Sabtu, 20 September 2014

Mapandes (potong gigi) merupakan ritual suci bagi umat Hindu



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sistem Sosial Krama/Masyarakat Dalam Upacara Manusa Yadnya (Mapandes) Di Lingkungan Desa Adat Kaba-Kaba.
Hindu merupakan agama universal dan fleksibel membungkus tradisi dan adat istiadat suatu daerah, sehingga agama Hindu diterima dan menyebar  dengan kedamaian. Fleksibilitas agama Hindu tetap mengacu pada Tri Kerangka Dasar ajaran agama Hindu, yaitu Tatwa (Filsafat), Susila (Etika), dan Upacara (Ritual). Bagaimana pun tradisi suatu daerah Tri Kerangka Agama Hindu selalu ada dan saling menyeimbangkan, sehingga tujuan agama Hindu dapat tercapai. Pelaksanaan upacara Yadnya (Ritual) di Bali sudah dirasakan dan sering ada penafsiran, bahwa pelaksanaan upacara (Ritual) itu sudah jauh menyimpang dari hakekat Yadnya yang sebenarnya. Keluhan tentang sangat beratnya pelaksanaan upacara di Bali dirasakan oleh masyarakat awam, cendikiawan, dan bahkan beberapa pejabat yang memiliki kepekaan sosial di daerah ini. Sangat dirasakan kurangnya kesadaran untuk mengumpulkan dana (dana punia) untuk kepentingan dana sosial. Untuk itu diperlukan sinkronisasi pemahaman terhadap Tattwa, Susila, dan Upacara tersebut.
Yadnya sebagai filsafat dan landasan Upacara. Perlu dipahami, bahwa hakekat Yadnya adalah pengorbanan yang tulus. Yadnya tidak hanya dalam bentuk Upacara (Ritual) tetapi lebih banyak berdimensi sosial seperti pendidikan, kemanusiaan dan pemeliharaan lingkungan. Ada beberapa jenis Yadnya yang mesti dipahami oleh umat Hindu. Yadnya sebagai pengorbanan suci merupakan kewajiban sehari-hari. Satyam, Sivam, Sundaran sebagai azas kehidupan. Satyam (Kebenaran), Sivam (Kebajikan), Sundaram (keharmonisan Keseimbangan) yang tidak seimbang bakal menimbulkan ketimpangan kehidupan. Kebajikan tanpa Kebenaran adalah sia-sia. Keharmonisan Keseimbangan tanpa Kebenaran dan Kebajikan adalah jauh dari moralitas. Kebahagian sejati memancar dari keseimbangan Satyam, Sivam, Sundaran. Dalam pelaksanaan Upacara Yadnya (Ritual) hendaknya pula dilandasi pemahaman terhadap ketiganya tersebut. Upacara Yadnya tanpa pemahaman yang benar terhadap pengertian, fungsi, dan makna dan upacara tersebut menjadikan ritual tersebut memberikan pahala yang maksimal. Bentuk Upacara Yadnya  yang umum dikenal adalah Panca Yadnya yang memiliki fungsi dan makna.
2.1.1 Upacara Mepandes (Potong Gigi) Bagian Dari Manusia Yadnya
Manusia Yadnya bagian dari Panca Yadnya merupakan upacara yang secara keseharian pula dilaksanakan oleh umat manusia sebagi bhaktinya kehadapan Tuhan/Leluhur dan kepada sesamanya. Adapun dasar yang melatar belakangi manusia bhakti kehadapan Tuhannya ada disebutkan pada kitab-kitab suci.
Saha yajnah prajah srstva
Puruvaca prajapatih,
Anena prasavisyadhyam
Esa vo stv ista kma dhuk.   (Bhagavadgita III.10)

Artinya:

Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan, Tuhan setelah menciptakan manusia melalui Yadnya, berkata; dengan (cara) ini engkau akan berkembang, sebagimana sapi perah yang memenuhi keinginanmu (sendiri).
Devan bhavayatanena
Te deva bhavayantu vah
Parasparam bhavayantah
Sreyah param avapsyatha. (Bhagavadgita III.11)

Artinya:

Adanya para Dewa adalah karena ini, semoga mereka menjadikan engkau demikian, dengan saling member engkau akan memperoleh kebajikan paling utama.

Perihal kesucian diri, dapat berupa kesucian lahir dan bathin. Mengenai hal itu ada disebutkan dalam kitab suci Manawa Dharmasastra. Kesucian lahir bathin, pencapaiannya dalam Menawa Dharmasastra Bab V. 109 disebutkan sebagai berikut:
Abdir gatrani suddhyanti
Manah satyena suddhyanti,
Vidyatapobhyam bhutatma
Buddhir jnanena suddhyanti.

Artinya:

Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dengan pelajaran suci dan tapa bratha, kecerdasan dengan pengetahuan benar.

Dalam upacara Manusa Yadnya ada disebutkan unsur Pembersihan dan Pemeliharaan. Wujud dari padanya adalah berupa sarana upakara seperti berupa penyeneng, Tirta pengelukatan, Pabersihan, Padudusan dan lainnya. Penyeneng adalah sarana banten yang selalu menyertai setiap banten lainnya yang berfungsi sebagai Ayaban/Tataban dan upacara Natab/Ngayab adalah merupakan puncak dari suatu upacara Manusa Yadnya. Penyeneng sebagi alat atau sarana pembersihan dan pemeliharaan. Demikianlah disebutkan dalam kehidupan keseharian dalam melaksanakan suatu upacara Manusa Yadnya yang tiada terlepas dari suatu ajaran kesucian, untuk membersihkan dan mensucikan diri umat secara lahir bathin dengan beberapa sarana berupa banten Penyeneng, Tataban dengan dilengkapi Tirta sesuai dengan peruntukannya.

2.1.2  Mepandes
Dalam hal istilah Mepandes atau Potong Gigi, di masyarakat telah dilaksanakan secara kontinyu setiap adanya putra-putri yang telah cukup umur untuk hal itu. Namun tiada dapat dipungkiri juga pada suatu daerah dan atau keluarga upacara ini belum dapat dilaksanakan mengingat akan dresta setempat dan juga atas kemampuan yang ada. Sehingga suatu keluarga belum dapat melaksanakannya, lebuh tragisnya lagi adalah adanya upacara ini dilaksakan hingga ajal. Melihat akan kenyataan yang demikian ada beberapa lembaga masyarakat keumatan telah pula berinisiatif melaksanakannya secara massal dengan bekerja sama dengan beberapa instansi pemerintah dan swasta. Atau pada kesempatan lain, potong gigi massal dapat diselenggarakan secara bersama saat melaksanakan suatu ritual upacara yadnya lainnya seperti piodalan pada suatu kahyangan keluarga dan jagat seperti Kahyangan Tiga setempat yang diprakarsai oleh Bendesa Adat dengan Lembaga Perkreditan Desa setempat. Ada pula dilaksanakan bersamaan dengan upacara Pitra Yadnya atau Ngaben Massal. Untuk hal ini sabgat bagus, sebab segala bentuk pembiayaan dan waktu dapat diefektifkan (murah) disamping juga sebagai sarana dalam mempersatukan kerbersamaan umat dalam kehidupan kemasyrakatan.
1.      Tujuan
Adapun sastra suci yang melandasi pelaksanaan upacara Potong Gigi ini ada dalam berbagi lontar, antara lain ada disebutkan dalam:
a.       Lontar Kalapati.
b.      Lontar Kala Tattwa.
c.       Lontar Smaradhana.
Tujuan upacara Potong Gigi dapat disimak lebih lanjut dari lontar Kalapati di mana disebutkan bahwa gigi yang digosok atau diratakan dari gerigi adalah enam buah yaitu dua taring dan empat gigi seri bagian atas. Pemotongan enam gigi itu melambangkan symbol pengendalian terhadap Sad Ripu (enam musuh dalam diri manusia) yang meliputi:
1.      Kama (hawa nafsu).
2.      Loba (rakus).
3.      Krodha (marah).
4.      Mada (mabuk).
5.      Moha (bingung).
6.      Matsarya (iri hati).
Sad Ripu yang tidak terkendali ini akan membahayakan kehidupan manusia, maka kewajiban setiap orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari pengaruh Sad Ripu. Makna yang tersirat dari mitologi Kalapati, Kala Tattwa dan Smaradhana ini adalah mengupayakan kehidupan manusia yang selalu waspada agar tidak tersesat dari ajaran agama (dharma) sehingga dikemudian hari rohnya yang telah disucikan dapat mencapai Surga Loka bersama roh suci para laluhur, bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi). Dalam pergaulan muda-mudi pun diatur agar tidak melewati batas kesusilaan seperti yang tersirat  dari lontar Semaradhana.
Upacara potong gigi biasanya disatukan dengan upacara Ngeraja Sewala atau upacara Menek Kelih, yaitu upacara syukuran karena si anak sudah menginjak dewasa dan alangkah baiknya lagi dilanjutkan dengan upacara Pewintenan Saraswati bagi si anak.
2.      Konsep Upacara Potong Gigi
Upacara potong gigi sudah dikenal di pulau Bali ini sejak 2000 tahun yang lalu. Adapun buktinya dengan diketemukan fosil-fosil manusia purba di Gilimanuk yang diperkirakan berumur 2000 tahun yang lalu, menunjukkan sudah dikenalnya sistim penguburan  yang terlipat dan pada gigi-gigi mereka menunjukkan tanda-tanda yang telah diasah. Menurut G.A Wilken seorang sarjana barat yang terkenal, menyebutkan bahwa pada bangsa-bangsa prasejarah di daerah kepulauan Polinesia, Asia Tengah dan Asia Tenggara terdapat suatu kepercayaan pentingnya memotong bagian –bagian tertentu dari tubuh seperti rambut, gigi, menusuk (melobangi) telinga, tatuage (mencacah kulit) dan sebagai upacara berkorban kepada nenek moyang. Penyiksaan diri dalam batas-batas tertentu dianggap sebagi korban dalam agama, antara lain adalah tapa dan brata.
Demikian pula upacara-upacara yang sudah merupakan adat agama Hindu di pulau Bali antara lain ialah: upacara potong rambut pada waktu berumur tiga bulan dianggap sebagai upacara penyucian, melenyapkan mala (kekotoran) dari rambut yang dibawa sejak lahir, disertai dengan upacara metusuk kuping yaitu melobangi daun telinga. Disamping itu upacara tiga bulan ini adalah upacara prubahan status di mana si bayi mengambil nama (diberi nama secara resmi), berkenalan dengan alam sekitarnya, mempermaklumkan ke Bale Agung dan permakluman Kepala Desa Adat sebagi warga desa yang baru.
Dibawah ini kita akan bahas satu persatu aspek-aspek potong gigi ini dengan memakai latar belakang  petikan cerita-cerita. Dalam lontar Tutur Sanghyang Yama ada disebutkan sebagai berikut:
…..mwah yan amandesi wwang durung ang raja, pada tan kawenang, amalat rare ngaranya, tunggal alanya ring wwang angrabyaning wwang durung angraja, tan sukrama kna ring jagat megawe sanggar negaranira Çri Aji.

Artinya :
….lagi jika memotong gigi orang yang belum kotor kain, sama sekali tidak dibenarkan, memperkosa bayi (anak-anak) namanya, sama buruknya dengan orang yang mengawini orang yang belum kotor kain (belum dewasa) tidak patut hal itu dilakukan di dunia akan mengakibatkan rusaknya negara sang raja.

Dengan demikian seseorang baru boleh melaksanakan upacara Potong Gigi setelah mereka naik dewasa  dalam arti sudah pernah kotor kain.
3.      Mitologi Upacara Mepandes
Secara mitologi, upacara Potong Gigi atau Mepandes ada disebutkan dalam berbagi sumber sastra suci, antaranya:
a.       Kelahiran Bhatara Kala
b.      Taring Ganesha Patah
c.       Samara Ratih
d.      Lontar Siwagama
4.      Rangkaian Pelaksanaan Upacara Potong Gigi
Untuk pelaksanaan upacara potong gigi atau mepandes, secara keseluruhan sama adanya yaitu diawali dengan persiapan, pelaksanaan dan diakhiri dengan pejaya-jaya sebagi penutup.
a.      Persiapan Upacara Potong Gigi
Bila telah didapat hari baik (dewasa becik) dan atau berdasarkan atas kesepakatan bersama maka langkah selanjutnya adalah:
1.      Persiapan tempat potong gigi, yang dibuat seperti tempat upacara manusa yadnya, dilengkapi dengan kasur, bantal, tikar bergambar smara ratih atau dengan alas yang sejenis.
2.      Bale Gading, dibuat dari bambu gading atau dihiasi dengan bunga-bunga yang berwarna putih dan kuning, serta di dalamnya diisi banten peras, ajuman, daksina (kadang-kadang dilengkapi dengan suci), canang burat wangi, canang sari dengan raka-raka : kekiping, pisang mas, nyanyah gula merah dan periuk atau sangku berisi air atau bunga 11 jenis. Balle Gading adalah tempat Smara Ratih.
3.      Kelapa gading yang dikasturi, airnya dibuang dan ditulis “ardhanareswari”(gambar samara ratih), kelapa ini akan dipakai tempat ludah dan singgang gigi yang sudah dipakai, setelah upacara, kelapa gading ini dipendam ditempat yang biasa untuk maksud tertentu dan atau lebuh baik lagi dibuang ke Luwah (sungai) sebbab semuanya ini merupakan mala (kekotoran). Akan halnya ada yang menanam di belakang pelinggih kemulan, hal itu kurang pas, sebab bekas singgang gigi itu ibarat mala, kenapa justru dibawa ke kahyangan.
4.      Singgang gigi/penggal adalah tiga potong cabang dapdap dan tiga potong tebu malem/tebu ratu. Panjang penanggal kira-kira 1-1,5 cm.
5.      Pengilap yaitu sebuah cincin bermata merah.
6.      Pengurip-urip terdiri dari empu kunir (inan kunyit) yang dikupas sampai bersih dan kapur.
7.      Sebuah bokor yang berisi : kikir, cermin dan pahat, bisa juga diisi pengilap dan pengurip-urip.
8.      Tempat sirih lengkap dengan sirih lekesan, tembakau, pinang dan gambir (dalam lekesan sudah berisi kapur).
9.      Rurub berupa kain yang dipakai menutupi badan pada waktu upacara, duharpkan kain yang dipakai adalah kain sukla baru, bila dikehendaki lain, dan ini patut dimiliki oleh setiap Mangku Sangging adalah rurub putih kuning bertuliskan rerajahan dan samara ratih.
10.  Banten tetingkeb yang akan diinjak waktu turun setelah upacara potong gigi berlangsung (dapat diganti dengan segehan agung), sering juga disebut dengan peras enjekkan.
11.  Bokor berisi bunga dan kewangen, kelengkapan untuk muspa saat baru naik dan akan mulai Mepandes.
12.  Banten untuk Sangging:
-          1 soroh suci
-          Peras
-          Sodan ditambah ketupat kelanan
-          Canang dan sesari
-          1 helai kampuh yang telah memmakai tepi, biasanya kampuh kuning
-          Arak, berem tirta, penastan dan pengasepan
13.  Banten sekaa gender dan kidung
-          Banten pejati
-          Peras
-          Sodan

b.      Tata Cara Pelaksanaan Upacara Potong Gigi Secara Umum
Tata cara pelaksanaan upacara Potong Gigi, pertama dilaksanakan upacara mebyakala dan meprascita, kemudian berdoa kehadapan Ida Bhatara Surya dan Sang Hyang Semara Ratih. Acara dilanjutkan dengan pengekeban, selanjutnya orang yang akan diupacarai naik ke Bale tempat upacara Potong Gigi, dengan posisi duduk menghadap ke hulu, dilanjutkan kemudian Sang Sangging ngerajah dibeberapa tempat dengan sarana cincin atau batu permata yang telah dipersiapkan, setelah dirajah Sangging memercikan tirta pesangihan, kemudian orang yang melaksanakan potong gigi tidur menengadah ditutupi dengan kain/rurub dan acara kembali lanjutkan dengan pimpinan Sangging, yang memimpin jalannya upacara dengan sarana pengilap.
Suatu keadaan yang beda dari apa yang disebutkan di atas, bahwa acara merajah dapat dilakukan beberapa saat setelah pengekeban secara bersama-sama bilamana acara mepandes ini diikuti oleh banyak peserta (massal).merajah dimaksud boleh dilaksanakan oleh Mangku Sangging atas panugrahan Pandita yang akan muput saat setelah acara mepandes selesaai. Demikianlah selanjutnya dilaksanakaan mepandes secara bergilir sessuai dengan urutan-urutan nomor yang ada dan telah dipersiapkan untuk itu secara tertib.
Tiap kali penanggal diganti, kemudian dimasukan kedalam kelungah kelapa gading beserta ludahnya dan bila posisi gigi diangaap sudah rata, dilanjutkan dengan pengurip-urip dan terakhir berkumur dengan air cendana dibarengi dengan makan sirih, kemudian sisanya dibuang kedalam kelapa gading. Yang perlu diingat disini adalah, janganlah mengikis gigi terlalu banyak sehingga menyebabkan email gigi habis. Hal ini akan mengakibatkan sakit  bagi peserta sehingga dikemudian hari ada kemungkinan gigi akan terasa nyeri atau ngilu yang akhirnya berakibat tanggal gigi sebelum waktunya. Justru oleh sebab ini kemudian akan ada suatu kepercayaan bahwa si Sangging telah mencelakakan peserta atau lebih tragis lagi adanya orang yang jahat pada para peserta dan lain sebagainya. Di sini kesehatan gigi sangatlah perlu diperhatikan. Setelah berganti pakaian dilaksanakan acara natab/ngayab oleh sulinggih atau orang yang berwenang menurut tradisi umat.

c.       Mangku Sangging
Berdasarkan lontar Raja Purana, seorang Sangging merupakan seorang Pemangku Tukang yang memilki tugas diantaranya mengantarkan upacara potong gigi, khususnya ngerajah, ngikir gigi dan memimpin prosesi puncak upacara potong gigi. Jadi pemangku Sangging memiliki peranan sangat penting dalam pelaksanaan upacara potong gigi. Seorang Sangging juga memiliki pakem-pakem tertentu dalam pelaksanaan upacara potong gigi.





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Desa adat merupakan organisasi tradisi local yang dimilki oleh masyarakat Bali pada khususnya. Terbentuknya desa adat didasari oleh sistem kepercayaan dan sistem nilai-nilai kemasyarakatan yang telah dimilki sebelumnya oleh masyarakat desa/karma desa. Desa adat terbentuk berdasarkan atas susunan  masyarakat desa yang terdiri dari berbagai dusun/banjar adat. Sementara banjar adat merupakan kumpulan individu-individu dari anggota keluarga. Sebuah lembaga desa adat dipimpin oleh kelian adat/bendesa adat. Kelian adat beserta banjar adat membentuk suatu peraturan-peraturan di lingkungan desa disebut hukum desa adat. Hukum desa adat di Bali disebut awig-awig. Awig-awig merupakan sebuah peraturan di dalam desa adat baik tertulis maupun tidak tertulis. Tujuan hukum desa adat dibentuk adalah untuk memperkokoh dan memperkuat suatu desa adat supaya tidak rusak dan terbina kerukunan bermasyarakat.
Manusia Yadnya bagian dari Panca Yadnya merupakan upacara yang secara keseharian pula dilaksanakan oleh umat manusia sebagi bhaktinya kehadapan Tuhan/Leluhur dan kepada sesamanya. Dalam upacara Manusa Yadnya ada disebutkan unsur Pembersihan dan Pemeliharaan. Wujud dari padanya adalah berupa sarana upakara seperti berupa penyeneng, Tirta pengelukatan, Pabersihan, Padudusan dan lainnya. Penyeneng adalah sarana banten yang selalu menyertai setiap banten lainnya yang berfungsi sebagai Ayaban/Tataban dan upacara Natab/Ngayab adalah merupakan puncak dari suatu upacara Manusa Yadnya. Adapun dalam upacara Mepandes merupakan upacara Manusa Yadnya. Tujuan upacara Potong Gigi (mepandes) dapat disimak lebih lanjut dari lontar Kalapati di mana disebutkan bahwa gigi yang digosok atau diratakan dari gerigi adalah enam buah yaitu dua taring dan empat gigi seri bagian atas. Pemotongan enam gigi itu melambangkan symbol pengendalian terhadap Sad Ripu (enam musuh dalam diri manusia) yang meliputi:
1.      Kama (hawa nafsu).
2.      Loba (rakus).
3.      Krodha (marah).
4.      Mada (mabuk).
5.      Moha (bingung).
6.      Matsarya (iri hati).
Sad Ripu yang tidak terkendali ini akan membahayakan kehidupan manusia, maka kewajiban setiap orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari pengaruh Sad Ripu.



















Daftar Pustaka

  1. Anandakusuma, Sri Reshi. 1994. Aum Upacara Manusa Yadnya. Denpasar: Kayumas Agung.
  2. Pudja. MA.SH.,Gede. 2004. Bhagawag Gita (Pancama Veda). Surabaya: Paramita.
  3. Pudja. MA, Gede dan Tjokorda Rai Sudharta. MA. 2004. Mánawa Dharma Úástra (Manu Dharmaúástra) atau Veda Smşti, Compendium Hukum Hindu. Surabaya: Paramita.
  4. Titib, DR. IMade. 1998. Weda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita.
  5. Kajeng, I Nyoman. Dkk. 2005. Sarasamuscaya. Surabaya: Paramita.
  6. Bambang Oka Sudira, M.Sn, Made. 2008. Konsep Filosofi Hindu (Dalam Desa Adat Kebudayaan Bali). Surabaya: Paramita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar