Úakuntalà (leluhur raja-raja Hastina/ Pandava dan Kaurava), Damayantì
(istri prabhu Nala), dan Savitrì (putri maharaja Aúvapati )(Suniti, 1982:205,
214).
Di dalam kitab-kitab Puràóa dapat dijumpai nama seorang perempuan ideal,
yaitu: Devahùtì (ibu dari maharûi Kapila, seorang tokoh dan pendiri dari
filsafat Saýkhya atau Saýkhya atau Saýkhya Darúana)(Rajendra, 1982: 229). Hal
yang sangat menarik, di Bali dapat dijumpai sebuah mantra yang populer disebut
dengan nama Smarastava, Panca Kanyam. Mantram ini terdiri dari satu bait
mantram yang biasa digunakan dalam upacara kematian, dengan harapan orang yaing
meninggal tersebut mencapai kebahagiaan di alam baka. Menurut informant pandita
Úiva, mantram ini digunakan pada waktu upacara kehamilan (upacara pada saat
seorang istri hamil) dan pada saat bayi berumur tiga bulan (Hooykaas,
1971:38). Berikut kami petikkan mantram Smarastava, Pañca Kanya, sebagai
berikut:
Ahalyà Draupadì Sità, Tàrà
Mandodarì tathà,
Pañca-kanyam smaren nityam,
Mahà-pàtaka-nàúanam.
‘Seseorang hendaknya bermeditasi kepada 5 perempuan
mulia, yaitu: Ahalyà, Draupadì,
Sità, Tàrà dan Mandodarì.
Mereka yang melakukan hal itu, segala dosanya akan dile-
Nyapkan’.
Terhadap mantram di atas, Prof. Dr. C. Hooykaas (1970:38) memberikan penjelasan tentang kelima perempuan mulia itu, sebagai berikut: “Ahalyà populer dikenal sebagai istri dari maharûi Gautama, ia melakukan perbuatan serong dengan dewa Indra dan kemudian dihukum dengan pengucilan abadi, yang kemudian diselamatkan (dibebaskan) oleh Úrì Ràma. Draupadì dan Sità adalah masing-masing pahlawan perempuan dalam Mahàbhàrata dan Ràmàyaóa. Tàrà adalah istri Båhaspati yang dilarikan oleh Soma, dan Mandodarì tercatat sebagai yang paling favorit dari para istri Ràvaóa. Kelima orang perempuan mulia itu digambarkan secara tradisional sebagai perempuan yang sangat cantik dan menawan. Tokoh-tokoh perempuan ideal tersebut pada umumnya dari kalangan profesi Bràhmaóa dan Kûatriya. Demikian antara lain tokoh-tokoh perempuan ideal dalam Veda dan susastra Hindu lainnya. Di samping tokoh-tokoh ideal di atas, terdapat juga tokoh-tokoh yang tidak patut ditiru, antara lain: Kaikeyì, Surphanaka (Titib, 1998:53) di dalam kitab Ràmàyaóa.
Di dalam sejarah Indonesia dikenal pula tokoh Ratu Simhà yang sangat adil
menurut prasasti Dinoyo. Pramodhavardhanì, salah seorang keturunan maharaja
Sanjaya di Jawa Tengah. Ratu Gàyatrì dan Tribhuvanatunggadevì, ratu-ratu yang
terkenal semasa kerajaan Majapahit. Di Bali dikenal pula ratu Vijayamahàdevì
dan Guóapriyà-dharmapatnì. Berdasarkan informasi tersebut di atas, dapat
diketahui bahwa menurut Veda, susastra Hindu dan juga sejarah Indonesia,
perempuan menduduki tempat yang tinggi dan bahkan di dalam Veda, perempuan
dapat memimpin, pimpinan sidang parlemen, cendekiawan dan bahkan terjun sebagai
panglima perang memimpin pertempuran.
BAB
III
PENUTUP
ü Kesimpulan
Dinyatakan bahwa dalam rangka penciptaan alam
semesta ini Tuhan Yang Maha Esa membagi diri-Nya menjadi dua bagian sebagai
pasangan beroposisi yang disebut ardanareswari: satu bagian sebagai laki-laki
dan satu bagian lagi sebagai perempuan(MDs, I:32). Dari pertemuan-Nya yang
telah menjadi berpasangan ini lahirlah berbagai jenis makhluk yang juga serba
berpasang. Tuhan dalam aspek-Nya yang dualis atau pasangan beroposisi ini dapat
dipahami sebagai benih konsep kesetaraan gender dalam hindu. Karena ia Yang
Tunggal menjadikan diri-Nya dua: satu bersifat maskulin dan satu lagi bersifat
feminim.
Perempuan di dalam kitab suci Veda dinyatakan memiliki sifat innovatif,
cemerlang, mantap, memberi kemakmuran, diharapkan untuk cerdas menjadi sarjana,
gagah berani dan dapat memimpin pasukan ke medan pertempuran dan senantiasa
percaya diri. Dapat diketahui bahwa menurut Veda, susastra Hindu dan juga
sejarah Indonesia, perempuan menduduki tempat yang tinggi dan bahkan di dalam
Veda, perempuan dapat memimpin, pimpinan sidang parlemen, cendekiawan dan
bahkan terjun sebagai panglima perang memimpin pertempuran.
ü Saran-Saran
Makalah ini kami buat berdasarkan referensi atau
sumber-sumber yang kami dapat dari buku-buku pedoman tentang susastra hindu, kami berharap
bagi pembaca agar lebih cermat dan
teliti membaca makalah ini supaya pembaca memberikan kritikan positif kepada kami guna untuk menyempurnakan makalah
ini agar lebih baik dari sebelumnya dan tidak lupa kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
1. Pudja,
Gede. 1992. Theology Hindu (Brahma Widya). Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi.
2. Pudja,
G. & Tjok Rai Sudharta. 1997. Manawa Dharmasastra. Jakarta: Dit.Jen. Bimas Hindu
dan Buddha.
3. Bose,
Abinash Candra. (terj. I Wayan Sadia). 1990. Panggilan Weda. Jakarta: Yayasan
Dharma Sarathi.
4. Titib,
I Made. Veda Sabda Suci - Pedoman Praktis Kehidupan. 1996. Surabaya: Paramita.
5. Suhardana,
K.M. Drs. Pengantar Etika Dan Moralitas Hindu. 2007. Surabaya: Paramita.