Estetika
Kewangen
Keindahan (estetika) hasil dari kreativitas manusia
baik sengaja atau tidak, pada
prinsipnya adalah untuk memenuhi kepuasan bathin atau rohani bagi pembuat karya itu sendiri dan bagi masyarakat
penikmat. Kehidupan manusia dalam kesehariannya
selalu memerlukan keindahan untuk memenuhi kepuasan bathinnya, baik yang diperoleh dari keindahan alami
maupun keindahan karya manusia. Manusiatidak dapat dipisahkan dengan keindahan
(estetika), karena keindahan sebagaipenyeimbang logika manusia. Keindahan dan
seni sebagai penghalus hidup manusia.Tanpa keindahan (estetika), hidup manusia
akan terasa kaku dan kehilangan nilairasa. Oleh karena itu kahadiran karya
estetika sangat dibutuhkan manusia
sebagaipenghalus rasa dalam kehidupannya. Demikian
juga halnya dalam simbol upakara ” OmkÄra” dalam bentuk”Kewangen”
yang merupakan hasil buatan manusia yang mengandung nilai estetika. ”Kewangen” memang bukan karya
seni, karena tidak sengaja diciptakan untuk keperluan
seni. Akan tetapi tanpa disadari ”kewangen” yang merupakan sarana dalam persembahyangan umat Hindu di Bali
memiliki keindahan (estetika). ”Kewangen ” sebagai
sarana dalam persembahyangan yang ditujukan kepada Tuhan, hendaknya membawa suasana bathin yang indah,
senang, suci, kusuk dan nyaman sehinggamemudahkan berkonsentrasi dalam memuja
atau memulikan Tuhan. Karena itulah”kewangen” dibuat dengan bentuk yang
indah yang mampu menciptakan suasana senang,
suci, kusuk dan nyaman dalam sembahyang.
1.
Unsur-unsur keindahan Kewangen
Untuk
mewujudkan estetika “kewangen” diperlukan beberapa unsur yang mengandung makna tersendiri dalam
persembahyangan dan mendukung terciptanya keindahan
(estetika) pada pada bentuk “kewangen”. Adapun unsur tersebut antara lain:
1)
Kojong kewangen
Kojong
kewangen dibuat dari daun pisang, bagian bawahnya dibentuk
lancip, bagian atas lebih lebar, dan bagian
depan atas terlihat ada lekukan atau cekungan. Unsur
ini dibentuk mengikuti kaidah-kaidah seni bentuk (seni rupa) sehingga bentuk yang ditampilkan indah untuk
dilihat. Lekukan kojong kewangen melambangkan
“Arda Candra” (‚), badang kojong melambangkan “Suku Tunggal”
(3).
2)
Pelawa
Pelawa
adalah sejenis daun-daunan (cukup selembar), daun yang dimaksud bias dari daun kemuning, daun pandan harum,
daun kayu (puring) atau daun sejenisnya.
Pelawa tersebut melambangkan ketengan dan kejernihan pikiran. Pelawa juga memiliki bentuk dan warna
yang menarik sehingga dapat mendukung
estetika “kewangen”.
3)
Porosan silih asih
Porosan
silih asih adalah dua lembar daun sirih yang
digabung berhadaphadapan, ditengahnya
berisi kapur sirih dan buah pinang. Porosan silih asih simbol dari kedekatan umat dengan Dewa
(Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Unsur ini
juga melengkapi keindahan komposisi dari bentuk “kewangen”.
4)
Sampian kewangen
Sampian
kewangen berbentuk cili dari daun kelapa (busung) dan
dihiasi dengan bunga-bunga yang
harum. Sampian kewangen sebagai simbol “Nada” ( ). Unsur ini paling dominan terlihat dalam
mendukung estetika kewangen. Sampian kewangen
dari
rangkaian tuesan daun kelapa dibuat mengikuti unsur-unsur keindahan bentuk dan dipadukan dengan
bunga warna-warni serta harum serta penataan
yang mengikuti komposisi seni bentuk (seni rupa) tentu akan menambah keindahan (estetika) sebuah “kewangen”.
5)
Pis bolong
Pis
Bolong atau uang kepeng adalah sejenis uang yang diperluka
dalam upacara keagamaan umat
Hindu. Kalau kita perhatikan dengan seksama, uang kepeng juga memiliki keindahan tersendiri yang
terdapat huruf mandarin dan sanskerta pada
sisi uang tersebut. Keindahan uang kepeng ini tentu juga mendukung estetika dari “kewangen”. Uang
kepeng simbol dari “Windu” (O), yaitu penyatuan
Siwa Budha.
2.
Komposisi keindahan Kewangen
Komposisi
merupakan penataan unsur-unsur yang membentuk keindahan suatu karya. Komposisi keindahan “kewangen”
adalah menata atau menyusun unsurunsur dari
“kewangen” itu sendiri, seperti: menata atau menyusun kojong kewangen, pelawa,
porosan silih asih, pis bolong, sampian kewangen dan bunga-bunga, sehingga menjadi bentuk yang indah dan
menarik.
1)
Keseimbangan
Penataan
unsur-unsur “kewangen” dengan memperhatikan keseimbangan antara bagian kiri dan kanan dengan menerapkan
keseimbangan simetris, yaitu bagian kiri
dan kanan diusahakan unsur-unsurnya memiliki bentuk, ukuran, dan warna yang sama. Hal ini dilakukan agar “kewangen”
tidak berkesan berat sebelah.
2)
Kesatuan
Penataan
unsur-unsur “kewangen” agar berkesan suatu keutuhan bentuk. Unsur yang satu menukung unsur yang lainnya
sehingga tidak ada kesan yang lepas atau
terpisah antara bagian-bagian dari “kewangen” itu sendiri. Penataan ini perlu dilakukan agar pandangan orang
terhadap “kewangen” terfokus pada keutuhan
bentuk “kewangen”.
3)
Irama
Penataan
unsur-unsur “kewangen” berdasarkan irama untuk menimbulkan keharmonisan bentuk “kewangen”.
Penataan ini dapat dilakukan dengan mengatur
gradasi bentuk, ukuran dan warna unsur, misalnya dari bentuk kecil kebentuk
yang lebih besar dan kembali ke bentuk yang kecil, atau dari warna yang terang ke warna yang lebih gelap dan
kembali ke warna yang terang.
4)
Proporsi
Proporsi
merupakan perbandingan dalam penataan unsur-unsur pembentuk “kewangen” termasuk ketepatan
penempatan posisi dari masing-masing bagianbagian dari
“kewangen”, seperti penempatan sampian kewangen pada bagian belakang, pis bolong pada bagian
depan, dan sebaginya. Penempatan unsur-unsur kewangen
yang tepat pada posisinya tentu akan mendukung keindahan bentuk “kewangen”.
3.
Hubungan bentuk, esteika dan fungsi
Bentuk
“kewangen” yang kecil dan mungil serta seolah-olah berbentuk segitiga terbalik tentu telah memperhitungkan
fungsi dari “kewangen” tersebut. Fungsi
yang dimaksud adalah saat digunakan untuk sembahyang, yaitu “kewangen” dipegang (dijepit) pada cakupan kedua
telapak tangan tepat sejajar dengan ubunubun. Artinya
“kewangen” nyaman digunakan saat sembahyang, tidak susah
dipegang,
tidak mudah jatuh dan tidak mengganggu konsentrasi. Keserasian antara bentuk dan fungsi
mutlak harus dikondisikan. Keindahan suatu
bentuk jangan sampai mengganggu fungsi dan sebaliknya fungsi jangan sampai menganggu bentuk. Kalau diperhatikan,
pada bagian badan “kewangen” yang
merupakan kojong “kewangen” dibuat polos (sederhana) tanpa hiasan, hal
ini
untuk
memudahkan dipegang (dijepit) pada cakupan kedua telapak tangan. Demikian juga, keindahan bentuk jangan sampai
tergganggu akibat salah menggunakan atau memegang
“kewangen”. Keserasian
bentuk dan fungsi “kewangen” akan memberikan kepuasan bathin saat memandangi estetika “kewangen”, seperti
dapat menimbulkan kesenangan, menyejukkan
pikiran, dan kedamaian hati. Demikian juga saat digunakan untuk sembahyang dapat memberikan kekusukan
dan kesucian bathin. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa estetika “kewangen” Nampak pada bentuknya yang kecil dan mungil
yang tersusun atas komposisi unsur-unsur yang
indah dan bermakna simbolik serta dihiasi dengan bunga-bunga yang harum. Keindahan (estetika) kewangen memiliki
keserasian bentuk dan fungsi sehingga nyaman
digunakan pada saat sembahyang baik secara fisik maupun bathin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar