BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sistem Sosial Krama/Masyarakat Dalam
Upacara Manusa Yadnya (Mapandes) Di Lingkungan Desa Adat Kaba-Kaba.
Hindu merupakan agama universal dan
fleksibel membungkus tradisi dan adat istiadat suatu daerah, sehingga agama
Hindu diterima dan menyebar dengan
kedamaian. Fleksibilitas agama Hindu tetap mengacu pada Tri Kerangka Dasar
ajaran agama Hindu, yaitu Tatwa (Filsafat), Susila (Etika), dan Upacara
(Ritual). Bagaimana pun tradisi suatu daerah Tri Kerangka Agama Hindu selalu
ada dan saling menyeimbangkan, sehingga tujuan agama Hindu dapat tercapai.
Pelaksanaan upacara Yadnya (Ritual) di Bali sudah dirasakan dan sering ada
penafsiran, bahwa pelaksanaan upacara (Ritual) itu sudah jauh menyimpang dari
hakekat Yadnya yang sebenarnya. Keluhan tentang sangat beratnya pelaksanaan
upacara di Bali dirasakan oleh masyarakat awam, cendikiawan, dan bahkan
beberapa pejabat yang memiliki kepekaan sosial di daerah ini. Sangat dirasakan
kurangnya kesadaran untuk mengumpulkan dana (dana punia) untuk kepentingan dana
sosial. Untuk itu diperlukan sinkronisasi pemahaman terhadap Tattwa, Susila,
dan Upacara tersebut.
Yadnya sebagai filsafat dan landasan
Upacara. Perlu dipahami, bahwa hakekat Yadnya adalah pengorbanan yang tulus.
Yadnya tidak hanya dalam bentuk Upacara (Ritual) tetapi lebih banyak berdimensi
sosial seperti pendidikan, kemanusiaan dan pemeliharaan lingkungan. Ada
beberapa jenis Yadnya yang mesti dipahami oleh umat Hindu. Yadnya sebagai
pengorbanan suci merupakan kewajiban sehari-hari. Satyam, Sivam, Sundaran
sebagai azas kehidupan. Satyam (Kebenaran), Sivam (Kebajikan), Sundaram
(keharmonisan Keseimbangan) yang tidak seimbang bakal menimbulkan ketimpangan
kehidupan. Kebajikan tanpa Kebenaran adalah sia-sia. Keharmonisan Keseimbangan
tanpa Kebenaran dan Kebajikan adalah jauh dari moralitas. Kebahagian sejati
memancar dari keseimbangan Satyam, Sivam, Sundaran. Dalam pelaksanaan Upacara
Yadnya (Ritual) hendaknya pula dilandasi pemahaman terhadap ketiganya tersebut.
Upacara Yadnya tanpa pemahaman yang benar terhadap pengertian, fungsi, dan
makna dan upacara tersebut menjadikan ritual tersebut memberikan pahala yang
maksimal. Bentuk Upacara Yadnya yang
umum dikenal adalah Panca Yadnya yang memiliki fungsi dan makna.
2.1.1 Upacara Mepandes
(Potong Gigi) Bagian Dari Manusia Yadnya
Manusia Yadnya bagian dari Panca Yadnya
merupakan upacara yang secara keseharian pula dilaksanakan oleh umat manusia
sebagi bhaktinya kehadapan Tuhan/Leluhur dan kepada sesamanya. Adapun dasar
yang melatar belakangi manusia bhakti kehadapan Tuhannya ada disebutkan pada
kitab-kitab suci.
Saha
yajnah prajah srstva
Puruvaca
prajapatih,
Anena
prasavisyadhyam
Esa
vo stv ista kma dhuk. (Bhagavadgita
III.10)
Artinya:
Sesungguhnya
sejak dahulu dikatakan, Tuhan setelah menciptakan manusia melalui Yadnya,
berkata; dengan (cara) ini engkau akan berkembang, sebagimana sapi perah yang
memenuhi keinginanmu (sendiri).
Devan
bhavayatanena
Te deva
bhavayantu vah
Parasparam
bhavayantah
Sreyah param
avapsyatha. (Bhagavadgita III.11)
Artinya:
Adanya para Dewa
adalah karena ini, semoga mereka menjadikan engkau demikian, dengan saling
member engkau akan memperoleh kebajikan paling utama.
Perihal kesucian diri, dapat berupa kesucian lahir
dan bathin. Mengenai hal itu ada disebutkan dalam kitab suci Manawa
Dharmasastra. Kesucian lahir bathin, pencapaiannya dalam Menawa Dharmasastra
Bab V. 109 disebutkan sebagai berikut:
Abdir
gatrani suddhyanti
Manah
satyena suddhyanti,
Vidyatapobhyam
bhutatma
Buddhir
jnanena suddhyanti.
Artinya:
Tubuh dibersihkan
dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dengan pelajaran
suci dan tapa bratha, kecerdasan dengan pengetahuan benar.
Dalam upacara Manusa Yadnya ada disebutkan unsur
Pembersihan dan Pemeliharaan. Wujud dari padanya adalah berupa sarana upakara
seperti berupa penyeneng, Tirta pengelukatan, Pabersihan, Padudusan dan
lainnya. Penyeneng adalah sarana banten yang selalu menyertai setiap banten
lainnya yang berfungsi sebagai Ayaban/Tataban dan upacara Natab/Ngayab adalah
merupakan puncak dari suatu upacara Manusa Yadnya. Penyeneng sebagi alat atau
sarana pembersihan dan pemeliharaan. Demikianlah disebutkan dalam kehidupan
keseharian dalam melaksanakan suatu upacara Manusa Yadnya yang tiada terlepas
dari suatu ajaran kesucian, untuk membersihkan dan mensucikan diri umat secara
lahir bathin dengan beberapa sarana berupa banten Penyeneng, Tataban dengan
dilengkapi Tirta sesuai dengan peruntukannya.
2.1.2 Mepandes
Dalam hal istilah Mepandes atau Potong Gigi, di
masyarakat telah dilaksanakan secara kontinyu setiap adanya putra-putri yang
telah cukup umur untuk hal itu. Namun tiada dapat dipungkiri juga pada suatu
daerah dan atau keluarga upacara ini belum dapat dilaksanakan mengingat akan
dresta setempat dan juga atas kemampuan yang ada. Sehingga suatu keluarga belum
dapat melaksanakannya, lebuh tragisnya lagi adalah adanya upacara ini
dilaksakan hingga ajal. Melihat akan kenyataan yang demikian ada beberapa
lembaga masyarakat keumatan telah pula berinisiatif melaksanakannya secara
massal dengan bekerja sama dengan beberapa instansi pemerintah dan swasta. Atau
pada kesempatan lain, potong gigi massal dapat diselenggarakan secara bersama
saat melaksanakan suatu ritual upacara yadnya lainnya seperti piodalan pada
suatu kahyangan keluarga dan jagat seperti Kahyangan Tiga setempat yang
diprakarsai oleh Bendesa Adat dengan Lembaga Perkreditan Desa setempat. Ada
pula dilaksanakan bersamaan dengan upacara Pitra Yadnya atau Ngaben Massal.
Untuk hal ini sabgat bagus, sebab segala bentuk pembiayaan dan waktu dapat
diefektifkan (murah) disamping juga sebagai sarana dalam mempersatukan
kerbersamaan umat dalam kehidupan kemasyrakatan.
1.
Tujuan
Adapun sastra suci yang melandasi pelaksanaan
upacara Potong Gigi ini ada dalam berbagi lontar, antara lain ada disebutkan
dalam:
a. Lontar
Kalapati.
b. Lontar
Kala Tattwa.
c. Lontar
Smaradhana.
Tujuan upacara Potong Gigi dapat disimak lebih
lanjut dari lontar Kalapati di mana disebutkan bahwa gigi yang digosok atau
diratakan dari gerigi adalah enam buah yaitu dua taring dan empat gigi seri
bagian atas. Pemotongan enam gigi itu melambangkan symbol pengendalian terhadap
Sad Ripu (enam musuh dalam diri manusia) yang meliputi:
1. Kama
(hawa nafsu).
2. Loba
(rakus).
3. Krodha
(marah).
4. Mada
(mabuk).
5. Moha
(bingung).
6. Matsarya
(iri hati).
Sad Ripu yang tidak terkendali ini akan membahayakan
kehidupan manusia, maka kewajiban setiap orang tua untuk menasehati
anak-anaknya serta memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari
pengaruh Sad Ripu. Makna yang tersirat dari mitologi Kalapati, Kala Tattwa dan
Smaradhana ini adalah mengupayakan kehidupan manusia yang selalu waspada agar
tidak tersesat dari ajaran agama (dharma) sehingga dikemudian hari rohnya yang
telah disucikan dapat mencapai Surga Loka bersama roh suci para laluhur,
bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi). Dalam pergaulan muda-mudi pun diatur agar
tidak melewati batas kesusilaan seperti yang tersirat dari lontar Semaradhana.
Upacara potong gigi biasanya disatukan dengan
upacara Ngeraja Sewala atau upacara Menek Kelih, yaitu upacara syukuran karena
si anak sudah menginjak dewasa dan alangkah baiknya lagi dilanjutkan dengan
upacara Pewintenan Saraswati bagi si anak.
2.
Konsep
Upacara Potong Gigi
Upacara potong gigi sudah dikenal di pulau Bali ini
sejak 2000 tahun yang lalu. Adapun buktinya dengan diketemukan fosil-fosil
manusia purba di Gilimanuk yang diperkirakan berumur 2000 tahun yang lalu,
menunjukkan sudah dikenalnya sistim penguburan
yang terlipat dan pada gigi-gigi mereka menunjukkan tanda-tanda yang
telah diasah. Menurut G.A Wilken seorang sarjana barat yang terkenal,
menyebutkan bahwa pada bangsa-bangsa prasejarah di daerah kepulauan Polinesia,
Asia Tengah dan Asia Tenggara terdapat suatu kepercayaan pentingnya memotong
bagian –bagian tertentu dari tubuh seperti rambut, gigi, menusuk (melobangi)
telinga, tatuage (mencacah kulit) dan sebagai upacara berkorban kepada nenek
moyang. Penyiksaan diri dalam batas-batas tertentu dianggap sebagi korban dalam
agama, antara lain adalah tapa dan brata.
Demikian pula upacara-upacara yang sudah merupakan
adat agama Hindu di pulau Bali antara lain ialah: upacara potong rambut pada
waktu berumur tiga bulan dianggap sebagai upacara penyucian, melenyapkan mala
(kekotoran) dari rambut yang dibawa sejak lahir, disertai dengan upacara
metusuk kuping yaitu melobangi daun telinga. Disamping itu upacara tiga bulan
ini adalah upacara prubahan status di mana si bayi mengambil nama (diberi nama
secara resmi), berkenalan dengan alam sekitarnya, mempermaklumkan ke Bale Agung
dan permakluman Kepala Desa Adat sebagi warga desa yang baru.
Dibawah ini kita akan bahas satu persatu aspek-aspek
potong gigi ini dengan memakai latar belakang
petikan cerita-cerita. Dalam lontar Tutur Sanghyang Yama ada disebutkan
sebagai berikut:
…..mwah yan amandesi wwang durung ang raja, pada tan
kawenang, amalat rare ngaranya, tunggal alanya ring wwang angrabyaning wwang
durung angraja, tan sukrama kna ring jagat megawe sanggar negaranira Çri Aji.
Artinya
:
….lagi jika
memotong gigi orang yang belum kotor kain, sama sekali tidak dibenarkan,
memperkosa bayi (anak-anak) namanya, sama buruknya dengan orang yang mengawini
orang yang belum kotor kain (belum dewasa) tidak patut hal itu dilakukan di
dunia akan mengakibatkan rusaknya negara sang raja.
Dengan demikian seseorang baru boleh melaksanakan
upacara Potong Gigi setelah mereka naik dewasa
dalam arti sudah pernah kotor kain.
3.
Mitologi
Upacara Mepandes
Secara mitologi, upacara Potong Gigi atau Mepandes
ada disebutkan dalam berbagi sumber sastra suci, antaranya:
a. Kelahiran
Bhatara Kala
b. Taring
Ganesha Patah
c. Samara
Ratih
d. Lontar
Siwagama
4.
Rangkaian
Pelaksanaan Upacara Potong Gigi
Untuk pelaksanaan upacara potong gigi atau mepandes,
secara keseluruhan sama adanya yaitu diawali dengan persiapan, pelaksanaan dan
diakhiri dengan pejaya-jaya sebagi penutup.
a.
Persiapan
Upacara Potong Gigi
Bila telah didapat hari baik (dewasa becik) dan atau
berdasarkan atas kesepakatan bersama maka langkah selanjutnya adalah:
1. Persiapan
tempat potong gigi, yang dibuat seperti tempat upacara manusa yadnya,
dilengkapi dengan kasur, bantal, tikar bergambar smara ratih atau dengan alas
yang sejenis.
2. Bale
Gading, dibuat dari bambu gading atau dihiasi dengan bunga-bunga yang berwarna
putih dan kuning, serta di dalamnya diisi banten peras, ajuman, daksina
(kadang-kadang dilengkapi dengan suci), canang burat wangi, canang sari dengan
raka-raka : kekiping, pisang mas, nyanyah gula merah dan periuk atau sangku
berisi air atau bunga 11 jenis. Balle Gading adalah tempat Smara Ratih.
3. Kelapa
gading yang dikasturi, airnya dibuang dan ditulis “ardhanareswari”(gambar
samara ratih), kelapa ini akan dipakai tempat ludah dan singgang gigi yang
sudah dipakai, setelah upacara, kelapa gading ini dipendam ditempat yang biasa
untuk maksud tertentu dan atau lebuh baik lagi dibuang ke Luwah (sungai) sebbab
semuanya ini merupakan mala (kekotoran). Akan halnya ada yang menanam di
belakang pelinggih kemulan, hal itu kurang pas, sebab bekas singgang gigi itu
ibarat mala, kenapa justru dibawa ke kahyangan.
4. Singgang
gigi/penggal adalah tiga potong cabang dapdap dan tiga potong tebu malem/tebu
ratu. Panjang penanggal kira-kira 1-1,5 cm.
5. Pengilap
yaitu sebuah cincin bermata merah.
6. Pengurip-urip
terdiri dari empu kunir (inan kunyit) yang dikupas sampai bersih dan kapur.
7. Sebuah
bokor yang berisi : kikir, cermin dan pahat, bisa juga diisi pengilap dan
pengurip-urip.
8. Tempat
sirih lengkap dengan sirih lekesan, tembakau, pinang dan gambir (dalam lekesan
sudah berisi kapur).
9. Rurub
berupa kain yang dipakai menutupi badan pada waktu upacara, duharpkan kain yang
dipakai adalah kain sukla baru, bila dikehendaki lain, dan ini patut dimiliki
oleh setiap Mangku Sangging adalah rurub putih kuning bertuliskan rerajahan dan
samara ratih.
10. Banten
tetingkeb yang akan diinjak waktu turun setelah upacara potong gigi berlangsung
(dapat diganti dengan segehan agung), sering juga disebut dengan peras
enjekkan.
11. Bokor
berisi bunga dan kewangen, kelengkapan untuk muspa saat baru naik dan akan
mulai Mepandes.
12. Banten
untuk Sangging:
-
1 soroh suci
-
Peras
-
Sodan ditambah ketupat kelanan
-
Canang dan sesari
-
1 helai kampuh yang telah memmakai tepi,
biasanya kampuh kuning
-
Arak, berem tirta, penastan dan
pengasepan
13. Banten
sekaa gender dan kidung
-
Banten pejati
-
Peras
-
Sodan
b.
Tata
Cara Pelaksanaan Upacara Potong Gigi Secara Umum
Tata cara pelaksanaan upacara Potong Gigi, pertama
dilaksanakan upacara mebyakala dan meprascita, kemudian berdoa kehadapan Ida
Bhatara Surya dan Sang Hyang Semara Ratih. Acara dilanjutkan dengan pengekeban,
selanjutnya orang yang akan diupacarai naik ke Bale tempat upacara Potong Gigi,
dengan posisi duduk menghadap ke hulu, dilanjutkan kemudian Sang Sangging
ngerajah dibeberapa tempat dengan sarana cincin atau batu permata yang telah
dipersiapkan, setelah dirajah Sangging memercikan tirta pesangihan, kemudian
orang yang melaksanakan potong gigi tidur menengadah ditutupi dengan kain/rurub
dan acara kembali lanjutkan dengan pimpinan Sangging, yang memimpin jalannya
upacara dengan sarana pengilap.
Suatu keadaan yang beda dari apa yang disebutkan di
atas, bahwa acara merajah dapat dilakukan beberapa saat setelah pengekeban
secara bersama-sama bilamana acara mepandes ini diikuti oleh banyak peserta
(massal).merajah dimaksud boleh dilaksanakan oleh Mangku Sangging atas
panugrahan Pandita yang akan muput saat setelah acara mepandes selesaai.
Demikianlah selanjutnya dilaksanakaan mepandes secara bergilir sessuai dengan
urutan-urutan nomor yang ada dan telah dipersiapkan untuk itu secara tertib.
Tiap kali penanggal diganti, kemudian dimasukan
kedalam kelungah kelapa gading beserta ludahnya dan bila posisi gigi diangaap
sudah rata, dilanjutkan dengan pengurip-urip dan terakhir berkumur dengan air
cendana dibarengi dengan makan sirih, kemudian sisanya dibuang kedalam kelapa
gading. Yang perlu diingat disini adalah, janganlah mengikis gigi terlalu banyak
sehingga menyebabkan email gigi habis. Hal ini akan mengakibatkan sakit bagi peserta sehingga dikemudian hari ada
kemungkinan gigi akan terasa nyeri atau ngilu yang akhirnya berakibat tanggal
gigi sebelum waktunya. Justru oleh sebab ini kemudian akan ada suatu
kepercayaan bahwa si Sangging telah mencelakakan peserta atau lebih tragis lagi
adanya orang yang jahat pada para peserta dan lain sebagainya. Di sini
kesehatan gigi sangatlah perlu diperhatikan. Setelah berganti pakaian
dilaksanakan acara natab/ngayab oleh sulinggih atau orang yang berwenang
menurut tradisi umat.
c.
Mangku
Sangging
Berdasarkan lontar Raja Purana, seorang Sangging
merupakan seorang Pemangku Tukang yang memilki tugas diantaranya mengantarkan
upacara potong gigi, khususnya ngerajah, ngikir gigi dan memimpin prosesi
puncak upacara potong gigi. Jadi pemangku Sangging memiliki peranan sangat
penting dalam pelaksanaan upacara potong gigi. Seorang Sangging juga memiliki
pakem-pakem tertentu dalam pelaksanaan upacara potong gigi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Desa
adat merupakan organisasi tradisi local yang dimilki oleh masyarakat Bali pada
khususnya. Terbentuknya desa adat didasari oleh sistem kepercayaan dan sistem
nilai-nilai kemasyarakatan yang telah dimilki sebelumnya oleh masyarakat
desa/karma desa. Desa adat terbentuk berdasarkan atas susunan masyarakat desa yang terdiri dari berbagai
dusun/banjar adat. Sementara banjar adat merupakan kumpulan individu-individu
dari anggota keluarga. Sebuah lembaga desa adat dipimpin oleh kelian adat/bendesa
adat. Kelian adat beserta banjar adat membentuk suatu peraturan-peraturan di
lingkungan desa disebut hukum desa adat. Hukum desa adat di Bali disebut
awig-awig. Awig-awig merupakan sebuah peraturan di dalam desa adat baik
tertulis maupun tidak tertulis. Tujuan hukum desa adat dibentuk adalah untuk
memperkokoh dan memperkuat suatu desa adat supaya tidak rusak dan terbina
kerukunan bermasyarakat.
Manusia
Yadnya bagian dari Panca Yadnya merupakan upacara yang secara keseharian pula
dilaksanakan oleh umat manusia sebagi bhaktinya kehadapan Tuhan/Leluhur dan
kepada sesamanya. Dalam upacara Manusa Yadnya ada disebutkan unsur Pembersihan
dan Pemeliharaan. Wujud dari padanya adalah berupa sarana upakara seperti
berupa penyeneng, Tirta pengelukatan, Pabersihan, Padudusan dan lainnya.
Penyeneng adalah sarana banten yang selalu menyertai setiap banten lainnya yang
berfungsi sebagai Ayaban/Tataban dan upacara Natab/Ngayab adalah merupakan
puncak dari suatu upacara Manusa Yadnya. Adapun dalam upacara Mepandes
merupakan upacara Manusa Yadnya. Tujuan upacara Potong Gigi (mepandes) dapat
disimak lebih lanjut dari lontar Kalapati di mana disebutkan bahwa gigi yang
digosok atau diratakan dari gerigi adalah enam buah yaitu dua taring dan empat
gigi seri bagian atas. Pemotongan enam gigi itu melambangkan symbol
pengendalian terhadap Sad Ripu (enam musuh dalam diri manusia) yang meliputi:
1. Kama
(hawa nafsu).
2. Loba
(rakus).
3. Krodha
(marah).
4. Mada
(mabuk).
5. Moha
(bingung).
6. Matsarya
(iri hati).
Sad
Ripu yang tidak terkendali ini akan membahayakan kehidupan manusia, maka
kewajiban setiap orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta memohon kepada
Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari pengaruh Sad Ripu.
Daftar Pustaka
- Anandakusuma, Sri Reshi. 1994. Aum Upacara Manusa Yadnya. Denpasar: Kayumas Agung.
- Pudja. MA.SH.,Gede. 2004. Bhagawag Gita (Pancama Veda). Surabaya: Paramita.
- Pudja. MA, Gede dan Tjokorda Rai Sudharta. MA. 2004. Mánawa Dharma Úástra (Manu Dharmaúástra) atau Veda Smşti, Compendium Hukum Hindu. Surabaya: Paramita.
- Titib, DR. IMade. 1998. Weda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita.
- Kajeng, I Nyoman. Dkk. 2005. Sarasamuscaya. Surabaya: Paramita.
- Bambang Oka Sudira, M.Sn, Made. 2008. Konsep Filosofi Hindu (Dalam Desa Adat Kebudayaan Bali). Surabaya: Paramita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar