Kamis, 30 April 2015

Gender Menurut Susastra Hindu



BAB II

PEMBAHASAN


A.   Gender Menurut Menawa Dharmasastra

Hal yang menarik dari sudut pandang feminism, adalah bagian ajaran maharesi manu yang mengetengahkan konsep ardanareswari. Dinyatakan bahwa dalam rangka penciptaan alam semesta ini Tuhan Yang Maha Esa membagi diri-Nya menjadi dua bagian sebagai pasangan beroposisi yang disebut ardanareswari: satu bagian sebagai laki-laki dan satu bagian lagi sebagai perempuan(MDs, I:32). Dari pertemuan-Nya yang telah menjadi berpasangan ini lahirlah berbagai jenis makhluk yang juga serba berpasang. Tuhan dalam aspek-Nya yang dualis atau pasangan beroposisi ini dapat dipahami sebagai benih konsep kesetaraan gender dalam hindu. Karena ia Yang Tunggal menjadikan diri-Nya dua: satu bersifat maskulin dan satu lagi bersifat feminim.
Aspek feminim tercipta bukan dari sesuatu di luar diri-Nya. Artinya, secara teologis hindu tidak ada alasan yang membenarkan adanya diskriminasi dimana perempuan berkedudukan lebih rendah dari laki-laki. Karena, laki-laki dan perempuan bersumber dari satu sumber, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Perbedaan yang terjadi hanyalah dalam hal peranan dan kerjanya. Satu semesta yang dalam terminology hindu disebut purusa dan prakrti, azas roh dan azas materi. Personifikasi dari dua aspek Tuhan tersebut dalam mitologi hindu digambarkan sebagai dewa dan dewi, raja dan ratu. Dewa disebelah kanan dan dewi disebelah kiri. Posisi berdampingan secara sejajar tersebut, dengan demikian menyimbolkan kesetaraan.
Atas dasar konsep kesetaraan gender tersebut, Menawa Dharmasastra dengan tegas memuliakan posisi perempuan sebagai berikut.

Pitribhir bhratrbhis caitah patibhir dewaraistatha
Pujya bhusayita wyacca bahu kalyanmipsubhih (MDs, III:55).
Artinya:
Perempuan harus dihormati dan disayangi oleh ayahnya, kakaknya,
Suaminya dan iparnya yang menghendaki kesejahteraan sendiri.


Yatra naryastu pujyante ramante tatra dewatah
Yatraitastu na pujyante sarwastalah kryayah (MDs, III:56).
Artinya:
Dimana perempuan dihormati di sana para dewa merasa senang.
Akan tetapi, dimana perempuan tidak dihormati di sana tidak ada
upacara suci apapun berpahala.

Socanti jamayo yatra winasyatyacu tatkulam
Na socanti tu yatraita wardhate taddhi sarwada (MDs, III:57).
Artinya:
(rumah tangga) di mana perempuannya hidup sedih
Keluarga itu akan cepat mengalami kehancuran.
Sebaliknya, di mana perempuan tidak hidup menderita
Keluarga itu akan selalu hidup bahagia.

Pudja (1996:147) member komentar  pasal MDs di atas bahwa dalam hukum hindu, pasal-pasal tersebut memposisikan perempuan dalam kedudukannya yang mulia. Kata pujyante yang berarti harus dihormati memiliki arti wajib hukumnya bagi orang tuanya, saudara-saudaranya, suaminya dan anaknya untuk melindungi perempuan. Kedudukan perempuan kembali dikukuhkan dengan nilai teologis oleh Maharesi Manu bahwa bgi seorang putra, ayah, ibu(perempuan), dan gurunya adalah tiga serangkai orang mulia yang patut dihormati. Karena tiga serangkai ini adalah symbol Brahman.
Tuhan yang nirguna atau yang bebas nilai dipersonifikasikan sebagai sang penguasa alam atas; Prajapati, Tuhan yang saguna atau yang aktif adalah personifikasi dari azas maskulin sebagai penguasa alam tengah; sementara prethiwi adalah personifikasi dari azs feminim Tuhan sebagai sang penguasa bumi (Ds, III:226). Juga sebagai symbol tiga api suci: api ahawanya, api grihapatya, dan api daksina (MDs, III:231). Artinya, dengan menghormati guru, seseorang putra (siswa) mencapai alam brahma atau alam Tuhan, dengan menghormati ayah seorang putra akan menikmati alam tengah atau sorga, dan dengan menghormati ibu seorang putra akan menikmati kebahagian di bumi (MDs, III:233).
Sebaliknya, manakala perempuan tidak mendapat tempat yang layak dan tidak diperlakukan secara manusiawi, maka dari sudut pandang hindu dipastikan bahwa segala kerja yang diusahakan oleh anggota keluarga yang bersangkutan tidak akan berpahala. Dan cepat atau lambat rumah tangga tersebut akan mengalami kehancuran, karena dihancurkan oleh kekuatan gaib (MDs, III:58). Oleh karena itu, diamanatkan bahwa bagi orang yang menginginkan hidup bahagia wajib menghormati perempuan antara lain dengan cara pada hari raya memberinya hadiah perhiasan, pakaian, dan makanan (MDs, III:59). Dinyatakan pula, bahwa di mana perempuan selalu tampil dengan wajah berseri maka seluruh keluarga itu akan kelihatan bercahaya, demikian sebaliknya (MDs, III:61-61).
Kedudukan dan kewajiban perempuan sebagai ratu rumah tangga tentu tidak dapat dimaknai bahwa perempuan hanya boleh mengambil pekerjaan rumah saja, dan tidak dibenarkan melakukan pekerjaan sebagai mana halnya laki-laki. Maharesi Manu menegaskan bahwa:

Raja karmasu yuktanam strinam presyajanasya ca
Pratyaham kalpayed wrttim sthanam karmanurupatah (MDs, VII:125).
Artinya:
Bagi perempuan yang diperkerjakan di istana dan untuk pekerjaan kasar
hendaknya ditetapkan secara layak biaya hidup sehari-harinya
sebanding dengan kedudukan pekerjaan mereka.

Pasal tersebut secara jelas menyatakan bahwa ada pekerjaan perempuan. Pekerjaan itu dilakukan di luar rumah tangganya, dalam pasal ini di istana. Pekerjaan yang dikerjakan ada yang bersifat halus dan ada pula yang bersifat kasar dan upah yang diterima harus disesuaikan dengan kedudukan dan jenis pekerjaannya. Dari isi pasal tersebut dapat dipahami bahwa jenis kerja bagi perempuan tetap mengacu pada kaonseo kerja berdasarkan guna dan karma, karakter, bakat dan kemauan kerjanya. Tidak berdasarkan kelahiran, status dan jenis kelamin. Hal ini barangkali dapat dibandingkan dengan system perkawinan yang bersifat khusus, dimana perempuan diposisikan berstatus sebagai purusa(laki-laki) sementara laki-laki pasangannya berposisi sebagai predana(perempuan). Artinya, apabila perempuan melakukan pekerjaan untuk mendapatkan penghasilan keluarga, maka itu dapat dimaknai bahwa perempuan(ibu) mengambil peran sebagai purusa, laki-laki(suami). Demikian sebaliknya, apabila laki-laki(suami) melakukan pekerjaan sebagai yang digariskan untuk perempuan, yaitu mengurus rumah tangga sementara istrinya bekerja di luar rumah tangganya, maka laki-laki tersebut dapat disebut berstatus sebagai predana,ibu.
Secara teologis hindu hal tersebut dibenarkan. Karena pengertian dasar purusa dan predana mengacu pada roh dan badan. Pararel dengan pengertian tersebut secara lebih mendasar dapat pula dimaknai bahwa secara hakikat manusia laki atau perempuan dalam dirinya ada aspek maskulin, yaitu rohnya dan pada aspek feminim, yaitu badannya sendiri. Dari makna hakikat tersebut dapat pula dipahami bahwa konsep kerja dan pembagian kerja hindu tidak didasarkan pada jenis kelamin., tetapi pada karakter dan bakat kerjanya. Kerja, apapun jenisnya ( catur warna: brahmana, ksatriya, waisya, dan sudra) wajib dilaksanakan menurut kewajiban yang ditentukan (swadharma) berdasarkan pengetahuan yang benar (jnana). Hanya dengan demikian tujuan kerja (catur purusartha : dharma, artha, kama, dan moksa) dapat tercapai. 

B.    Gender Menurut Veda dan Susastra Hindu

Penghargaan kepada perempuan, wanita, istri atau putri sesungguhnya demikian tinggi. Di dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya, dengan demikian maka bila terjadi pelecehan terhadap wanita, sesungguhnya pelakunya yang tidak memahami tentang kedudukan wanita dalam agama Hindu. Banyak tokoh-tokoh wanita disebutkan dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya sangat dihormati karena kesucian, kecerdasan dan kepemimpinannya. Untuk melihat  tokoh-tokoh ideal dalam agama Hindu, maka dapat dirunut pada pengelompokan atas profesi seseorang. Di antara profesi tersebut yang mendapatkan posisi sangat terhormat adalah posisi sebagai Bràhamaóa dan Kûatriya.  Tokoh-tokoh terkemuka di kalangan profesi Bràhmaóa adalah para Maharûi, Saýnyàsin, Sadhu atau orang-orang suci yang tersebut dalam kitab suci Veda maupun susastra Hindu lainnya seperti di dalam kitab-kitab Upaniûad, Itihàsa, Puràóa, termasuk pula kitab-kitab parwa dan kakawin di Indonesia.
Intinya, kita bisa mengkaji melalui Veda dan susastra Hindu baik yang berbahasa Sanskerta maupun dalam karya sastra yang menggunakan media bahasa Jawa Kuno. Lebih jauh tokoh-tokoh ideal dalam agama Hindu dapat dimulai dari tokoh-tokoh yang disebutkan dalam kitab suci Veda, sebagai para Brahmavàdinì antara lain: Viûvavàrà, Apàlà, Ghoûà, Godhà istri dari Vasukra, saudara perempuan dari maharûi Agastya, Lopàmudrà, Ûaûvatì dan Romaûà. Di samping nama-nama tersebut ada lagi Vàch (Sushil, 1982:130). Selain tokoh-tokoh Brahmavàdinì di atas, di dalam kitab-kitab Upaniûad terdapat tokoh-tokoh yang dikenal sebagai perempuan ideal dan ahli filsafat, yaitu: Maitreyì, Kàtyàyanì, yang merupakan dua istri dari Yàjñvalkya,  seorang maharsi yang sering dan amat dominan disebutkan di dalam kitab-kitab Upaniûad. Tokoh perempuan lainnya adalah Gàrgì, yang merupakan putra seorang tokoh atau pahlawan yang berasal dari kota Banares (Ibid: 138).
Berikut kami sampaikan bagaimana pandangan kitab suci Veda terhadap seorang perempuan, istri atau wanita: Seorang gadis hendaknya suci, berbudi luhur dan berpengetahuan tinggi (Atharvaveda XI.1.27). Seorang gadis menentukan sendiri peria idamanan calon suaminya (svayaývara/Ågveda X.27.12). Mempelai wanita sumber kemakmuran (Ågveda X.85.36), Seorang lelaki yang terlalu banyak mempunyai anak selalu menderita (Ågveda I.164.32). Terjemahan mantra ini menunjukkan bahwa bila lelaki tidak merencanakan keluarganya (istrinya terlalu banyak melahirkan, atau suami banyak punya istri dan anak) tentunya sangat menderita. Pengendalian nafsu seks juga mendapat perhatian dalam kitab suci Veda. Lebih lanjut seorang wanita dituntut untuk percaya kepada suami, dengan kepercayaannya itu (patibrata), seorang istri dan keluarga akan memperoleh kebahagiaan (Atharvaveda XIV.1.42).
Lebih jauh keutamaan seorang perempuan atau wanita di dalam kitab suci Veda dinyatakan memiliki sifat innovatif, cemerlang, mantap, memberi kemakmuran, diharapkan untuk cerdas menjadi sarjana, gagah berani dan dapat memimpin pasukan ke medan pertempuran dan senantiasa percaya diri.(Yajurveda XIV.21, Ågveda VIII.33.19, Atharvaveda XX.126.10, Ågveda X. 86.9, Ågveda X.159.2, Atharvaveda I.27.2, 4; Yajurveda XIII.26, Yajurveda V.10 dan Atharvaveda XIV.2.14). Dalam pengamatan kami terhadap mantra-mantra Veda, tidaklah menemukan diskriminasi antara seorang perempuan dengan laki-laki, anak laki-laki dengan anak perempuan dan sejenisnya.
Tokoh-tokoh perempuan ideal lainnya dapat dijumpai dalam kitab-kitab Itihàsa dan Puràóa, khususnya dalam Ràmàyaóa, antara lain: Anasùyà (seorang perempuan pertapa dan Jñànin yang pernah bertemu memberi nasehat kepada Ràma, Sità dan Lakûamaóa), Ûabarì (seorang bhakta yang tulus dan merupakan abdi dari maharûi Mataòga), Svayamprabha (pertapa perempuan yang memberikan bantuan kepada Sang Hanùman), Ahalyà (istri maharûi Gautama), Saramà (perempuan yang ditugaskan oleh Ràvaóa untuk menjaga dewi Sità), Trijaþà (putra Vibhìsaóa yang sangat telaten melayani dan melindungi dewi Sità), Mandodarì (istri Ràvaóa), Tara (istri Sugriva yang dilarikan oleh Subali), Kausalyà (ibu Úrì Ràma), Sumitrà (ibu dari Lakûamaóa dan Satrughna), Sìtà (tokoh sentral dan perempuan ideal dalam Ràmàyaóa (Nihshreyasananda, 1982:142-16). Dalam Mahàbhàrata, antara lain: Kuntì (ibu dari Pandava), dan  Draupadì (istri dari Pandava/Tripurari Chakravarti, 1982:173-176).  Di samping itu terdapat juga: Úakuntalà (leluhur raja-raja Hastina/ Pandava dan Kaurava), Damayantì (istri prabhu Nala), dan Savitrì (putri maharaja Aúvapati )(Suniti, 1982:205, 214).
Di dalam kitab-kitab Puràóa dapat dijumpai nama seorang perempuan ideal, yaitu: Devahùtì (ibu dari maharûi Kapila, seorang tokoh dan pendiri dari filsafat Saýkhya atau Saýkhya atau Saýkhya Darúana)(Rajendra, 1982: 229). Hal yang sangat menarik, di Bali dapat dijumpai sebuah mantra yang populer disebut dengan nama Smarastava, Panca Kanyam. Mantram ini terdiri dari satu bait mantram yang biasa digunakan dalam upacara kematian, dengan harapan orang yaing meninggal tersebut mencapai kebahagiaan di alam baka. Menurut informant pandita Úiva, mantram ini digunakan pada waktu upacara kehamilan (upacara pada saat seorang istri hamil)  dan pada saat bayi berumur tiga bulan (Hooykaas, 1971:38). Berikut kami petikkan mantram Smarastava, Pañca Kanya, sebagai berikut:
            Ahalyà Draupadì Sità, Tàrà Mandodarì tathà,
            Pañca-kanyam smaren nityam, Mahà-pàtaka-nàúanam.

            ‘Seseorang hendaknya bermeditasi kepada 5 perempuan
            mulia, yaitu: Ahalyà, Draupadì, Sità, Tàrà dan Mandodarì.
             Mereka yang melakukan hal itu, segala dosanya akan dile-
             Nyapkan’.

Terhadap mantram di atas, Prof. Dr. C. Hooykaas (1970:38) memberikan penjelasan tentang kelima perempuan mulia itu, sebagai berikut: “Ahalyà populer dikenal sebagai istri dari maharûi Gautama, ia melakukan perbuatan serong dengan dewa Indra dan kemudian dihukum  dengan pengucilan abadi, yang kemudian diselamatkan (dibebaskan) oleh Úrì Ràma. Draupadì dan Sità  adalah masing-masing pahlawan perempuan dalam Mahàbhàrata dan Ràmàyaóa. Tàrà adalah istri Båhaspati yang dilarikan oleh Soma, dan Mandodarì tercatat sebagai yang paling favorit dari para istri Ràvaóa. Kelima orang perempuan mulia itu digambarkan secara tradisional sebagai perempuan yang sangat cantik dan menawan. Tokoh-tokoh perempuan ideal tersebut pada umumnya dari kalangan profesi Bràhmaóa dan Kûatriya. Demikian antara lain tokoh-tokoh perempuan ideal dalam Veda dan susastra Hindu lainnya. Di samping tokoh-tokoh ideal di atas, terdapat juga tokoh-tokoh yang tidak patut ditiru, antara lain: Kaikeyì, Surphanaka (Titib, 1998:53) di dalam kitab Ràmàyaóa.    
Di dalam sejarah Indonesia dikenal pula tokoh Ratu Simhà yang sangat adil menurut prasasti Dinoyo. Pramodhavardhanì, salah seorang keturunan maharaja Sanjaya di Jawa Tengah. Ratu Gàyatrì dan Tribhuvanatunggadevì, ratu-ratu yang terkenal semasa kerajaan Majapahit. Di Bali dikenal pula ratu Vijayamahàdevì dan Guóapriyà-dharmapatnì. Berdasarkan informasi tersebut di atas, dapat diketahui bahwa menurut Veda, susastra Hindu dan juga sejarah Indonesia, perempuan menduduki tempat yang tinggi dan bahkan di dalam Veda, perempuan dapat memimpin, pimpinan sidang parlemen, cendekiawan dan bahkan terjun sebagai panglima perang memimpin pertempuran.



BAB III

PENUTUP


ü  Kesimpulan

Dinyatakan bahwa dalam rangka penciptaan alam semesta ini Tuhan Yang Maha Esa membagi diri-Nya menjadi dua bagian sebagai pasangan beroposisi yang disebut ardanareswari: satu bagian sebagai laki-laki dan satu bagian lagi sebagai perempuan(MDs, I:32). Dari pertemuan-Nya yang telah menjadi berpasangan ini lahirlah berbagai jenis makhluk yang juga serba berpasang. Tuhan dalam aspek-Nya yang dualis atau pasangan beroposisi ini dapat dipahami sebagai benih konsep kesetaraan gender dalam hindu. Karena ia Yang Tunggal menjadikan diri-Nya dua: satu bersifat maskulin dan satu lagi bersifat feminim.
Perempuan di dalam kitab suci Veda dinyatakan memiliki sifat innovatif, cemerlang, mantap, memberi kemakmuran, diharapkan untuk cerdas menjadi sarjana, gagah berani dan dapat memimpin pasukan ke medan pertempuran dan senantiasa percaya diri. Dapat diketahui bahwa menurut Veda, susastra Hindu dan juga sejarah Indonesia, perempuan menduduki tempat yang tinggi dan bahkan di dalam Veda, perempuan dapat memimpin, pimpinan sidang parlemen, cendekiawan dan bahkan terjun sebagai panglima perang memimpin pertempuran.
ü  Saran-Saran

Makalah ini kami buat berdasarkan referensi atau sumber-sumber yang kami dapat dari buku-buku  pedoman tentang susastra hindu, kami berharap bagi  pembaca agar lebih cermat dan teliti membaca makalah ini supaya pembaca memberikan kritikan positif  kepada kami guna untuk menyempurnakan makalah ini agar lebih baik dari sebelumnya dan tidak lupa kami ucapkan terima kasih.



DAFTAR PUSTAKA


1.      Pudja, Gede. 1992. Theology Hindu (Brahma Widya). Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi.
2.      Pudja, G. & Tjok Rai Sudharta. 1997. Manawa Dharmasastra. Jakarta: Dit.Jen. Bimas Hindu dan Buddha.
3.      Bose, Abinash Candra. (terj. I Wayan Sadia). 1990. Panggilan Weda. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi.
4.      Titib, I Made. Veda Sabda Suci - Pedoman Praktis Kehidupan. 1996. Surabaya: Paramita.
5.      Suhardana, K.M. Drs. Pengantar Etika Dan Moralitas Hindu. 2007. Surabaya: Paramita. 

DHARMA



BAB II
PEMBAHASAN


2.1 ARTI DAN MAKNA DHARMA
Kata yang umum dipergunakan oleh umat Hindu di India sebagai istilah kerohanian, bukanlah kata Agama tetapi kata “Dharma”. Kata Dharma ini berasal dari bahasa Sansekerta dari urat kata “Dhr” yang artinya menjunjung, memangku, mengatur dan menuntun. Dharma berarti hukum yang mengatur dan memelihara alam semesta beserta makhluk semua. Untuk peredaran alam semesta kata dharma dapat diartikan “kodrat”, sedangkan untuk kehidupan umat manusia, Dharma itu dapat diartikan Ajaran, kewajiban atau peraturan-peraturan suci yang memelihara dan menuntun manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup, berupa Dharma yaitu laksana dan budi pekerti yang tinggi disebut Jagadhita yang akan membawa kebahagian dan kesejahteraan masyarakat dan ketentraman yang tidak didasarkan atas kebendaan atau keduniawian yang menyebabkan roh bebas dari penjelmaan dan mendapat kesucian yang bernama Moksa.
Di dalam Mahabrata terdapatlah keterangan-keterangan yang menerangkan makna kata Dharma itu bunyinya sebagai berikut:

1.      Dharanad dharma ityahur
Dharmena widhrtah prajah
                                              (Çantiparwa 109.11)
Dharma dikatakan datang dari kata dharana (yang berarti memangku atau mengatur).
Dengan Dharma semua makhluk diatur (dipelihara).

2.      Dharmane dharyate sarwam
Jagat sthawarajanggaman.
                                              (Mahabharata 2.28)
Semua alam, tumbuh-tumbuhan dan binatang
Diatur oleh Dharma (kodrat).


3.      Lokasamgrahasamyuktam
Widatrawihitam pura
Suksmadharmarthaniyatam
Satam caritam utta mam.
                                              (Çantiparwa 259.26)
Kesentosaan umat manusia dan kesejahteraan masyarakat datang dari Dharma, laksana dan budi yang luhur untuk kesejahteraan manusia itulah Dharma yang utama.

Dengan keterangan dan kutipan sloka di atas jelas kiranya arti dan makna Dharma itu. Perlu sedikit ditambahkan, bahwa uraian kata Dharma tersebut di atas sesuai dengan kata Rta di dalam Weda yang berarti hukum kodart alam dan hukum tata tertib kehidupan dan kesusilaan yang abadi.

2.2 TUJUAN AGAMA ATAU DHARMA
Apakah perlunya ajaran-ajaran suci Agama atau Dharma diwahyukan kedunia?. Tujuannya sebagai yang telah disebutkan didalam uraian kata Dharma yaitu : menuntun umat manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup berupa kesucian batin laksana dan budi pekerti yang luhur(Dharma) yang memberi kebahagian dan kesejahteraan material kepada sesama manusia dan makhluk yang disebut Jagadhita dan memberi ketentraman rohani, sumber kebahagian abadi, sukha tanpawali dukha, yang tiada didasarkan atas terpenuhnya nafsu duniawi, memberi kesucian dan menyebabkan roh bebas dari penjelmaan serta merasakan menunggal dengan Tuhan, yang disebut M o k s a.
Mokas artham jagad hitaya ca iti Dharmah”.
“Tujuan Agama ialah untuk mendapat moksa dan Jagadhita.                                                                   
Di dalam menurut bahtra hidup, manusia sering disesatkan oleh kabut kegelapan berupa kebodohan dan ketidaksadaran yang disebut Awidya, yang menimbulkan nafsu serakah, yang sering menjerumuskan mereka kelembah dosa dan malapetaka. Oleh karena itu, Tuhan mewahyukan ajaran suci kerohanian Agama atau Dharma untuk menyalakan api kebijaksanaan dan kesadaran atau Widya umatnya guna mencapai kesempurnaan itu. Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang menurunkan Agama kedunia, bukan untuk kepentinganNya sendiri, hendaknya manusia memuji-muji dan mengagungkan kebesaranNya.
Ia mewahyukan ajaran Agama dengan perantara para Rsi dan para Nabi bukan mengharap sanjungan dan pujian. Tuhan pencipta yang Maha Agung, yang sempurna dalam segala-galanya tiada pernah gelisah hendak dipuja dan disanjung, sedangkan manusia biasa, bila masih mengharapkan sanjungan dan pujian masih dapat dikatakan belum sempurna, apalagi Tuhan. Demi untuk kesejahteraan dan kesempurnaan hidup manusia. Ia menurunkan ajaran suci kerohanian kedunia. Tetapi sayang wahyunya yang suci sering disalah gunakan dan tidak dilaksanakan oleh manusia munafik yang mengaku dirinya umat Agama dan penganut kerohanian, hingga wahyunya itu bagaikan sumber air jernih dikeruhkan oleh lumpur manusia yang pura-pura menjadi penganutnya, tetapi mengingkari petunjuk sucinya. Perbuatan ingkar manusia munafik, menyebabkan Agama kadang-kadang menjadi alat angkara murka manusia. Perbuatan munafik menyebabkan pengisapan, penindasan, dari suatu golongan terhadap sesamanya didalam suatu masyarakat yang menganut suatu Agama. Ketinggian inti ajaran kerohanian lenyap diganti oleh kefanatikan, tahyul, penindasan, kekejaman, kelaliman, kejahatan, dsb., yang sering mnyebabkan hilangnya kepercayaan beberapa golongan terhadap kebenaran dan kesucian Agama.
Agama mengajarkan kepada umatnya untuk percaya dan menyembah Tuhan; percaya dan menyembah Tuhan hanyalah jalan bagi umat manusia untuk mencapai tujuan Agama, yaitu kesempurnaan hidup rohani maupun jasmani. Çantiparwa menyebut mengenai tujuan Dharma atau Agama sebagai berikut:
Prabhawarthaya bhutanam
Dharmaprawacam krtam
Yah syat prabawasamyuktah
Sa dharmah iti nicacayah
                                                     (Çantiparwa 109, 10)
Segala sesuatu yang bertujuan member kesejahteraan dan memelihara semua, itulah disebut Dharma (Agama), segala sesuatu yang membawa kesentosaan (kepada makhluk) itulah Dharma (Agama) sebenarnya.
Di dalam memenuhi segala nafsu dan keinginan harus berdasarkan atas kebajikan dan kebenaran yang dapat menuntun setiap manusia di dalam mencapai kebahagiaan. Karena seringkali manusia menjadi celaka atau sengsara dalam memenuhi nafsu atau kamanya bila tidak berdasarkan atas dharma. Oleh karena itu dharma harus menjadi pengendali dalam memenuhi tuntunan kama atas artha, sebagaimana disyaratkan di dalam Weda (S.S.12) sebagai berikut:
     Kamarthau Lipsmanastu
    dharmam eweditaccaret,
    na hi dhammadapetyarthah
    kamo vapi kadacana.
                                                     (Sarasamuccya, sloka 12)
Artinya:
Pada hakekatnya, jika artha dan kama dituntut, maka hendaknyalah dharma dilakukan terlebih dahulu. Tidak dapat disangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti. Tidak akan ada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma.
Jadi dharma mempunyai kedudukan yang paling penting dalam Catur Purusa Artha, karena dharmalah yang menuntun manusia untuk mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Dengan jalan dharma pula manusia dapat mencapai Sorga, sebagaimana pula ditegaskan di dalam Weda (S.S.14), sebagai berikut:

    Dharma ewa plawo nanyah
    swargam samabhiwanchatam
    sa ca naurpwani jastatam jala
    dhen paramicchatah
                                                    (Sarasamuccaya, sloka 14)
    Artinya:
Yang disebut dharma adalah merupakan jalan untuk pergi ke sorga,  sebagai halnya perahu yang merupakan alat bagi saudagar  untuk mengarungi lautan.
Demikian pula Manusamhita merumuskan dharma itu sebagai berikut:
"Weda pramanakah creyah sadhanam dharmah"
Artinya:
Dharma (agama) tercantum didalam ajaran suci Weda, sebagai alat untuk mencapai kesempurnaan hidup, bebasnya roh dari penjelmaan dan manunggal dengan Hyang Widhi Wasa (Brahman).

Weda (S.S. 16) juga menyebutkan :

    Yathadityah samudyan wai tamah
    sarwwam wyapohati
    ewam kalyanamatistam sarwwa
    papam wyapohati
                                                         (Sarasamuccaya, sloka 16)
                      Artinya:
Seperti halnya matahari yang terbit melenyapkan gelapnya dunia, demikianlah orang yang melakukan dharma, memusnahkan segala macam dosa.  
Demikianlah dharma merupakan dasar dan penuntun manusia di dalam menuju kesempurnaan hidup, ketenangan dan keharmonisan hidup lahir bathin. Orang yang tidak mau menjadikan dharma sebagai jalan hidupnya maka tidak akan mendapatkan kebahagiaan tetapi kesedihanlah yang akan dialaminya. Hanya atas dasar dharmalah manusia akan dapat mencapai kebahagiaan dan kelepasan, lepas dari ikatan duniawi ini dan mencapai Moksa yang merupakan tujuan tertinggi. Demikianlah Catur Purusa Artha itu.

2.3 SWADHARMA DAN PARADHARMA
Kata swadharma dan paradharma berasal dari bahasa Sansekerta, yakni dari kata swa, para dan dharma. Kata swa artinya sendiri, diri sendiri, aku, orang-orang dan golongan sendiri, teman. Kata para artinya lebih jauh, kemudian, masa lalu, amat, tertinggi, mulia, lain. Kata dharma artinya lembaga, adat, kebiasaan, aturan, kewajiban, moral yang baik, pekerjaan yang baik, kebenaran, hukum, keadilan. Kata swadharma artinya kebenaran sendiri, kewajiban sendiri. Sedangkan paradharma artinya aturan atau kewajiban orang lain atau kasta lain. Menyimak dan beberapa pengertian swadharma dan pradharma sesuai Sabdakosa Sansekerta tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa maksud dan istilah dalam ajaran swadharma dan paradharma adalah kewajiban diri sendiri, kebenaran diri sendiri ataupun hal lainnya yang terkait dengan konteks diri sendiri, terutama dalam hal kewajiban ataupun hal terkait dengan kebenaran atau aturan. Begitu juga istilah dalam ajaran paradharma sudah jelas yang berkaitan dengan yang lain, orang lain, masyarakat pada umumnya, disekitar kita, dan sebagainya. Jadi paradharma adalah kewajiban orang lain, atau kewajiban terhadap orang lain, kewajiban terhadap publik atau pelayanan publik (public service), kewajiban untuk kebersamaan sebagai tanggung jawab bersama, dan juga kebenaran untuk bersama-sama. Dalam hal ini sangat relevan dengan konteks asas musyawarah menuju mufakat yang mengutamakan kebersamaan dan persetujuan bersama ke arah kebaikan, kebenaran, kebajikan, kemuliaan, dan menuju kerahayuan bersama.
reyan wã-dharma wigunah paradharmat swanusthitat,
Swa-dharme nidhanam sreyah paradharma bhayãwahah
Artinya:
Lebih baik melakukan dharmanya sendiri walaupun tidak sempurna dan pada melaksanakan dharma orang lain walaupun dikerjakan dengan sempurna. Lebih baik mati dalam menyelesaikan dharmanya sendiri dari pada mengikuti dharma orang lain yang berbahaya. (Maswinara, 1997: 181-182).

            Nilai ajaran swadharma dan paradharma mengandung nilai ajaran yang sangat universal dan menggelobal di era kesejagatan ini yang serba canggih dan akurat. Dalam kutipan sloka suci di atas telah ditegaskan bahwa melakukan sesuatu yang terbaik, termulia, terhormat, terbijaksana dimulai dan diri sendiri yang pada akhirnya untuk dipersembahkan selain untuk diri sendiri tetapi juga untuk pihak lain, orang lain, warga lain, sesama lain, suku lain, adat lain, negara lain, bangsa lain dan sebagainya. Sama halnya bangsa Indonesia ini melakukan sesuatu yang berguna bagi bangsanya sendiri, tentu bagi amatan bangsa lain di dunia ini akan membenihkan dampak yang baik pula bagi bangsa Indonesia.

2.4 DHARMA ATAU RTA
Salah satu dari unsur keimanan dalam agama Hindu setelah percaya akan adanya Tuhan (SATYA, SAT) adalah kepercayaan akan adanya hukum yang ditentukan oleh Tuhan. Hukum itu semacam sifat dari kekuasaan Tuhan yang diperlihatkan dengan bentuk yang dapat dilihat dan dialami oleh manusia. Bentuk hukum Tuhan yang murni disebutkan RTA (baca : RITA) atau RETA. Bentuk hukum yang disebut RTA itu adalah hukum murni yang bersifat absolut transcendental. Bentuk hukumnya yang dijabarkan ke dalam amalan manusiawi disebut DHARMA. Hukum agama yang disebut DHARMA (DHARMAN) ini bersifat relatip karena selalu dikaitkan dengan pengalaman manusia dan karena itu dharma bersifat mengatur tingkah laku manusia untuk mencapai kebahagiaan di dalam hidup. Di dalam terjemahannya, istilah RTA sering diartikan ORDE atau HUKUM, tetapi dalam arti yang kekal atau tidak pernah berubah. Di dalam Kitab Weda dinyatakan bahwa mula-mula setelah Tuhan menciptakan alam semesta ini, kemudian Ia ciptakan hukumnya yang mengatur hubungan antar partikel yang diciptakannya itu. Sekali Ia tentukan hukumnya itu, untuk selanjutnya demikianlah jalannya hukum itu selama-lamanya. Tuhan sebagai pencipta hukumnya dan Tuhan sebagai pengendali atas hukumnya itu. Karena itu ia disebutkan RITAWAN. Dalam perkembangan sastra Sanskerta, istilah Rita kemudian diartikan sama dengan WIDHI yang artinya sama dengan aturan yang ditetapkan oleh Tuhan. Dari kata itulah kemudian lahirnya istilah Sang Hyang Widhi, yang artinya sama dengan penguasa atas hukumnya atau LORD OF LAW, atau GUARDIAN OF LAW.
Di dalam ilmu sosial konsepsi istilah hukum itu kemudian berkembang dalam bentuk dua istilah, yaitu hukum alam dan hukum bangsa. Hukum alam inilah yang disebut dengan RTA sedangkan hukum bangsa atau kelompok manusiawi disebut DHARMA yang bentuknya berbeda-beda menurut tempat setempat. Karena itu istilah dharma sebagai hukum tidak sama bentuknya di semua tempat, melainkan dihubungkan dengan kebiasaan-kebiasaan setempat. Adapun ajaran Orde Abadi (Rta) dalam sejarah pertumbuhan agama Hindu itu berkembang sebagai landasan idiil mengenai bentuk-bentuk hukum yang ingin diterapkan dalam pengaturan masyarakat di dunia ini yang kemudian dikenal dengan ajaran dharma. Di dalam pengembangan ajaran dharma itu, dharma dianggap bersumber pada Weda, Smriti, Sila, Acara dan Atmanastusti. Sedangkan Rta berkembang menjadi bentuk kepercayaan akan adanya nasib yang ditentukan oleh Tuhan.
Ajaran Rta dan Dharma yang menjadi landasan ajaran karma dan phala karma. Rta inilah yang mengatur akibat dari pada tingkah laku manusia sebagai satu kekuatan yang tak tampak oleh manusia. Ia hanya dapat dilihat berdasarkan keyakinan akan adanya kebenaran. Dengan keyakinan atas kebenaran itu Rta dapat dihayati sehingga dengan penghayatan itu akan terciptalah keyakinan akan adanya Rta dan dharma sebagai salah satu unsur dalam keyakinan agama Hindu. Rta dan dharma mencakup pengertian yang luas, meliputi pengertian orde abadi, sebagai ajaran kesusilaan, mengandung ajaran estetika dan mencakup pengertian hukum sosial. Karena itu Rta selalu menjadi dasar pemikiran yang idiil dan yang selalu diharapkan akan dapat diwujudkan di dunia ini.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Kata Dharma ini berasal dari bahasa Sansekerta dari urat kata “Dhr” yang artinya menjunjung, memangku, mengatur dan menuntun. Dharma berarti hukum yang mengatur dan memelihara alam semesta beserta makhluk semua. Untuk peredaran alam semesta kata dharma dapat diartikan “kodrat”, sedangkan untuk kehidupan umat manusia, Dharma itu dapat diartikan Ajaran. Tujuan Agama Hindu adalah “Moksartham Jagadhitaya ca iti Dharmah”yang artinya untuk mencapai kebahagian lahir dan bathin baik di dunia maupun di akhirat. Ajaran swadharma dan paradharma adalah kewajiban diri sendiri, kebenaran diri sendiri ataupun hal lainnya yang terkait dengan konteks diri sendiri, terutama dalam hal kewajiban ataupun hal terkait dengan kebenaran atau aturan. Begitu juga istilah dalam ajaran paradharma sudah jelas yang berkaitan dengan yang lain, orang lain, masyarakat pada umumnya, disekitar kita, dan sebagainya. Jadi paradharma adalah kewajiban orang lain, atau kewajiban terhadap orang lain, kewajiban terhadap publik atau pelayanan publik (public service), kewajiban untuk kebersamaan sebagai tanggung jawab bersama, dan juga kebenaran untuk bersama-sama. Ajaran Rta dan Dharma yang menjadi landasan ajaran karma dan phala karma. Rta inilah yang mengatur akibat dari pada tingkah laku manusia sebagai satu kekuatan yang tak tampak oleh manusia.

SARAN-SARAN
Tujuan Agama Hindu adalah Moksa, untuk mencapai itu marilah kita tingkatkan Dharma kita masing-masing dan selalu melakukan Dharma dan kebaikan dengan selalu menjaga keharmonisan antara Tuhan/Ida SangHyang Widhi Wasa, sesama manusia/makhluk hidup dan alam semesta sekitarnya yang disebut dengan Tri Hita Karana. Dan marilah kita melaksanakan Swadharma dan Paradharma dengan sebaik-baiknya yang dimulai dari diri sendiri dan selalu ingat bahwa setiap dari perbuatan yang kita perbuat selalu ada buah/hasil perbuatan yang disebut dengan karmaphala yang akan kita terima didemikian hari.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Oka Punyatmadja, I.B., Drs. 1993. Panca Çradha. Denpasar: Upada Sastra.
2.      Kajeng, I Nyoman, Dkk. 1999. Sarasamuccaya. Denpasar: Paramita.
3.      Maswinara, I Wayan. 2000. Panggilan Veda. Denpasar: Paramita.
4.      Suhardana, K.M, Drs. 2006. Pengantar Etika dan Moralitas Hindu. Denpasar: Paramita.
5.      Subagiasta, I Ketut. 2008. Sradha dan Bhakti. Denpasar: Paramita.