Kamis, 04 Juni 2015

Antropologi Agama



AGAMA SEBAGAI SISTEM BUDAYA
kebudayaan yang hidup pada suatu masyarakat, pada dasarnya merupakan gambaran dari pola pikir, tingkah laku, dan nilai yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Dari sudut pandang ini, agama di satu sisi memberikan kontribusi terhadap nilai-nilai budaya yang ada, sehingga agama pun bisa berjalan atau bahkan akomodatif dengan nilai-nilai budaya yang sedang dianutnya. Pada sisi lain, karena agama sebagai wahyu dan memiliki kebenaran yang mutlak, maka agama tidak bisa disejajarkan dengan nilai-nilai budaya setempat, bahkan agama harus menjadi sumber bagi kelangsungan nilai-nilai budaya itu. Di sinilah terjadi timbal balik antara agama dengan budaya. Persoalannya adalah, apakah nilai-nilai agama lebih dominan dalam kehidupan masyarakat itu? pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang akan kita bahas dalam tulisan ini.
A.      Agama dan Sistem Budaya
Menurut Herskovit, memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religious dan lain-lain. Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hokum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Parsupadi Suparian secara lebih spesifik menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan cetak biru bagi kehidupan, atau pedoman bagi kehidupan masyarakat, yaitu merupakan perangkat-perangkat acuan yang berlaku untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan para warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Maka dapat disimpulkan, bahwa kebudayaan itu merupakan sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku, bahasa, peralatan hidup,, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Hubungan kebudayaan dan agama, dalam konteks ini agama dipandang sebagai realitas dan fakta sosial sekaligus juga sebagai sumber nilai dalam tindakan-tindakan sosial maupun budaya. Menurut Talcott Parsons menyatakan bahwa “agama merupakan suatu komitmen terhadap perilaku; agama tidak hanya kepercayaan, tetapi perilaku atau amaliah”. Sebagai realitas sosial, tentu saja ia hidup dan termanifestasikan di dalam masyarakat.

B.       Pengaruh Agama terhadap Sistem Budaya
Hubungan yang erat antara agama dengan masyarakat dan budayanya tidak berarti bahwa agama harus menyesuaikan diri dengan segala yang ada dalam masyarakat begitu saja. Malahan sebaliknya, agama diharapkan untuk memberi pengarahan dan bantuan untuk memainkan peranan kritis-kreatif terhadap masyarakat yang dalam banyak hal memang tidak beres. Antara agama dan masyarakat seharusnya terdapat hubungan timbal balik (dialektis). Oleh karena itu, betapa pentingnya bagi setiap agama dan terutama para pemeluknya memiliki pengertian, kepekaan, kesadaran, dan pengetahuan tentang keadaan masyarakat. Inilah yang diperlukan oleh umat beragama, khususnya para pemuka agama dalam kehidupan sosial keagamaannya. Dalam kehidupan masyarakat, agama mempunyai peranan penting karena ia mengandung beberapa faktor, yaitu:
1.    faktor kreatif, yaitu faktor yang mendorong dan merangsang manusia baik untuk melakukan kerja produktif maupun karya kreatif yang menciptakan.
2.    faktor inovatif, yaitu faktor yang mendorong, melandasi cita-cita dan amalan perbuatan manusia dalam seluruh aspek kehidupan.
3.    faktor sublimatif, yaitu meningkatkan dan menguduskan gejala kegiatan manusia bukan hanya dalam hal-hal yang bersilat keagamaan saja, tapi juga yang bersilat keduniaan.
4.    faktor integratif, yaitu mempersatukan pandangan dan sikap manusia serta memadukan berbagai kegiatannya, baik sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam berbagai penghayatan agama guna menghindarkan diri dari ketidakserasian dan perpecahan yang pada gilirannya nanti mampu menghadapi berbagai macam tantangan hidup.

MANUSIA RELIGIUS
A.  Yang Sakral dan Yang Profan (The Sacred and The Profane)
Yang sakral atau yang kudus (sacred) adalah sesuatu yang terlindung dari pelanggaran, pengacauan atau pencemaran. Yang kudus merupakan sesuatu yang dihormati, dimuliakan dan tidak dapat dinodai. Pengertian yang kudus tidak hanya terbatas pada agama, tetapi juga pada banyak objek, baik yang bersifat keagamaan maupun bukan, seperti tindakan-tindakan, tempat-tempat, kebiasaan-kebiasaan dan gagasan-gagasan. Dalam pengertian yang lebih sempit, yang kudus adalah sesuatu yang dilindungi, khususnya oleh agama, terhadap pelanggaran, pengacauan atau pencemaran. Yang kudus adalah sesuatu yang suci, keramat.
Kebalikan dari yang kudus adalah yang profane. Profan adalah sesuatu yang biasa, umum, tidak dikuduskan dan bersifat sementara. Pendek kata, yang ada di luar religius. Dalam pandangan Dhavamony, istilah profane dalam pengertian itu, tidak dimaksudkan dalam arti apa yang tidak suci, tidak sopan, yang menghina atau cemar. Dalam memahami yang kudus dan profane ini, Eliade lebih menekankan pada manusia beragamanya (homo-religius), sebab manusia religius mempunyai sikap tertentu terhadap kehidupan ini, terhadap dunia, terhadap manusia sendiri dan terhadap apa myang dianggapnya kudus. Yang kudus merupakan pusat kehidupan dan pengalaman religius. Kehidupan religius adalah pengalaman kratofani, hierofani dan teofani yang mempengaruhi seluruh kehidupan manusia. Rudolt Otto menyatakan bahwa unsur pokok dalam pengalaman religius adalah perasaan numinous (dari latin, numen; Inggris, god) yang nonrasional terhadap obyek (mysterium tremendum). Maka, yang kudus (the sacred-das heilige) merupakan unsur khas yang menciptakan pengalaman religius dalam semua gagasan dan perasaannya yang berbeda-beda dan selalu menampakkan dirinya sebagai suatu realitas alamiah. Obyek numinus (mysterium tremendum) menimbulkan rasa kagum atau takut, kuasa atau kekuatan dan urgensi atau energi. Obyek ini tidak hanya membuat kagum dan takut, tetapi juga tertarik dan terpikat. Dalam agama-agama yang berkembang sekarang, secara hierofani, konsep yang kudus bisa ditemukan. Misalnya, bagi orang Hindu, yang kudus ada dalam Veda (pengetahuan suci), Brahman (formula suci, realitas suci), Dharma (hukum suci, kewajiban suci), dan Moksha (pembebasan sebagai sarana dan tujuan pembebasan).

B.  Upacara Keagamaan (Ritus)
Ritus adalah alat manusia religius untuk melakukan perubahan. Juga bisa dikatakan sebagai tindakan simbolis agama atau ritual itu merupakan agama dalam tindakan. Susanne Langer menunjukkan bahwa ritual merupakan ungkapan yang bersifat logis daripada hanya bersifat psikologis. Ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobyekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan perasaan serta membentuk disposisi pribadi dari pada pemuja yang mengikuti modelnya masing-masing, Menurutnya, ritual dapat dibedakan dalam empat macam:
a.    tindakan magi, yang dikait dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis;
b.    tindakan religius, kultus para leluhur, juga bekerja dengan cara yang pertama;
c.    ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas; dan
d.   ritual faktitif, yang meningkatkan produktifitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok.
Masa Transisi Ritual, masa ritus ini khususnya dilakukan pada waktu-waktu krisis, baik ketika ingin memenuhi kebutuhan hidup, fisik maupun spiritual. Kondisi seperti ini melibatkan supranatural, baik dilakukan secara individu maupun kelompok. Bentuk-bentuk upacara ritual pada masa-masa krisis ini antara lain masa kelahiran, anak remaja, perkawinan, kematian, saat menanam dan memanen dan pertukaran tahun.
Bentuk-bentuk ritus, Van Gennep menyatakan bahwa semua ritus dan upacara itu dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu:
a.    ritus perpisahan (separation); manusia melepaskan kedudukannya yang semula. Acaranya ditandai dengan tindakan-tindakan yang melambangkan perpisahan;
b.    ritus peralihan (marge); manusia dianggap mati atau tak ada lagi, dan dalam keadaan seperti tak tergolong dalam lingkungan sosial manapun. Mereka dipersiapkan untuk menjadi manusia baru dalam lingkungan sosialnya yang baru pula. Misalnya, diberikan pelajaran mengenai adat istiadat keramat nenek moyangnya, diperlihatkan benda-benda suci pusaka nenek moyangnya, diceritakan cerita-cerita mitologi suci, dipelajari sopan santun, dan sebagainya;
c.    ritus integrasi kembali (aggregation); upacara peresmian menuju tahap kehidupan dan lingkungan sosial yang baru, sebagaimana dilakukan pada upacara-upacara inisiasi lainnya, di mana individu yang bersangkutan secara perlambang seakan-akan dilahirkan kembali, dan mengukuhkan integrasinya ke dalam lingkungan sosialnya yang baru.
Dalam setiap ritus penerimaan, dijalani melalui tiga tahap, yaitu perpisahan, peralihan, dan penggabungan. Pada tahap perpisahan, individu dipisahkan dari suatu tempat atau kelompok atau status; dalam tahap peralihan, ia disucikan dan menjadi subyek bagi prosedur-prosedur perubahan; sedangkan pada masa penggabungan ia secara resmi ditempatkan pada suatu tempat, kelompok, atau status yang baru.
Tujuan ritus, bagi kebanyakan suku-suku primitive, upacara atau ritus keagamaan dilakukan untuk mempertahankan  kontak dengan roh-roh yang berkuasa dan membuat mereka mempunyai perhatian yang menguntungkan dengan mengaruniakan makanan dan kesehatan. Hubungan ini perlu dipertahankan dalam arti tertentu sebagaimana hubungan dengan manusia yang berkuasa, yaitu mempersembahkan hadiah-hadiah dan bersikap merendah. Namun, penguasa itu harus diperlakukan secara lebih hormat dan bahkan lebih formal.

C.  Simbolisme Agama
Kegiatan manusia pada umumnya melibatkan simbolisme, karena itu manusia bukan hanya merupakan animal rationale, tetapi juga disebut homo simbolicus. Ungkapan-ungkapan simbolis digunakan untuk menunjuk pada suatu yang transenden, yang transmanusiawi, yang transhistoris, dan metaempiris. Fungsi simbol-simbol yang dipakai dalam upacara adalah sebagai alat komunikasi dan menyuarakan pesan-pesan ajaran agama dan kebudayaan yang dimilikinya, khususnya yang berkaitkan dengan etos dan pandangan hidup, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh adanya upacara tersebut. Simbol merupakan gambaran yang sakral sekaligus juga sebagai mediator manusia untuk berhubungan dengan yang sakral, sebab manusia tidak bisa mendekati yang sakral secara langsung, karena yang sakral itu adalah transenden sedangkan manusia adalah makhluk temporal yang terikat di dalam dunianya. Maka manusia bisa mengenal yang sakral, sejauh bisa kenal, melalui simbol.

BEBERAPA TEORI TENTANG ASAL-USUL DAN BENTUK KEPERCAYAAN (RELIGI)
A.  Teori-teori tentang Asal-Usul Kepercayaan
Adapun teori-teori antropologi yang mengkaji asal-usul dari bentuk kepercayaan itu, antara lain: 
1.        Teori Animisme dan Kritikannya
Edward Burnett Tylor (1832-1917), seorang antropolog yang pertama mengajukan teori animisme dalam bukunya primitive culture. Pada dasarnya, teori ini berangkat dari pendapat bahwa manusia pertama mengamati dirinya dan dunia disekitarnya dan mengambil konklusi mengenai adanya jiwa atau anima. Menurutnya, penemuan ini melalui dua jalur pemikiran: mimpi dan kematian. Manusia awal atau premitif itu memperoleh pangalaman bahwa dalam mimpi ia bisa melakukan hal-hal yang mustahil: bisa pergi ke tempat-tempat lain, menemui orang lain, melihat hal-hal yang jauh-jauh, sedangkan menurut kenyataannya, dia hanya berada dalam keadaan istirahat dan tidur. Suasana mimpi ini dijelaskannya melalui suatu jiwa yang tidak secara obsolut identik dengan dirinya. Dengan cara yang hampir sama, dia bisa menjelaskan, bagaimana konsep jiwa bisa lahir dari renungan terhadap kematian.
2.        Teori tentang Dewa Tertinggi
Andrew Lang ((1844-1912), yang memiliki teori ini adalah seorang sastrawan inggris yang banyak menulis sajak dan esai untuk majalah. Sekalipun bukan seorang antropolog, namun ia banyak menulis buku tentang kebudayaan dan dianggap merupakan bacaan penting bagi para ahli antropologi. Diantara buku-bukunya itu, ada sebuah buku yang memuat teori asal-usul dan bentuk kepercayaan agama kuno, yakni the making of religion (1898). Buku ini terdiri dari dua bagian, yang pertama berkenaan dengan gejala para psikologi, dan yang kedua mengenai suatu keyakinan yang ada pada banyak suku bangsa primitif yang dikenal dengan dewa tertinggi (supreme Being). Dia menemukan berbagai mitos dari suku-suku dan daerah-daerah di muka bumi ini. Dalam mitos tersebut ditemukan adanya tokoh dewa yang dipandang sebagai tertinggi, pencipta seluruh alam semesta beserta isinya. Sepandangan dengan Lang, Pettazzoni menyatakan bahwa supreme being bersumberkan mitos dan bukan hasil pemikiran logico causal sebagaimana pandangan Schmidt. Juga paham dewa tertinggi tidak timbul atas dasar keutuhan intelektualitas, tetapi berasal dari kebutuhan eksistensial manusia. Dengan demikian, Lang berkesimpulan bahwa kepercayaan kepada dewa tertinggi dalam religi suku-suku bangsa tersebut sudah sangat tua, dan kemungkinan merupakan bentuk religi manusia yang tertua, kemudian terdepak ke belakang oleh keyakinan kepada makhluk-makhluk halus lain seperti dewa-dewa alam, roh nenek moyang, hantu, dn lain-lain.


3.        Teori tentang Animatisme (Pra-Animisme)
Animatisme dapat dipahami dalam dua cara, sebagai kepercayaan dan sebagai teori untuk menjelaskan asal-usul historis dari agama dalam kontek pemikiran evolusionis. R.R. Marett dalam bukunya The Threshold of Religion, berpendapat bahwa animatisme mendahului animisme sebab bentuknya lebih sederhana dibandingkan animisme. Ia melawan anggapan Tylor bahwa konsep-konsep animistis bukanlah unsur yang paling sederhana dalam agama-agama primitif. Menurut teori ini, semula manusia primitif telah berpikir mengenai suatu daya pembaharu yang tersebar ke mana-mana di dunia sebelum dia mempribadikannya dalam makhluk-makhluk rohani secara terpisah.
Mana, yang merupakan istilah Oceania, kemudian dipergunakan Marett untuk mengembangkan suatu teori tentang apa yang dianggapnya sebagai bentuk religi yang tertua. Bentuk religi yang paling tua yang diuraikan Marett di atas disebutnya Praeanimisme, suatu bentuk religi yang paling tua dibandingkan dengan penyembahan terhadap roh atau makhluk halus sebagaimana dikemukakan dalam teori Tylor, animisme.
4.        Teori Totemisme
Istilah totemisme berasal dari kata Ojibwa (suku Algonkin di amerika utara), ditulis secara beragam totem, tatam, dodaim. Totemisme merupakan fenomena yang menunjuk kepada hubungan organisasional khusus antara suatu suku bangsa atau klan dan suatu proses tertentu dalam wilayah binatang atau tumbuhan. Hubungan ini diungkapan sebagaian dalam upacara-upacara khusus dan sebagian lagi dalam aturan-aturan khusus perkawinan di luar suku. Totem merupakan simbol kelompok dan menganggapnya sebagai pelindung kelompok secara keseluruhan.
5.        Teori Urmonoteisme (Firman Tuhan)
Pada dasarnya teori yang dikembangkan Schmidt merupakan kelanjutan dari teori Lang. Wilhelm Schmidt (1868-1954) merupakan seorang antropolog sekaligus juga seorang pendeta Katolik bangsa Austria. Karena kependetaan inilah, teori yang dikembangkannya sangat dipengaruhi oleh keyakinan agamanya. Olek karena itu, teori Lang tentang adanya keyakinan terhadap dewa tertinggi dalam sistem religi suku-suku bangsa primitif, sangat cocok dengan pandangan dasarnya sebagai pendeta agama Katolik. Ia mengembangkan suatu teori bahwa religi itu berasal dari Titah Tuhan yang diturunkan kepada makhluk manusia waktu ia mula-mula muncul di muka bumi. Adanya keyakinan kepada dewa pencipta yang justru ada pada bangsa-bangsa primitif (Schmidt menyebut bangsa yang paling tua) memperkuat anggapannya tentang adanya Titah Tuhan asli, atau Uroffenbarung, Urmonotheismus. Keyakinan kepada Tuhan yang asli dan bersih (Urmotheismus) ini malah ada pada bangsa-bangsa tua, yang hidup pada zaman ketika tingkat kebudayaan manusia masih rendah. Ketika kebudayaan manusia bertambah maju, kayakinan asli terhadap Tuhan menjadi kabur, kebutuhan manusia semakin banyak, maka keyakinan asli itu menjadi makin terdesak oleh pemujaan kepada makhluk-makhluk halus, roh-roh, dewa-dewa, dan sebagainya.
6.        Teori Animisme dan Dinamisme
Kruyt (1869-1949) adalah seorang pendeta bangsa belanda yang bertugas sebagai penyiar agama Nasrani bagi penduduk yang berada di pegunungan, yaitu orang Toraja di Sulawesi Tengah. Ia banyak menulis etnografi tentang suku-suku bangsa di Sulawesi Tengah itu. Salah satu berjudul Het Animisme in den Indischen Archipel (1906). Ia juga mengembangkan teori kekuatan gaib pada masyarakat purba yang serupa dengan mana dan kekuatan supernatural sebagai mana dikemukakan oleh Codrington dan Marett.
Menurut keyakinan manusia kuno itu, bagian tubuh manusia yang mengandung lebih banyak zielestof adalah kepala, rambut, kuku, jeroan, pusar, gigi, ludah, keringat, air mata, air seni, dan kotoran manusia. Untuk menambah zielestofnya, manusia harus meminum atau memakan zat-zat tertentu, seperti minum darah. Sedangkan binatang yang mengandung lebih banyak zielestof adalah kunang-kunang, jangkrik, kupu-kupu, burung, tikus, ular, dan jenis-jenis binatang yang besar seperti harimau. Tumbuh-tumbuhan seperti padi, nyiur, pohon aren, kamper, dan karet mengandung lebih banyak zielestof daripada tumbuhan lainnya. Demikian juga diantara benda-benda yang mengandung zielestof adalah benda-benda yang terbuat dari besi, batu, periuk, belangga, serta benda-benda pusaka.
Keyakinan pada zielestof tersebut di atas, oleh Kruyt disebut anemisme. Karena, zielestof itu ada dalam diri manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan, sehingga timbul keyakinan bahwa zielestof itu dapat beralih dari satu medium ke medium lain, misalnya dari manusia ke binatang, atau sebaliknya. Dengan adanya keyakinan tentang perpindahan jiwa atau inkarnasi, maka hal demikian merupakan bagian dari sistem animisme. Di samping itu, manusia purba sendiri membagi makhluk halus kepada dua golongan, yakni makhluk halus yang jahat dan baik. Atas dasar pembagian ini, maka manusia purba menggambarkan wujud makhluk halus itu dengan gambaran yang menakutkan, juga dengan yang menarik hati. Sistem keyakinan terhadap makhluk halus ini, oleh Kruyt disebut spiritisme. Kruyt pun menghubungkan teori animisme dan spiritisme dengan mengembangkan sebuah pemikiran yang mengikuti cara-cara berpikir evolusionisme.
7.        Teori tentang Yang Gaib atau Keramat
Rudolf Otto (1869-1937) adalah orang yang memiliki konsep tentang sikap takut-terpesona terhadap hal yang gaib, yang diuraikan dalam buku Das Heilige atau Hal Yang Keramat (1917). Menurutnya, semua sistem religi, kepercayaan dan agama berpusat kepada suatu konsep tentang hal yang gaib (mysterium) yang dianggap maha dahsyat (tremendum) dan keramat (sacre) oleh manusia. Yang gaib dan keramat (sacre) itu adalah maha-abadi, maha dahsyat, maha-baik, maha-adil, maha-bijaksana, tak terlihat, dan sebagainya. Sifat-sifat yang melekat pada yang gaib dan keramat itu tidak bisa dijangkau oleh akal pikiran manusia. Sekalipun demikian, karena yang keramat dan gaib itu menimbulkan rasa takut-terpesona, menimbulkan hasrat universal untuk menghayati dan bersatu denganNya.
8.        Teori yang Didasarkan pada Upacara Religi
Robertson Smith (1846-1894) adalah seorang teolog, ahli ilmu pasti, ahli bahasa dan kesusastraan semit. Teori yang dikemukakan Robertson adalah Upacara Bersaji. Teori ini tidak didasarkan pada sistem keyakinan atau doktirn religi, tetapi berpangkal pada upacaranya. Teorinya terungkap dalam buku Lectures on Religion of the Semites (1889). Ada tiga gagasan mengenai asas-asas agama yang dikemukakan Robertson, yakni:
a.    bahwa disamping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara merupakan suatu perwujudan dari agama yang memerlukan studi atau analisa yang khusus.
b.    bahwa upacara religi atau agama mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat.
c.    bahwa fungsi upacara bersaji di mana manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang, terutama darahnya kepada dewa dan sebagian lagi untuk dimakannya sendiri merupakan suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas terhadap dewa.
9.        Teori Magic (Kekuatan Gaib)
Teori ini dimunculkan oleh J.G Frazer (1854-1941), seorang antropolog asal Inggris dalam bukunya The Golden Bough, a Study in Magic and Religion. Magic menurutnya, adalah suatu penerapan yang salah dari kaidah sebab akibat yang berlaku dan dianut oleh ilmu pengetahuan manusia pada umumnya. Magic dipandang sebagai manipulasi dari suatu kekuatan misterius. Persoalan-persoalan hidup yang tidak dapat dipecahkan dengan akal, dipecahkan dengan ilmu gaib (magic). Ilmu gaib tiada lain adalah segala perbuatan manusia untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan-kekuatan yang ada di alam semesta ini dan diyakini penuh dengan makhluk-makhluk halus, maka manusia berusaha mencari hubungan dengan makhluk halus tersebut. Yang paling penting dalam teori ini adalah, bahwa dari kepercayaan terhadap kekuatan gaib inilah awal timbulnya agama.
10.    Teori  tentang Upacara Inisiasi (Kematian)
R. Hertz adalah seorang antropolog Prancis. Hertz berpandangan bahwasebagain besar dari tingkah laku manusia dalam masyarakat sangat banyak dipengaruhi dan ditentukan oleh gagasan orang banyak, atau gagasan kolektif yang hidup dalam masyarakat itu. Begitu pula gagasannya tentang upacara kematian, selalu dilakukan manusia dalam rangka adat istiadat dan struktur sosial dari masyarakatnya yang berwujud sebagai gagasan kolektif. Oleh karena itu, analisa terhadap upacara kematian harus terlepas dari perasaan pribadi para pelaku upacara terhadap orang yang meninggal, tetapi harus dipandang dari sudut gagasan kolektif tadi. Dalam konteks ini, mati bisa dianggap sebagai suatu proses peralihan dari suatu kedudukan sosial yang tertentu ke kedudukan sosial yang lain. Dalam peristiwa mati, peralihan manusia terjadi dari suatu kedudukan sosial di dunia ke suatu kedudukan sosial di dunia makhluk halus. Dengan demikian, upacara kematian tiada lain adalah upacara inisiasi.

B.  Kritik terhadap Teori Evolusionisme
Salah satu pembicaraan tentang agama yang diselidiki dengan metode evolusionisme adalah asal-usul agama dan pokok metode ini adalah teori evolusi. Mendengar istilah evolusionisme, pada umumnya akan dihubungkan dengan nama Darwin sang pencipta teori ini yang terkenal dengan bukunya The Origin of Species by Means of Natural Selection. Khususnya mengenai teori evolusionisme ini, Mukti Ali, memberikan penolakannya, bahwa agama yang benar adalah monoteisme. Kepercayaan tentang monoteisme ini tidak melalui evolusi tetapi revelasi (wahyu), sebab:
1.    Kalau kepercayaan tentang Tuhan itu melalui evolusi, maka sesuai dengan tingkat berpikirnya akan membawa kesimpulan, bahwa agama merupakan produk (hasil) pemikiran manusia.
2.    Kalau kepercayaan tentang Tuhan itu, melalui proses evolusi, yang asal kepercayaannya itu percaya terhadap Tuhan yang banyak kemudian berkembang menjadi monoteisme, berarti bahwa yang satu itu lebih sempurna dari yang banyak. Padahal tidak setiap yang banyak adalah lebih sempurna dan lebih baik daripada yang sedikit atau daripada yang satu.
3.    Apabila kepercayaan yang satu berasal dari yang banyak, kenapa proses evolusi yang satu kemudian menjadi berhenti. Mengapa konsep evolusi yang satu ini tidak dilanjutkan menjadi Tuhan tiga-perempat, Tuhan separuh, dan sebagainya.
Penolakan ini kelihatannya bersifat apologis, karena menurut pandangan keagamaaan yang diyakininya. Evolosionisme memandanng agama sebagai produk budaya manusia, sedangkan Mukti Ali melihat agama sebagai revelation (wahyu). Sekalipun demikian, Mukti Ali cukup rasional membantah evolusionisme yang dilihat dari pandangan agama (pada umumnya).  
C.  Pemujaan terhadap Leluhur
Ada dua hal yang mesti dibedakan, yang pada umumnya seringkali dicampuradukkan, yaitu:
Pertama, pemujaan terhadap leluhur merupakan kumpulan sikap, kepercayaan, dan praktik yang berhubungan dengan pendewaan orang-orang  yang sudah meninggal dalam suatu komunitas, khususnya dalam hubungan kekeluargaan. Akan tetapi, ada banyak kasus di mana orang mati tidak diilahikan, melainkan dianggap sebagai makhluk-makhluk berkuasa yang kebutuhannya harus dipenuhi.
Kedua, bentuk pemujaan tersebut mengandaikan bahwa leluhur yang telah meninggal sebenarnya masih hidup dalam wujud yang efektif dan bisa campur tangan dalam kehidupan manusia, oleh karenanya harus ditenangkan, atau bahwa kegiatan manusia sendiri dapat mengembangkan kesejahteraan leluhur yang telah meninggal dalam kehidupan berikutnya. Dengan membedakan penghormatan kepada leluhur dan pemujaan kepada leluhur, dengan anggapan bahwa mereka seolah dewa-dewa, kita membatasi pemakaian istilah pemujaan terhadap leluhur hanya dalam arti yang kedua.

Siwa Rudra Surya



BAB I
PENDAHULUAN


Siwa adalah salah satu dari tiga dewa utama (Trimurti) dalam agama Hindu. Kedua dewa lainnya adalah Brahma dan Wisnu. Dalam ajaran agama Hindu, Dewa Siwa adalah dewa pelebur, bertugas melebur segala sesuatu yang sudah usang dan tidak layak berada di dunia fana lagi sehingga harus dikembalikan kepada asalnya. Dewa Siwa memiliki nama lain yaitu, Jagatpati, Nilakantha, Parameswara, Rudra, dan Trinetra. Oleh umat Hindu Bali, Dewa Siwa dipuja di Pura Dalem, sebagai dewa yang mengembalikan manusia ke unsurnya, menjadi Panca Maha Bhuta. Dalam pengider Dewata Nawa Sangga , Dewa Siwa menempati arah tengah dengan warna panca warna. Ia bersenjata padma dan mengendarai lembu Nandini. Aksara sucinya I dan Ya. Kadangkala Dewa Siwa disebut dengan nama Bhatara Guru. Dewa Siwa juga disebut Siwa Rudra, dalam Rig Weda, Rudra semakin banyak dipuja bahkan diidentikkan dengan Siwa (Siwa Rudra). Selain itu juga, dalam Lontar Siwagama diuraikan bahwa Bhatara Siwa memiliki murid  para dewa, diantaranya ada murid yang paling  pintar dan bisa meniru Siwa, murid ini adalah Bhatara Surya dengan kepintarannya itu Bhatara Surya dianugrahi nama tambahan yaitu Sanghyang Siwa Raditya yang berwenang sebagai wakilNya di dunia.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Siwa Rudra dan Siwa Raditya (Surya)
2.1.1 Siwa Rudra
Rudra adalah dewa yang termasuk gugusan dewa-dewa dalam Kitab Weda, dalam Kitab Reg Weda, nama Rudra sedikit disebut, tetapi dalam berbagai kitab sesudah Reg Weda, Rudra semakin banyak dipuja dan bahkan diidentikkan dengan Siwa (Siwa-Rudra). Dalam Kitab Yajurweda dan Atharwaweda, Rudra digambarkan sebagai laki-laki bertubuh besar, perut warna biru, punggung berwarna merah, kepala biru (Nilagriwa), rambut keriting panjang terurai, seluruh tubuh memancar sinar keemasan. Tangannya memegang busur dan panah yang bercahaya. Karakternya sangat angker, sangat menakutkan dan mengerikan.
Dalam Reg Weda disebut Rudra sebagai pemburu Ilahi, menyusuri jalan sepi, mencari orang yang bisa dimangsanya. Dia Asura Agung dari sorga. Dalam Kitab Atharwa Weda disebutkan Rudra sebagai raja semesta, melepaskan anak panahnya kepada siapa pun yang dikehendaki, dan anak panahnya menyebabkan kematian atau memberi penyakit. Bahkan para dewa pun takut, bahwa Rudra akan menghancurkan mereka, karena tidak ada yang lebih kuat daripadanya.
Uniknya, Rudra memiliki sifat Rwa Bhineda, yaitu menakutkan/ghora dan tenang/santa. Rudra sebagai pembunuh kejam tetapi sekaligus memberi kelembutan yang luar biasa. Rudra membunuh dan menghidupkan, menyakiti dan menyembuhkan. Tak seorangpun dapat lepas dari tangannya. Bukan hanya sebagai perusak besar, tapi  juga penyembuh Ilahi dengan persediaan ribuan macam jampi. Tangannya suka mengelus menyembuhkan dan menyejukkan, serta dapat mengusir penyakit-penyakit yang disebabkan oleh dewa-dewa lainnya.
Dalam Atharwa Weda lebih lanjut disebutkan, Rudra diberi gelar Pasupati sebagai raja kawanan ternak. Dalam wujud inilah para pemuja suka memujinya, sebab mereka menganggap diri mereka sebagai bagian dari kawanan ternak, dan Rudra adalah raja kawanan ternak. Bahkan lebih itu, Rudra adalah rajanya dari kehidupan liar di hutan. Rudra tinggal di gunung dan hutan sebagai pemuja Lingga.
Dalam diri Rudra sendiri pertentangan-pertentangan dipertemukan tapi belum didamaikan. Berbeda dengan Siwa, dalam diri Siwa juga terdapat pertentangan-pertentangan yang dipertemukan untuk diatasi dan diperdamaikan.
Nama Rudra juga terdapat dalam Kitab Buana Kosa. Kitab Buana Kosa menyebutkan Rudra sebagai bagian dari Tri Murti. Pada VII.25, disebutkan, “Utpatti Bhagawan Brahma, sthiti Wisnuh tathe waca, pralina Bhagawan Rudrah, trayastre lokya saranah”. Artinya: Bhatara Brahma sebagai pencipta, Bhatara Wisnu memelihara, Bhatara Rudra melebur. Ketiga dewa itu menjadi pelindung dunia.
Dalam pengider-ider di Bali, Rudra ditempatkan pada arah mata angin di barat daya (neiriti). Dalam hal ini Rudra sebagai manifestasi Siwa, bagian dari Dewata Nawa Sanga, dengan Siwa berada di tengah-tengah (madya). Dalam pengider-ider, Rudra digambarkan bersenjata Moksala, wahananya kerbau, urip 3, warna orange, aksara suci Mang, dengan wuku warigadean, pahang, dan prangbakat.
Rudra dikenal sebagai dewa penyebab kematian, penyebab dan penyembuh penyakit. Rudra juga dikenal sebagai penguasa angin topan, pelebur alam semesta.  Untuk mencegah terjadinya kehancuran akibat kemarahannya, maka Rudra dipuja secara istimewa dengan doa-doa khusus untuk ‘menenangkan’ dan meredakan kemarahannya. Sifat Rudra yang pemarah itu sangat terkait dengan riwayat kelahirannya. Kisah kelahiran Rudra terdapat dalam beberapa Purana dengan beragam cerita. Disebutkan Rudra lahir dari kening Brahma yang sedang marah. Rudra yang lahir ini berbadan setengah laki-laki dan setengah perempuan. Dari tubuh Rudra ini lahirlah sebelas putra Rudra. Badan Rudra yang berjumlah sebelas ini menurut kitab Wisnu Purana merupakan asal mula Eka Dasa Rudra.
 Konsep tentang sebelas Rudra telah dikembangkan di dalam Reg Weda. Kedelapan Wasu dan ketiga Prana bersama-sama membentuk angka sebelas sebagai sebelas Rudra. Penjelasan tentang Rudra dijabarkan di dalam upanishad-upanishad, di mana ke sebelas Rudra adalah simbol-simbol dari sebelas kekuatan-kekuatan prana. Kesebelas Rudras yang mengatur alam semesta (buana agung dan buana alit), diantaranya Kapali, pingala, Bima, Virupaksha, Vilohita, Shasta, Ajapada, Abhirbudhnya, Shambu, Chanda, dan Bhava.
1.        Kapali menunjukkan tulang (dinyatakan dalam istilah feminin) atau                   cangkir /mangkuk yang digunakan untuk menyimpan makanan. Dengan kata lain bisa disebut sebagai kepala perempuan atau penyedia perempuan. Ini menunjukkan kekuatan Rudra tertanam jauh di dalam Amba. 
2.        Pingala menunjukkan api coklat kemerahan. Ini adalah api yang dimulai di Amba bawah pengaruh Purusha 
3.        Bima menunjukkan kekuatan, kuat hebat dan luar biasa. Ini adalah gaya Prana (Angkatan Kuat atau gluon dalam istilah modern) yang terbentuk api di Amba, 
4.        Virupa-aksha menunjukkan multi-lipat, multi-warna mata. Ini adalah Aksi / Caksu kekuatan ( tenaga lapangan) yang berasal dari Amba, 
5.        Vilohita menunjukkan kekuatan merah tua. Merah menunjukkan jarak jauh. Ini adalah Higgs kekuatan-bidang yang memiliki jangkauan panjang dengan intensitas rendah (Higgs lapangan) 
6.        Abhirbudnya menunjukkan sesuatu yang di kedalaman atau jauh di dalam inti. Ini adalah Getaran yang menyebabkan senar terbentuk pada Amba bergetar seperti partikel Core (Baryon), 
7.        Shasta menunjukkan untuk menahan, mengendalikan, perintah atau perintah. Ini adalah getaran yang menyebabkan senar terbentuk pada Amba terlihat seperti partikel tersembunyi, yang merupakan 'Mana' Partikel (meson) 
8.        Ajapada menunjukkan kambing berkaki. Ini adalah getaran yang menyebabkan senar terbentuk pada Amba untuk menjauh dan membentuk partikel Satelit (lepton) dengan Getaran yang berbeda. Ini adalah kekuatan yang membawa dalam Apana (mengusir kekuatan atau Angkatan Lemahnya boson W dan Z) dan memulai proses dari Peluruhan Radio-aktif yang tidak lain adalah kematian. Hal ini disebut sebagai kambing berkaki dengan kekuatan atom bisa dibentuk dengan penta / struktur heksagonal. (Orbit elips beberapa partikel satelit sekitar partikel inti membentuk struktur kaki berbentuk kambing) 
9.        Bhava menunjukkan datang ke keberadaan atau kelahiran. Ini adalah getaran yang menyebabkan ziznam. 
10.    Chanda menunjukkan memikat atau mengundang. Ini adalah getaran yang menyebabkan Reta yang berarti aliran bergerak atau mengalir. 
11.    Shambu menunjukkan mempertemukan atau bertemu atau bergabung. Ini adalah getaran yang menyatukan ziznam, reta dan Apa dan menyediakan platform untuk hidup, 
2.1.1.1  Pura Luhur Uluwatu sebagai Tempat Pemujaan Dewa Siwa Rudra
   Pura Luhur Uluwatu berfungsi sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra dan terletak di barat daya Pulau Bali. Pura Luhur Uluwatu didirikan berdasarkan konsepsi Sad Winayaka dan Padma Bhuwana. Sebagai pura yang didirikan dengan konsepsi Sad Winayaka Pura Luhur Uluwatu sebagai salah satu dari Pura Sad Kahyangan untuk melestarikan Sad Kertih (Atma Kerti, Samudra Kerti, Danu Kerti, Wana Kerti, Jagat Kerti dan Jana Kerti). Sementara sebagai pura yang didirikan berdasarkan konsepsi Padma Bhuwana Pura Luhur Uluwatu didirikan sebagai aspek Tuhan yang menguasai arah barat daya. Pemujaan Dewa Siwa Rudra adalah pemujaan Tuhan dalam memberi energi kepada ciptaannya. Ida Pedanda Punyatmaja Pidada saat masih walaka pernah beberapa kali menjabat ketua Parisada Hindu Dharma Pusat menyatakan bahwa di Pura Luhur Uluwatu memancar energi spiritual tiga dewa. Kekuatan suci ketiga Dewa Tri Murti (Brahma, Wisnu dan Siwa) menyatu di Pura Luhur Uluwatu. Karena itu, umat yang membutuhkan dorongan spiritual untuk menciptakan, memelihara dan meniadakan sesuatu yang patut diadakan, dipelihara dan dihilangkan sering sangat khusyuk memuja Dewa Siwa Rudra di Pura Luhur Uluwatu. Salah satu ciri hidup yang ideal menurut pandangan Hindu adalah menciptakan segala sesuatu yang patut diciptakan. Memelihara sesuatu yang patut dipelihara dan menghilangkan sesuatu yang sepatutnya dihilangkan. Menciptakan, memelihara dan menghilangkan sesuatu yang patut itu tidaklah mudah. Berbagai hambatan akan selalu menghadang.

2.1.2 Siwa Raditya (Surya)
Menurut kepercayaan umat Hindu Surya adalah Dewa Matahari. Surya juga diadaptasi ke dalam dunia pewayangan sebagai dewa yang menguasai atau mengatur surya atau matahari, dan diberi gelar "Bhatara". Menurut kepercayaan Hindu, Surya mengendarai kereta yang ditarik oleh 7 kuda. Ia memeiliki kusir bernama Aruna, saudara Garuda, putra Dewi Winata.
Surya memiliki tiga ratu; Saranyu (juga disebut Saraniya, Saranya, Sanjna, atau Sangya), Ragyi, dan Prabha. Saranyu adalah ibu dari Waiwaswata Manu (Manu ketujuh), dan si kembar Yama (dewa kematian) dan adiknya Yami. Dia juga melahirkan si kembar dikenal sebagai Aswin. Dewi Saranyu, karena tidak sanggup menyaksikan cahaya terang dari Surya, menciptakan tiruan dirinya yang bernama Chhayadan memerintahkan dia untuk bertindak sebagai istri Surya selama dia tidak ada. Chhaya memiliki dua putra dari Surya, Sawarni Manu (Manu kedelapan) dan Sani (dewa planet Saturnus), dan dua anak perempuan Tapti dan Vishti. Dewa Surya juga memiliki seorang putra, Rewanta, atau Raiwata, dari Dewi Ragyi.
Menariknya, dua putra Surya, Sani dan Yama bertanggung jawab untuk mengadili kehidupan manusia. Sani memberi hasil dari perbuatan seseorang melalui kehidupan seseorang melalui hukuman dan penghargaan yang sesuai, sementara Yama memberi hasil dari perbuatan seseorang setelah kematian. Dalam Ramayana, Surya disebutkan sebagai ayah dari Raja Sugriwa, yang membantu Rama dan Laksmana dalam mengalahkan raja Rahwana. Ia juga melatih Hanoman sebagai gurunya.
Dalam Mahabharata, Kunti menerima sebuah mantra dari seorang bijak, Durwasa; jika diucapkan, ia akan dapat memanggil setiap dewa dan melahirkan anak oleh dia. Percaya dengan kekuatan mantra ini, tanpa disadari Kunti telah memanggil Surya, tetapi ketika Surya muncul, ia akan takut dan permintaan dia untuk kembali. Namun, Surya memiliki kewajiban untuk memenuhi mantra sebelum kembali. Surya secara ajaib membuat Dewi Kunti untuk melahirkan anak, sementara mempertahankan keperawanannya sehingga ia, sebagai putri yang belum menikah, tidak perlu menghadapi rasa malu apapun atau menjadi sasaran pertanyaan dari masyarakat. Kunti merasa dipaksa untuk meninggalkan anak, Karna, yang tumbuh menjadi salah satu karakter sentral dalam perperangan besar dari Kurukshetra.

2.1.2.1 Siwa Raditya ( Surya) Hubungan dengan Stana-Stana Padmasana
Padmasana adalah sebuah tempat untuk bersembahyang dan menaruh sajian bagi umat Hindu. Simbol dari Padmasana menggambarkan tingkatan alam yaitu Tri Loka (bhur, bwah dan swah). Hal ini terlihat dari Bhedawang Nala dengan dua naga (Anantabhoga dan Basuki) melambangkan alam bawah (bhur loka), badannya (padma termasuk singhasana) melambangkan atmosfer bumi (bwah loka). Sedangkan swah loka tidak dilukiskan dalam wujud bangunan tetapi di dalam pesimpen pedagingan yang berwujud padma dan di dalam puja yang dilukiskan dengan “Om Padmasana ya namah dan Om Dewa Pratistha ya namah.”Padma dalam Bahasa Bali artinya bunga teratai, dan Sana artinya duduk. Dewa Siwa digambarkan sebagai Dewa yang duduk di atas bunga teratai.
Bunga teratai yang berhelai delapan tepat pula sebagai simbol delapan kemahakuasaan Sanghyang Widhi yang disebut Asta Aiswarya. Asta Aiswarya ini juga menguasai delapan penjuru mata angin. Keistimewaan bunga padma adalah: puncak atau mahkotanya bulat, daun bunganya delapan, tangkainya lurus, dan tumbuh hidup di tiga lapisan: lumpur, air, dan udara. Hal-hal ini memenuhi simbol unsur-unsur filsafat Ketuhanan atau Widhi Tattwa, yakni keyakinan, kejujuran, kesucian, keharuman, dan ketulusan. Dengan demikian Padmasana adalah simbol yang menggambarkan kedudukan Hyang Widhi sebagai bunga teratai, atau dapat juga dikatakan bahwa Padmasana sebagai tuntunan batin atau pusat konsentrasi. Bunga teratai dipilih sebagai simbol yang tepat menggambarkan kesucian dan keagungan Hyang Widhi.
Adapun stana-stana di Padmasana antara lain:
Stana Sanghyang Siwa Raditya.
 Dalam lontar Siwagama diuraikan bahwa Bhatara Siwa mempunyai murid-murid terdiri dari para dewa. Diantaranya ada murid yang paling pintar dan bisa meniru Siwa, murid ini adalah Bhatara Surya; oleh karena itu Bhatara Surya dianugrahi nama tambahan: Sanghyang Siwa Raditya dan berwenang sebagai wakil-Nya di dunia.
Stana Bhatara Guru.
Sebagai rasa hormat dan terima kasih Bhatara Surya atas anugerah yang diberikan, maka Siwa dipuja sebagai guru, dan selanjutnya Siwa dikenal juga sebagai Bhatara Guru.
Stana Bhatara Surya.
Bhatara Siwa acintya. Bila manusia ingin mengetahui kemahakuasaan Bhatara Siwa, lihatlah matahari karena mataharilah sebagai salah satu contoh asta aiswarya-Nya, karena kehidupan di dunia bersumber dari kekuatan energi matahari.
Stana Sanghyang Tri Purusa.
Dalam Wrhaspati Tattwa, Sanghyang Widhi dinyatakan sebagai Tri Purusa, yaitu: Parama-Siwa, Sadha-Siwa, dan Siwa. Parama-Siwa, adalah Sanghyang Widhi dalam keadaan niskala, tidak beraktivitas, tidak berawal, tidak berakhir, tenang, kekal abadi, dan memenuhi seluruh alam semesta.
Sadha-Siwa, adalah Sanghyang Widhi yang beraktivitas sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur. Siwa adalah Sanghyang Widhi yang utaprota sehingga nampak berwujud sebagai mahluk hidup.
Fungsi utama Padmasana adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Di situlah Tuhan dipuja dalam fungsinya sebagai jiwa alam semesta (makrokosmos) dengan segala aspek kemahakuasaanya. Padmasana adalah niyasa atau simbol stana Hyang Widhi dengan berbagai sebutannya; Sanghyang Siwa Raditya (dalam manifestasi yang terlihat/dirasakan manusia sebagai matahari atau surya) dan Sanghyang Tri Purusa (dalam tiga manifestasi yang manunggal yaitu sebagai Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa). Di Pura Besakih ada Padmasana berjejer tiga, di situ di stanakan Parama Siwa (tengah), Sadasiwa (kanan) dan Sang Hyang Siwa (kiri).
Memperhatikan makna niyasa tersebut, jelaslah bahwa makna Padmasana adalah niyasa yang digunakan Hindu dari sekte Siwa Sidhanta karena sentral manifestasi Hyang Widhi yang menjadi pujaan utama adalah sebagai Siwa. Danghyang Nirartha yang mengembangkan bentuk niyasa Padmasana adalah pandita dari kelompok Hindu sekte Siwa Sidhanta. Sedangkan Padmasari dan Padmacapah dapat ditempatkan menyendiri yang berfungsi sebagai pengayatan atau penyawangan.



BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Rudra sebagai manifestasi Siwa, bagian dari Dewata Nawa Sanga, dengan Siwa berada di tengah-tengah. Dalam pengider-ider, Rudra digambarkan bersenjata Moksala, wahananya kerbau, urip 3, warna orange, aksara suci Mang. Rudra dikenal sebagai dewa penyebab kematian, penyebab dan penyembuh penyakit. Rudra dipuja secara istimewa dengan doa-doa khusus untuk ‘menenangkan’ dan meredakan kemarahannya. Dari tubuh Rudra ini lahirlah sebelas putra Rudra. Badan Rudra yang berjumlah sebelas ini menurut kitab Wisnu Purana merupakan asal mula Eka Dasa Rudra. Kesebelas Rudras yang mengatur alam semesta (buana agung dan buana alit), diantaranya Kapali, pingala, Bima, Virupaksha, Vilohita, Shasta, Ajapada, Abhirbudhnya, Shambu, Chanda, dan Bhava. Umat Hindu di Bali, Pura Luhur Uluwatu berfungsi sebagai tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra dan terletak di barat daya Pulau Bali. Pemujaan Dewa Siwa Rudra adalah pemujaan Tuhan dalam memberi energi kepada ciptaannya.
Dewa Siwa memberikan anugerah kepada Dewa Surya dengan nama Sanghyang Siwa Raditya, karena beliau adalah murid dari Dewa Siwa yang pintar dari para dewa lainnya. Dewa Surya diberi tugas sebagai wakil dari Dewa Siwa untuk menyaksikan atau  sebagai saksi dalam setiap upacara-upacara yang dilaksanakan oleh umat manusia di dunia. Dalam Padmasana, stana-stana di Padmasana antara lain; Stana Sanghyang Siwa Raditya (atas anugerah dari Dewa Siwa kepada Dewa Surya), Stana Bhatara Guru (rasa hormat Dewa Surya kepada Dewa Siwa atas anugerah yang telah diberikan), Stana Bhatara Surya (untuk melihat kemahakuasaan Dewa Siwa maka lihatlah matahari) dan Stana Sanghyang Tri Purusa (Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa).