Sabtu, 20 September 2014

Estetika Kewangen



Estetika Kewangen

Keindahan (estetika) hasil dari kreativitas manusia baik sengaja atau tidak, pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kepuasan bathin atau rohani bagi pembuat karya itu sendiri dan bagi masyarakat penikmat. Kehidupan manusia dalam kesehariannya selalu memerlukan keindahan untuk memenuhi kepuasan bathinnya, baik yang diperoleh dari keindahan alami maupun keindahan karya manusia. Manusiatidak dapat dipisahkan dengan keindahan (estetika), karena keindahan sebagaipenyeimbang logika manusia. Keindahan dan seni sebagai penghalus hidup manusia.Tanpa keindahan (estetika), hidup manusia akan terasa kaku dan kehilangan nilairasa. Oleh karena itu kahadiran karya estetika sangat dibutuhkan manusia sebagaipenghalus rasa dalam kehidupannya. Demikian juga halnya dalam simbol upakara ” Omkāra” dalam bentuk”Kewangen” yang merupakan hasil buatan manusia yang mengandung nilai estetika. Kewangen” memang bukan karya seni, karena tidak sengaja diciptakan untuk keperluan seni. Akan tetapi tanpa disadari ”kewangen” yang merupakan sarana dalam persembahyangan umat Hindu di Bali memiliki keindahan (estetika). ”Kewangen ” sebagai sarana dalam persembahyangan yang ditujukan kepada Tuhan, hendaknya membawa suasana bathin yang indah, senang, suci, kusuk dan nyaman sehinggamemudahkan berkonsentrasi dalam memuja atau memulikan Tuhan. Karena itulah”kewangen” dibuat dengan bentuk yang indah yang mampu menciptakan suasana senang, suci, kusuk dan nyaman dalam sembahyang.
1. Unsur-unsur keindahan Kewangen
Untuk mewujudkan estetika “kewangen” diperlukan beberapa unsur yang mengandung makna tersendiri dalam persembahyangan dan mendukung terciptanya keindahan (estetika) pada pada bentuk “kewangen”. Adapun unsur tersebut antara lain:
1) Kojong kewangen
Kojong kewangen dibuat dari daun pisang, bagian bawahnya dibentuk lancip, bagian atas lebih lebar, dan bagian depan atas terlihat ada lekukan atau cekungan. Unsur ini dibentuk mengikuti kaidah-kaidah seni bentuk (seni rupa) sehingga bentuk yang ditampilkan indah untuk dilihat. Lekukan kojong kewangen melambangkan “Arda Candra” (‚), badang kojong melambangkan “Suku Tunggal” (3).
2) Pelawa
Pelawa adalah sejenis daun-daunan (cukup selembar), daun yang dimaksud bias dari daun kemuning, daun pandan harum, daun kayu (puring) atau daun sejenisnya. Pelawa tersebut melambangkan ketengan dan kejernihan pikiran. Pelawa juga memiliki bentuk dan warna yang menarik sehingga dapat mendukung estetika “kewangen”.
3) Porosan silih asih
Porosan silih asih adalah dua lembar daun sirih yang digabung berhadaphadapan, ditengahnya berisi kapur sirih dan buah pinang. Porosan silih asih simbol dari kedekatan umat dengan Dewa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Unsur ini juga melengkapi keindahan komposisi dari bentuk “kewangen”.
4) Sampian kewangen
Sampian kewangen berbentuk cili dari daun kelapa (busung) dan dihiasi dengan bunga-bunga yang harum. Sampian kewangen sebagai simbol “Nada” ( ). Unsur ini paling dominan terlihat dalam mendukung estetika kewangen. Sampian kewangen dari rangkaian tuesan daun kelapa dibuat mengikuti unsur-unsur keindahan bentuk dan dipadukan dengan bunga warna-warni serta harum serta penataan yang mengikuti komposisi seni bentuk (seni rupa) tentu akan menambah keindahan (estetika) sebuah “kewangen”.
5) Pis bolong
Pis Bolong atau uang kepeng adalah sejenis uang yang diperluka dalam upacara keagamaan umat Hindu. Kalau kita perhatikan dengan seksama, uang kepeng juga memiliki keindahan tersendiri yang terdapat huruf mandarin dan sanskerta pada sisi uang tersebut. Keindahan uang kepeng ini tentu juga mendukung estetika dari “kewangen”. Uang kepeng simbol dari “Windu” (O), yaitu penyatuan Siwa Budha.
2. Komposisi keindahan Kewangen
Komposisi merupakan penataan unsur-unsur yang membentuk keindahan suatu karya. Komposisi keindahan “kewangen” adalah menata atau menyusun unsurunsur dari “kewangen” itu sendiri, seperti: menata atau menyusun kojong kewangen, pelawa, porosan silih asih, pis bolong, sampian kewangen dan bunga-bunga, sehingga menjadi bentuk yang indah dan menarik.
1) Keseimbangan
Penataan unsur-unsur “kewangen” dengan memperhatikan keseimbangan antara bagian kiri dan kanan dengan menerapkan keseimbangan simetris, yaitu bagian kiri dan kanan diusahakan unsur-unsurnya memiliki bentuk, ukuran, dan warna yang sama. Hal ini dilakukan agar “kewangen” tidak berkesan berat sebelah.
2) Kesatuan
Penataan unsur-unsur “kewangen” agar berkesan suatu keutuhan bentuk. Unsur yang satu menukung unsur yang lainnya sehingga tidak ada kesan yang lepas atau terpisah antara bagian-bagian dari “kewangen” itu sendiri. Penataan ini perlu dilakukan agar pandangan orang terhadap “kewangen” terfokus pada keutuhan bentuk “kewangen”.
3) Irama
Penataan unsur-unsur “kewangen” berdasarkan irama untuk menimbulkan keharmonisan bentuk “kewangen”. Penataan ini dapat dilakukan dengan mengatur gradasi bentuk, ukuran dan warna unsur, misalnya dari bentuk kecil kebentuk yang lebih besar dan kembali ke bentuk yang kecil, atau dari warna yang terang ke warna yang lebih gelap dan kembali ke warna yang terang.
4) Proporsi
Proporsi merupakan perbandingan dalam penataan unsur-unsur pembentuk kewangen” termasuk ketepatan penempatan posisi dari masing-masing bagianbagian dari “kewangen”, seperti penempatan sampian kewangen pada bagian belakang, pis bolong pada bagian depan, dan sebaginya. Penempatan unsur-unsur kewangen yang tepat pada posisinya tentu akan mendukung keindahan bentuk kewangen”.
3. Hubungan bentuk, esteika dan fungsi
Bentuk “kewangen” yang kecil dan mungil serta seolah-olah berbentuk segitiga terbalik tentu telah memperhitungkan fungsi dari “kewangen” tersebut. Fungsi yang dimaksud adalah saat digunakan untuk sembahyang, yaitu “kewangen” dipegang (dijepit) pada cakupan kedua telapak tangan tepat sejajar dengan ubunubun. Artinya “kewangen” nyaman digunakan saat sembahyang, tidak susah
dipegang, tidak mudah jatuh dan tidak mengganggu konsentrasi. Keserasian antara bentuk dan fungsi mutlak harus dikondisikan. Keindahan suatu bentuk jangan sampai mengganggu fungsi dan sebaliknya fungsi jangan sampai menganggu bentuk. Kalau diperhatikan, pada bagian badan “kewangen” yang merupakan kojong “kewangen” dibuat polos (sederhana) tanpa hiasan, hal ini
untuk memudahkan dipegang (dijepit) pada cakupan kedua telapak tangan. Demikian juga, keindahan bentuk jangan sampai tergganggu akibat salah menggunakan atau memegang “kewangen”. Keserasian bentuk dan fungsi “kewangen” akan memberikan kepuasan bathin saat memandangi estetika “kewangen”, seperti dapat menimbulkan kesenangan, menyejukkan pikiran, dan kedamaian hati. Demikian juga saat digunakan untuk sembahyang dapat memberikan kekusukan dan kesucian bathin. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa estetika “kewangen” Nampak pada bentuknya yang kecil dan mungil yang tersusun atas komposisi unsur-unsur yang indah dan bermakna simbolik serta dihiasi dengan bunga-bunga yang harum. Keindahan (estetika) kewangen memiliki keserasian bentuk dan fungsi sehingga nyaman digunakan pada saat sembahyang baik secara fisik maupun bathin.

Mapandes (potong gigi) merupakan ritual suci bagi umat Hindu



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sistem Sosial Krama/Masyarakat Dalam Upacara Manusa Yadnya (Mapandes) Di Lingkungan Desa Adat Kaba-Kaba.
Hindu merupakan agama universal dan fleksibel membungkus tradisi dan adat istiadat suatu daerah, sehingga agama Hindu diterima dan menyebar  dengan kedamaian. Fleksibilitas agama Hindu tetap mengacu pada Tri Kerangka Dasar ajaran agama Hindu, yaitu Tatwa (Filsafat), Susila (Etika), dan Upacara (Ritual). Bagaimana pun tradisi suatu daerah Tri Kerangka Agama Hindu selalu ada dan saling menyeimbangkan, sehingga tujuan agama Hindu dapat tercapai. Pelaksanaan upacara Yadnya (Ritual) di Bali sudah dirasakan dan sering ada penafsiran, bahwa pelaksanaan upacara (Ritual) itu sudah jauh menyimpang dari hakekat Yadnya yang sebenarnya. Keluhan tentang sangat beratnya pelaksanaan upacara di Bali dirasakan oleh masyarakat awam, cendikiawan, dan bahkan beberapa pejabat yang memiliki kepekaan sosial di daerah ini. Sangat dirasakan kurangnya kesadaran untuk mengumpulkan dana (dana punia) untuk kepentingan dana sosial. Untuk itu diperlukan sinkronisasi pemahaman terhadap Tattwa, Susila, dan Upacara tersebut.
Yadnya sebagai filsafat dan landasan Upacara. Perlu dipahami, bahwa hakekat Yadnya adalah pengorbanan yang tulus. Yadnya tidak hanya dalam bentuk Upacara (Ritual) tetapi lebih banyak berdimensi sosial seperti pendidikan, kemanusiaan dan pemeliharaan lingkungan. Ada beberapa jenis Yadnya yang mesti dipahami oleh umat Hindu. Yadnya sebagai pengorbanan suci merupakan kewajiban sehari-hari. Satyam, Sivam, Sundaran sebagai azas kehidupan. Satyam (Kebenaran), Sivam (Kebajikan), Sundaram (keharmonisan Keseimbangan) yang tidak seimbang bakal menimbulkan ketimpangan kehidupan. Kebajikan tanpa Kebenaran adalah sia-sia. Keharmonisan Keseimbangan tanpa Kebenaran dan Kebajikan adalah jauh dari moralitas. Kebahagian sejati memancar dari keseimbangan Satyam, Sivam, Sundaran. Dalam pelaksanaan Upacara Yadnya (Ritual) hendaknya pula dilandasi pemahaman terhadap ketiganya tersebut. Upacara Yadnya tanpa pemahaman yang benar terhadap pengertian, fungsi, dan makna dan upacara tersebut menjadikan ritual tersebut memberikan pahala yang maksimal. Bentuk Upacara Yadnya  yang umum dikenal adalah Panca Yadnya yang memiliki fungsi dan makna.
2.1.1 Upacara Mepandes (Potong Gigi) Bagian Dari Manusia Yadnya
Manusia Yadnya bagian dari Panca Yadnya merupakan upacara yang secara keseharian pula dilaksanakan oleh umat manusia sebagi bhaktinya kehadapan Tuhan/Leluhur dan kepada sesamanya. Adapun dasar yang melatar belakangi manusia bhakti kehadapan Tuhannya ada disebutkan pada kitab-kitab suci.
Saha yajnah prajah srstva
Puruvaca prajapatih,
Anena prasavisyadhyam
Esa vo stv ista kma dhuk.   (Bhagavadgita III.10)

Artinya:

Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan, Tuhan setelah menciptakan manusia melalui Yadnya, berkata; dengan (cara) ini engkau akan berkembang, sebagimana sapi perah yang memenuhi keinginanmu (sendiri).
Devan bhavayatanena
Te deva bhavayantu vah
Parasparam bhavayantah
Sreyah param avapsyatha. (Bhagavadgita III.11)

Artinya:

Adanya para Dewa adalah karena ini, semoga mereka menjadikan engkau demikian, dengan saling member engkau akan memperoleh kebajikan paling utama.

Perihal kesucian diri, dapat berupa kesucian lahir dan bathin. Mengenai hal itu ada disebutkan dalam kitab suci Manawa Dharmasastra. Kesucian lahir bathin, pencapaiannya dalam Menawa Dharmasastra Bab V. 109 disebutkan sebagai berikut:
Abdir gatrani suddhyanti
Manah satyena suddhyanti,
Vidyatapobhyam bhutatma
Buddhir jnanena suddhyanti.

Artinya:

Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dengan pelajaran suci dan tapa bratha, kecerdasan dengan pengetahuan benar.

Dalam upacara Manusa Yadnya ada disebutkan unsur Pembersihan dan Pemeliharaan. Wujud dari padanya adalah berupa sarana upakara seperti berupa penyeneng, Tirta pengelukatan, Pabersihan, Padudusan dan lainnya. Penyeneng adalah sarana banten yang selalu menyertai setiap banten lainnya yang berfungsi sebagai Ayaban/Tataban dan upacara Natab/Ngayab adalah merupakan puncak dari suatu upacara Manusa Yadnya. Penyeneng sebagi alat atau sarana pembersihan dan pemeliharaan. Demikianlah disebutkan dalam kehidupan keseharian dalam melaksanakan suatu upacara Manusa Yadnya yang tiada terlepas dari suatu ajaran kesucian, untuk membersihkan dan mensucikan diri umat secara lahir bathin dengan beberapa sarana berupa banten Penyeneng, Tataban dengan dilengkapi Tirta sesuai dengan peruntukannya.

2.1.2  Mepandes
Dalam hal istilah Mepandes atau Potong Gigi, di masyarakat telah dilaksanakan secara kontinyu setiap adanya putra-putri yang telah cukup umur untuk hal itu. Namun tiada dapat dipungkiri juga pada suatu daerah dan atau keluarga upacara ini belum dapat dilaksanakan mengingat akan dresta setempat dan juga atas kemampuan yang ada. Sehingga suatu keluarga belum dapat melaksanakannya, lebuh tragisnya lagi adalah adanya upacara ini dilaksakan hingga ajal. Melihat akan kenyataan yang demikian ada beberapa lembaga masyarakat keumatan telah pula berinisiatif melaksanakannya secara massal dengan bekerja sama dengan beberapa instansi pemerintah dan swasta. Atau pada kesempatan lain, potong gigi massal dapat diselenggarakan secara bersama saat melaksanakan suatu ritual upacara yadnya lainnya seperti piodalan pada suatu kahyangan keluarga dan jagat seperti Kahyangan Tiga setempat yang diprakarsai oleh Bendesa Adat dengan Lembaga Perkreditan Desa setempat. Ada pula dilaksanakan bersamaan dengan upacara Pitra Yadnya atau Ngaben Massal. Untuk hal ini sabgat bagus, sebab segala bentuk pembiayaan dan waktu dapat diefektifkan (murah) disamping juga sebagai sarana dalam mempersatukan kerbersamaan umat dalam kehidupan kemasyrakatan.
1.      Tujuan
Adapun sastra suci yang melandasi pelaksanaan upacara Potong Gigi ini ada dalam berbagi lontar, antara lain ada disebutkan dalam:
a.       Lontar Kalapati.
b.      Lontar Kala Tattwa.
c.       Lontar Smaradhana.
Tujuan upacara Potong Gigi dapat disimak lebih lanjut dari lontar Kalapati di mana disebutkan bahwa gigi yang digosok atau diratakan dari gerigi adalah enam buah yaitu dua taring dan empat gigi seri bagian atas. Pemotongan enam gigi itu melambangkan symbol pengendalian terhadap Sad Ripu (enam musuh dalam diri manusia) yang meliputi:
1.      Kama (hawa nafsu).
2.      Loba (rakus).
3.      Krodha (marah).
4.      Mada (mabuk).
5.      Moha (bingung).
6.      Matsarya (iri hati).
Sad Ripu yang tidak terkendali ini akan membahayakan kehidupan manusia, maka kewajiban setiap orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari pengaruh Sad Ripu. Makna yang tersirat dari mitologi Kalapati, Kala Tattwa dan Smaradhana ini adalah mengupayakan kehidupan manusia yang selalu waspada agar tidak tersesat dari ajaran agama (dharma) sehingga dikemudian hari rohnya yang telah disucikan dapat mencapai Surga Loka bersama roh suci para laluhur, bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi). Dalam pergaulan muda-mudi pun diatur agar tidak melewati batas kesusilaan seperti yang tersirat  dari lontar Semaradhana.
Upacara potong gigi biasanya disatukan dengan upacara Ngeraja Sewala atau upacara Menek Kelih, yaitu upacara syukuran karena si anak sudah menginjak dewasa dan alangkah baiknya lagi dilanjutkan dengan upacara Pewintenan Saraswati bagi si anak.
2.      Konsep Upacara Potong Gigi
Upacara potong gigi sudah dikenal di pulau Bali ini sejak 2000 tahun yang lalu. Adapun buktinya dengan diketemukan fosil-fosil manusia purba di Gilimanuk yang diperkirakan berumur 2000 tahun yang lalu, menunjukkan sudah dikenalnya sistim penguburan  yang terlipat dan pada gigi-gigi mereka menunjukkan tanda-tanda yang telah diasah. Menurut G.A Wilken seorang sarjana barat yang terkenal, menyebutkan bahwa pada bangsa-bangsa prasejarah di daerah kepulauan Polinesia, Asia Tengah dan Asia Tenggara terdapat suatu kepercayaan pentingnya memotong bagian –bagian tertentu dari tubuh seperti rambut, gigi, menusuk (melobangi) telinga, tatuage (mencacah kulit) dan sebagai upacara berkorban kepada nenek moyang. Penyiksaan diri dalam batas-batas tertentu dianggap sebagi korban dalam agama, antara lain adalah tapa dan brata.
Demikian pula upacara-upacara yang sudah merupakan adat agama Hindu di pulau Bali antara lain ialah: upacara potong rambut pada waktu berumur tiga bulan dianggap sebagai upacara penyucian, melenyapkan mala (kekotoran) dari rambut yang dibawa sejak lahir, disertai dengan upacara metusuk kuping yaitu melobangi daun telinga. Disamping itu upacara tiga bulan ini adalah upacara prubahan status di mana si bayi mengambil nama (diberi nama secara resmi), berkenalan dengan alam sekitarnya, mempermaklumkan ke Bale Agung dan permakluman Kepala Desa Adat sebagi warga desa yang baru.
Dibawah ini kita akan bahas satu persatu aspek-aspek potong gigi ini dengan memakai latar belakang  petikan cerita-cerita. Dalam lontar Tutur Sanghyang Yama ada disebutkan sebagai berikut:
…..mwah yan amandesi wwang durung ang raja, pada tan kawenang, amalat rare ngaranya, tunggal alanya ring wwang angrabyaning wwang durung angraja, tan sukrama kna ring jagat megawe sanggar negaranira Çri Aji.

Artinya :
….lagi jika memotong gigi orang yang belum kotor kain, sama sekali tidak dibenarkan, memperkosa bayi (anak-anak) namanya, sama buruknya dengan orang yang mengawini orang yang belum kotor kain (belum dewasa) tidak patut hal itu dilakukan di dunia akan mengakibatkan rusaknya negara sang raja.

Dengan demikian seseorang baru boleh melaksanakan upacara Potong Gigi setelah mereka naik dewasa  dalam arti sudah pernah kotor kain.
3.      Mitologi Upacara Mepandes
Secara mitologi, upacara Potong Gigi atau Mepandes ada disebutkan dalam berbagi sumber sastra suci, antaranya:
a.       Kelahiran Bhatara Kala
b.      Taring Ganesha Patah
c.       Samara Ratih
d.      Lontar Siwagama
4.      Rangkaian Pelaksanaan Upacara Potong Gigi
Untuk pelaksanaan upacara potong gigi atau mepandes, secara keseluruhan sama adanya yaitu diawali dengan persiapan, pelaksanaan dan diakhiri dengan pejaya-jaya sebagi penutup.
a.      Persiapan Upacara Potong Gigi
Bila telah didapat hari baik (dewasa becik) dan atau berdasarkan atas kesepakatan bersama maka langkah selanjutnya adalah:
1.      Persiapan tempat potong gigi, yang dibuat seperti tempat upacara manusa yadnya, dilengkapi dengan kasur, bantal, tikar bergambar smara ratih atau dengan alas yang sejenis.
2.      Bale Gading, dibuat dari bambu gading atau dihiasi dengan bunga-bunga yang berwarna putih dan kuning, serta di dalamnya diisi banten peras, ajuman, daksina (kadang-kadang dilengkapi dengan suci), canang burat wangi, canang sari dengan raka-raka : kekiping, pisang mas, nyanyah gula merah dan periuk atau sangku berisi air atau bunga 11 jenis. Balle Gading adalah tempat Smara Ratih.
3.      Kelapa gading yang dikasturi, airnya dibuang dan ditulis “ardhanareswari”(gambar samara ratih), kelapa ini akan dipakai tempat ludah dan singgang gigi yang sudah dipakai, setelah upacara, kelapa gading ini dipendam ditempat yang biasa untuk maksud tertentu dan atau lebuh baik lagi dibuang ke Luwah (sungai) sebbab semuanya ini merupakan mala (kekotoran). Akan halnya ada yang menanam di belakang pelinggih kemulan, hal itu kurang pas, sebab bekas singgang gigi itu ibarat mala, kenapa justru dibawa ke kahyangan.
4.      Singgang gigi/penggal adalah tiga potong cabang dapdap dan tiga potong tebu malem/tebu ratu. Panjang penanggal kira-kira 1-1,5 cm.
5.      Pengilap yaitu sebuah cincin bermata merah.
6.      Pengurip-urip terdiri dari empu kunir (inan kunyit) yang dikupas sampai bersih dan kapur.
7.      Sebuah bokor yang berisi : kikir, cermin dan pahat, bisa juga diisi pengilap dan pengurip-urip.
8.      Tempat sirih lengkap dengan sirih lekesan, tembakau, pinang dan gambir (dalam lekesan sudah berisi kapur).
9.      Rurub berupa kain yang dipakai menutupi badan pada waktu upacara, duharpkan kain yang dipakai adalah kain sukla baru, bila dikehendaki lain, dan ini patut dimiliki oleh setiap Mangku Sangging adalah rurub putih kuning bertuliskan rerajahan dan samara ratih.
10.  Banten tetingkeb yang akan diinjak waktu turun setelah upacara potong gigi berlangsung (dapat diganti dengan segehan agung), sering juga disebut dengan peras enjekkan.
11.  Bokor berisi bunga dan kewangen, kelengkapan untuk muspa saat baru naik dan akan mulai Mepandes.
12.  Banten untuk Sangging:
-          1 soroh suci
-          Peras
-          Sodan ditambah ketupat kelanan
-          Canang dan sesari
-          1 helai kampuh yang telah memmakai tepi, biasanya kampuh kuning
-          Arak, berem tirta, penastan dan pengasepan
13.  Banten sekaa gender dan kidung
-          Banten pejati
-          Peras
-          Sodan

b.      Tata Cara Pelaksanaan Upacara Potong Gigi Secara Umum
Tata cara pelaksanaan upacara Potong Gigi, pertama dilaksanakan upacara mebyakala dan meprascita, kemudian berdoa kehadapan Ida Bhatara Surya dan Sang Hyang Semara Ratih. Acara dilanjutkan dengan pengekeban, selanjutnya orang yang akan diupacarai naik ke Bale tempat upacara Potong Gigi, dengan posisi duduk menghadap ke hulu, dilanjutkan kemudian Sang Sangging ngerajah dibeberapa tempat dengan sarana cincin atau batu permata yang telah dipersiapkan, setelah dirajah Sangging memercikan tirta pesangihan, kemudian orang yang melaksanakan potong gigi tidur menengadah ditutupi dengan kain/rurub dan acara kembali lanjutkan dengan pimpinan Sangging, yang memimpin jalannya upacara dengan sarana pengilap.
Suatu keadaan yang beda dari apa yang disebutkan di atas, bahwa acara merajah dapat dilakukan beberapa saat setelah pengekeban secara bersama-sama bilamana acara mepandes ini diikuti oleh banyak peserta (massal).merajah dimaksud boleh dilaksanakan oleh Mangku Sangging atas panugrahan Pandita yang akan muput saat setelah acara mepandes selesaai. Demikianlah selanjutnya dilaksanakaan mepandes secara bergilir sessuai dengan urutan-urutan nomor yang ada dan telah dipersiapkan untuk itu secara tertib.
Tiap kali penanggal diganti, kemudian dimasukan kedalam kelungah kelapa gading beserta ludahnya dan bila posisi gigi diangaap sudah rata, dilanjutkan dengan pengurip-urip dan terakhir berkumur dengan air cendana dibarengi dengan makan sirih, kemudian sisanya dibuang kedalam kelapa gading. Yang perlu diingat disini adalah, janganlah mengikis gigi terlalu banyak sehingga menyebabkan email gigi habis. Hal ini akan mengakibatkan sakit  bagi peserta sehingga dikemudian hari ada kemungkinan gigi akan terasa nyeri atau ngilu yang akhirnya berakibat tanggal gigi sebelum waktunya. Justru oleh sebab ini kemudian akan ada suatu kepercayaan bahwa si Sangging telah mencelakakan peserta atau lebih tragis lagi adanya orang yang jahat pada para peserta dan lain sebagainya. Di sini kesehatan gigi sangatlah perlu diperhatikan. Setelah berganti pakaian dilaksanakan acara natab/ngayab oleh sulinggih atau orang yang berwenang menurut tradisi umat.

c.       Mangku Sangging
Berdasarkan lontar Raja Purana, seorang Sangging merupakan seorang Pemangku Tukang yang memilki tugas diantaranya mengantarkan upacara potong gigi, khususnya ngerajah, ngikir gigi dan memimpin prosesi puncak upacara potong gigi. Jadi pemangku Sangging memiliki peranan sangat penting dalam pelaksanaan upacara potong gigi. Seorang Sangging juga memiliki pakem-pakem tertentu dalam pelaksanaan upacara potong gigi.





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Desa adat merupakan organisasi tradisi local yang dimilki oleh masyarakat Bali pada khususnya. Terbentuknya desa adat didasari oleh sistem kepercayaan dan sistem nilai-nilai kemasyarakatan yang telah dimilki sebelumnya oleh masyarakat desa/karma desa. Desa adat terbentuk berdasarkan atas susunan  masyarakat desa yang terdiri dari berbagai dusun/banjar adat. Sementara banjar adat merupakan kumpulan individu-individu dari anggota keluarga. Sebuah lembaga desa adat dipimpin oleh kelian adat/bendesa adat. Kelian adat beserta banjar adat membentuk suatu peraturan-peraturan di lingkungan desa disebut hukum desa adat. Hukum desa adat di Bali disebut awig-awig. Awig-awig merupakan sebuah peraturan di dalam desa adat baik tertulis maupun tidak tertulis. Tujuan hukum desa adat dibentuk adalah untuk memperkokoh dan memperkuat suatu desa adat supaya tidak rusak dan terbina kerukunan bermasyarakat.
Manusia Yadnya bagian dari Panca Yadnya merupakan upacara yang secara keseharian pula dilaksanakan oleh umat manusia sebagi bhaktinya kehadapan Tuhan/Leluhur dan kepada sesamanya. Dalam upacara Manusa Yadnya ada disebutkan unsur Pembersihan dan Pemeliharaan. Wujud dari padanya adalah berupa sarana upakara seperti berupa penyeneng, Tirta pengelukatan, Pabersihan, Padudusan dan lainnya. Penyeneng adalah sarana banten yang selalu menyertai setiap banten lainnya yang berfungsi sebagai Ayaban/Tataban dan upacara Natab/Ngayab adalah merupakan puncak dari suatu upacara Manusa Yadnya. Adapun dalam upacara Mepandes merupakan upacara Manusa Yadnya. Tujuan upacara Potong Gigi (mepandes) dapat disimak lebih lanjut dari lontar Kalapati di mana disebutkan bahwa gigi yang digosok atau diratakan dari gerigi adalah enam buah yaitu dua taring dan empat gigi seri bagian atas. Pemotongan enam gigi itu melambangkan symbol pengendalian terhadap Sad Ripu (enam musuh dalam diri manusia) yang meliputi:
1.      Kama (hawa nafsu).
2.      Loba (rakus).
3.      Krodha (marah).
4.      Mada (mabuk).
5.      Moha (bingung).
6.      Matsarya (iri hati).
Sad Ripu yang tidak terkendali ini akan membahayakan kehidupan manusia, maka kewajiban setiap orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari pengaruh Sad Ripu.



















Daftar Pustaka

  1. Anandakusuma, Sri Reshi. 1994. Aum Upacara Manusa Yadnya. Denpasar: Kayumas Agung.
  2. Pudja. MA.SH.,Gede. 2004. Bhagawag Gita (Pancama Veda). Surabaya: Paramita.
  3. Pudja. MA, Gede dan Tjokorda Rai Sudharta. MA. 2004. Mánawa Dharma Úástra (Manu Dharmaúástra) atau Veda Smşti, Compendium Hukum Hindu. Surabaya: Paramita.
  4. Titib, DR. IMade. 1998. Weda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita.
  5. Kajeng, I Nyoman. Dkk. 2005. Sarasamuscaya. Surabaya: Paramita.
  6. Bambang Oka Sudira, M.Sn, Made. 2008. Konsep Filosofi Hindu (Dalam Desa Adat Kebudayaan Bali). Surabaya: Paramita.