Rabu, 19 November 2014

Brahman



BRAHMAN
 Brahmanah Parimarah yang artinya kematian yang mengelilingi kekuasaan suci. Profesor Keith menerjemahkan kata brahman sebagai kekuasaan suci, sebagai kata benda brah-man, brah-adalah suku kata, sedangkan –man adalah akhiran (bentuk –manah dalam teks tersebut adalah genitif), sedangkan  Parimarah berasal dari kata mar, “mati”, yang berkaitan dengan “makhluk hidup”, dan prefik pari yang berkaitan dengan kata yunani yang berarti “sekeliling” dan mendapat akhiran –ah yang ditambahkan pada kata dasarnya, menjadikan bentuk ini sebagai sebuah kata benda, jadi Parimarah berarti “kematian sekeliling”.
Brahman sebagai mantra atau guna-guna magis dan suci adalah bentuk energi suci tertinggi yang mengkristal dan beku (bentuk yang baik sekali dan berguna). Energi ini bersifat laten dan abadi di dalam diri manusia, energi ini tertidur tetapi bisa dibangkitkan menjadi kreatif melalui konsentrasi. Brahman sebagai kekuasaan tertinggi, terdalam, puncak dan transendental yang berada dalam diri kita yang terlihat dan nyata, mentransendentalkan apa yang disebut tubuh kasar (sthula sarira) dan juga bentuk serta pengalaman batiniah konsep, ide, pemikiran, emosi, visi, fantasi dan lain sebagainya dari tubuh tubuh halus (suksma sarira). Sebagai kekuasaan yang mengubah dan menghidupkan segala sesuatu di dalam mikrokosmos serta di dunia luar, Brahman adalah penghuni suci gulungan yang hidup dan identik dengan diri (atman) atau jiwa. Brahman kekuasaan kosmis dalam pengertian yang tertinggi adalah esensi dari seluruh manusia dan semua yang kita ketahui. Semua benda ini telah dibangkitkan secara mengagumkan keluar dari omnipotensi yang mentransendensikan segala sesuatu dan bersifat selalu hadir. Semua benda ini mewujud tetapi yang berhak menyandang namanya hanya kearifan suci pendeta yang cakap dan ahli, karena dia satu-satunya kehidupan di alam semesta yang mengabdi menbuat dirinya sadar dan secara sadar mengejawantahkannya ke dalam perilaku, sesuatu yang sangat tersembunyi.
Brhaspati, Brahmanaspati  adalah pemilik pengetahuan dan pencipta bentuk setiap jenis dan alat kearifan suci: mantra, himne dan upacara, serta penafsiran dan penjelasan. Di dalam dirinya (Brhaspati, Brahmanaspati), air yang menggelembung dari sumber yang tersembunyi ini (yakni kekuasaan suci di dalam diri kita semua) mengalir bebas, melimpah dan tak kunjung padam. Menepuk dan hidup dengan air ini, yang dilatari dengan kekuatannya yang tiada pernah habis, adalah alfa dan omega peran kependetaannya, dan dia dapat menjaga diri dalam peran tersebut dengan teknik yoga yang selalu mengarahkan, membimbing dan merupakan salah satu disiplin besar filsafat india.  
  

Kepemimpinan Gajah Mada



2.1 Etika Kepemimpinan Gajah Mada
Untuk tercapainya suatu tujuan, terlebih dahulu ditetapkan kriteria bagi seorang pemimpin. Menurut Gajah Mada, seorang pemimpin harus memenuhi kriteria kepemimpinan itu (Tandes, 2007:14-16). Kriteria ini ternyata sama dengan teori Hindu Kuno yang ditulis oleh Chandra Prakash Bhambari dalam bukunya berjudul “Substance of Hindu Polity”. Kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin adalah:
a.    Abhikamika : simpatik, berorientasi ke bawah, berpribadi luhur dan penuh disiplin.
b.    Prajna : bijaksana, cerdas dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta agama.
c.    Utsaha : proaktif, kreatif dan inovatif.
d.   Atma Sampad : punya integritas tinggi, bermoral luhur dan obyektif.
e.    Sakya Samanta : mampu mengawasi bawahan secara efektif dan efisien.
f.     Aksuda Parisakta : akomodatif, komunikatif, pandai berdiplomasi dan pintar menyerap aspirasi bawahan.
Selanjutnya agar enam kriteria termaksud di atas dapat dipenuhi, maka seorang pemimpin harus diberi kesempatan untuk membangun atau meningkatkan kualitas dirinya, dengan cara menerapkan sifat-sifat positif Pandawa Lima (Purwadi, 2006:206-207), yaitu:
a.    Ngesti Aji atau sifatYudistira : seorang pemimpin harus bijaksana dan mahir dalam segala ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk pengetahuan spiritual dan agama.
b.    Ngesti Giri atau sifat Bima : seorang pemimpin harus mempunyai iman yang kuat, teguh dan tangguh dalam menegakkan kebenanaran serta tabah dan tegar menghadapi segala rintangan.
c.    Ngesti Jaya atau sifat Arjuna : seorang pemimpin harus mampu menundukkan musuh-musuhnya, termasuk musuh-musuh dalam dirinya sendiri.
d.   Ngesti Ngangga atau sifat Nakula : seorang pemimpin harus tangguh dan tanggap menghadapi segala situasi dan kondisi serta bisa membawa diri, sehingga tidak terjerumus ke dalam kehancuran.
e.    Ngesti Priyambada atau sifat Sadewa : seorang pemimpin harus mampu memberikan rasa bahagia, tenteram dan damai lahir batin kepada bawahannya.
Demikianlah manakala seorang pemimpin mampu menyerap dan melaksanakan kelima sifat-sifat luhur Pandawa Lima itu, maka dia akan mampu menjadi pemimpin yang tangguh. Di samping kriteria di atas, seorang pemimpin juga harus sanggup memenuhi nilai-nilai etika dan moral yang patut diperhatikan dan dikembangkan dalam diri seorang pemimpin, yaitu:
a.    Sastratama atau norma-norma tentang apa yang disebut baik dan tidak baik.
b.    Bhuwanatama atau kepekaan sosial yaitu nilai kebersamaan, empati dan kepedulian terhadap masalah kemasyarakatan.
c.    Susilatama atau norma-norma tentang  yang benar dan yang salah.
Selanjutnya Gajah Mada juga mengajarkan bagaimana seseorang semestinya mengambil dan melaksanakan sebuah keputusan. Tehnik mengambil keputusan ini dinamakan Pancatata Upaya (Tandes, 2007:18-19) dan ini terdiri atas :
a.    Maya Tata Upaya atau mengumpulkan data permasalahan yang belum jelas faktanya, sehingga diperoleh informasi yang akurat.
b.    Upeksa Tata Upaya atau meneliti dan menganalisa secara mendalam semua informasi yang diperoleh sebagai dasar mencari solusi.
c.    Indrajala Wyasa atau mengambil keputusan dengan membuat rumusan solusi pemecahan masalah.
d.   Wikrama Wyasa atau melaksanakan keputusan dengan sungguh-sungguh dalam kerangka pencapaian tujuan.
e.    Lokika Wyasa atau menjaga objektivitas dalam pengambilan keputusan serta konsisten dalam pelaksanaannya.
Lebih jauh lagi Gajah Mada juga mengajarkan bagaimana semestinya seorang pemimpin itu berperan dalam proses pelaksanaan program kerja. Caranya adalah dengan melaksanakan apa yang dinamakan Pancatiti Dharmaning Prabhu, yaitu :
a.    Handayani Hanyakra Purana : seorang pemimpin senantiasa memberikan motivasi dan kesempatan berkembang kepada bawahannya.
b.    Madhya Hanyakrabawa : seorang pemimpin harus selalu berada di tengah-tengah masyarakat dan harus terlibat langsung dalam setiap proses pengambilan keputusan.
c.    Ngarsa Hanyakrabawa : seorang pemimpin harus menjadi contoh atau suri tauladan yang bisa diikuti oleh bawahannya.
d.   Ngarsa Bala Wikara : seorang pemimpin harus menggunakan cara-cara yang cerdas, kreatif dan inovatif dalam setiap pelaksanakan kegiatan.
e.    Ngarsa Dana Upaya : seorang pemimpin harus selalu berada pada barisan paling depan dalam pengorbanan tenaga, waktu, materi, pikiran bahkan jiwa sekalipun.
2.2 Astadasa Kottamaning Prabhu
Kegemilangan, kesuksesan dan kemampuan Gajah Mada dalam mempersatukan seluruh Nusantara tentu amat menarik untuk dipelajari. Sejarah telah mencatat bahwa misteri sukses Gajah Mada itu ternyata terletak pada kuatnya meyakini dan menjalankan prinsip-prinsip kepemimpinan yang dinamakan Astadasa Kottamaning Prabhu atau delapanbelas prinsip-prinsip utama kepemimpinan. Astadasa Kottamaning Prabhu ini juga dinyatakan sebagai delapanbelas rahasia sukses pemimpin besar Nusantara Gajah Mada, yang pada saat menjadi Patih Majapahit telah berhasil menciptakan negara persatuan Nusantara. Secara garis besar, norma-norma kepemimpinan Gajah Mada yang terdiri dari 18 (astadasa) prinsip itu dapat diklasifikasikan dalam tiga dimensi (Tandes, 2007:27), yaitu:
a.    Dimensi Spiritual terdiri atas 3 prinsip.
b.    Dimensi Moral terdiri atas 6 prinsip.
c.    Dimensi Managerial terdiri atas 9 prinsip.
di bawah ini adalah penjelasannya lebih lanjut.
A.  Dimensi Spritual
Dimensi spiritual kepemimpinan Gajah Mada merupakan dimensi inti dari Astadasa Kottamaning Prabhu. Dimensi ini membentuk kecerdasan spiritual seorang pemimpin. Kecerdasan spiritual ini dapat diperoleh dengan menghayati dan mengamalkan apa yang dinamakan Tri Hita Karana atau tiga penyebab kebahagiaan, yakni adanya hubungan baik dengan Tuhan, hubungan baik antar sesama manusia dan hubungan baik dengan lingkungan. Selanjutnya penghayatan dan pengamalan Tri Hita Karana secara terus menerus akan dapat meningkatkan Tri Kaya Parisudha seorang pemimpin : berpikir yang baik, berkata yang baik dan berbuat yang baik. Dengan semakin meningkatnya Tri Kaya Parisudha itu, maka kemampuan pengendalian dirinya pun akan meningkat pula. Kesepuluh indriya (mata, telinga, hidung, mulut, lidah, tangan, kelamin, anus, kulit dan kaki) atau dasendriyanya pun akan dapat dikendalikan dengan baik.
Untuk meningkatkan kualitas spiritualnya, Gajah Mada selalu mendidik dirinya dengan menjalankan secara terus menerus apa yang dinamakan Sadguna Wiweka dengan selalu berjuang memerangi Sad Ripu atau enam musuh utama yang ada dalam dirinya (kama/nafsu, lobha/tamak, krodha/marah, moha/bingung, mada/mabuk dan matsarya/irihati). Dengan menggembleng diri seperti itu, maka seorang pemimpin akan mampu memancarkan tiga prinsip dimensi spiritual itu. Dimensi spiritual kepemimpinan Gajah Mada terdiri atas tiga prinsip, yakni :
1.    Wijaya artinya tenang, sabar dan bijaksana. Seorang pemimpin hendaknya selalu sabar, selalu tenang dan bijaksana dalam menghadapi berbagai macam persoalan. Seorang pemimpin karena itu harus pandai mengendalikan diri, mengendalikan pikiran, perkataan dan perbuatan.
2.    Masihi Samasta Bhuwana atau harmonis dengan alam. Seorang pemimpin harus mengerti bahwa alam semesta dengan segenap isinya ini adalah ciptaan Tuhan. Karena itu alam semesta termasuk semua makhluk dan tumbuh-tumbuhan harus disayangi. Pemimpin tidak boleh merusak alam sekitar dan tidak boleh menyakiti makhluk lain.
3.    Prasaja artinya sederhana. Seorang pemimpin tidak boleh hidup dengan penuh kemegahan dan kemewahan, sebab hal itu bisa menyakiti hati rakyat. Pemimpin harus bisa menjadi suri tauladan bagi seluruh rakyatnya agar hidup bersahaja, hidup sederhana.
  B.  Dimensi Moral
Dimensi moral kepemimpinan Gajah Mada terdiri dari enam prinsip, yaitu :
1.    Mantriwira artinya seorang pemimpin harus berani membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa terpengaruh oleh tekanan dari pihak lain. Menegakkan kebenaran dan keadilan merupakan prinsip utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Tetapi memegang teguh prinsip Mantriwira ini memerlukan Kawiryan artinya keberanian yang luar biasa dengan prinsip berani benar dan takut karena salah. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh seorang pemimpin yang mempunyai kualitas Atma Sampad artinya mempunyai integritas tinggi dan moral yang luhur serta obyektif dalam memandang segala sesuatu. Sedangkan Kawiryan hanya dapat dimiliki oleh para pemimpin yang sudah mengisi diri dengan sifat luhur Ngesti Giri artinya kuat imannya, teguh, tangguh dalam menegakkan kebenaran serta tabah dan tegar dalam mengahadapi resiko.
2.    Sarjawa Upasama artinya seorang pemimpin harus rendah hati, tidak boleh sombong  atau congkak dan tidak mentang-mentang karena menjadi pemimpin atau janganlah sok kuasa. Jangan pula sewenang-wenang dengan kekuasaan yang dimiliki. Seorang pemimpin hendaknya tidak berperilaku Adhigang Adhigung Adhiguna, artinya bersandar kepada kekuatan, kekuasaan dan kepandaian. Pemimpin yang sombong dan sok kuasa, tidak akan memperoleh simpati dari bawahannya. Loyalitas yang mungkin diperolehnya akan bersifat semu. Seorang pemimpin harus memahami bahwa antara pemimpin dan bawahan itu saling membutuhkan, karena itu kedua pihak harus bersinergi untuk mencapai tujuan bersama.
3.    Tan Satrsna artinya seorang pemimpin harus berdiri di atas semua golongan. Ia tidak boleh memihak kepada salah satu pihak manpun juga. Ini berarti bahwa seorang pemimpin tidak boleh pilih kasih. Seorang pemimpin harus mampu mengatasi segala paham golongan dan harus dapat mempersatukannya menjadi satu potensi untuk mengatasi masalah bersama, guna mensukseskan cita-cita bersama. Cara berpikir dan bertindak seorang pemimpin hendaklah adil dan obyektif dan tidak memihak pada kelompok tertentu. Dengan prinsip inilah Gajah Mada berhasil mempersatukan Indonesia yang terdiri atas banyak pulau, banyak suku bangsa dan ras dengan bahasa yang berbeda-beda pula, demikian pula dengan agama yang tidak sama. Gajah Mada pun berhasil melaksanakan Bheda dan Danda. Bheda artinya memberikan perlakuan yang sama dan adil untuk semua orang tanpa melihat aliran atau golongannya. Danda artinya memberi hukuman secara adil kepada siapa saja yang berbuat salah atau melanggar hukum tanpa pandang bulu.
4.    Sumantri artinya seorang pemimpin haruslah tegas, jujur, bersih dan berwibawa. Tegas artinya mantap, tidak ragu, obyektif serta berlaku sama dan adil untuk semua orang berdasarkan kebenaran, moral, etika dan hukum. Setiap keputusan juga harus didasarkan kepada kriteria kebenaran, moral, etika dan hukum itu. Agar bisa berbuat tegas, maka seorang pemimpin haruslah jujur dan bersih. Bersih berarti berpikir, berkata dan berbuat sesuai dengan kebenaran, moral, etika dan hukum. sikap yang tegas akan melahirkan Wibawa Sulaksana artinya memiliki kewibawaan terhadap bawahan, sehingga setiap perintahnya dituruti dan dilaksanakan serta semua rencananya dapat direalisir.    
5.    Sih Samasta Bhuwana atau dicintai dan mencintai rakyat. Seorang pemimpin hendaknya mencintai rakyatnya. Sebaliknya rakyatnya pun  akan mencintai pemimpinnya. Pemimpin yang pantas dicintai oleh rakyatnya adalah pemimpin yang: Abhikamika artinya seorang pemimpin yang tampil simpatik, berorientasi ke bawah dan mengutamakan rakyat banyak. Ngesti Priambada artinya selalu memberikan rasa bahagia, tenteram dan damai lahir batin kepada masyarakat. Kaprihatining Praja artinya mempunyai perasaan belas kasihan kepada bawahan dan berusaha memperbaiki nasibnya.
6.    Nagara Gineng Pratijna artinya seorang pemimpin hendaknya mengutamakan kepentingan negara dan bangsa daripada kepentingan pribadi, golongan ataupun keluarga. Seorang pemimpin semestinya mencintai tanah air, negara dan bangsanya. Nagara Gineng Pratijna inilah yang menjiwai Gajah Mada untuk mempersatukan Nusantara ke dalam Negara Majapahit yang mencakup bukan saja Jawa dan Sumatra, tetapi juga semenanjung Melayu, Sulawesi, Kalimantan, Sunda Kecil, Maluku, Papua, dan lain-lain.           
C.  Dimensi Managerial
   Dimensi managerial kepemimpinan Gajah Mada terdiri atas sembilan prinsip, yakni :
1.    Matangguan artinya raihlah kepercayaan masyarakat dan jagalah. Seorang pemimpin harus mendapat kepercayaan dari masyarakatnya, kemudian kepercayaan itu harus dijaga, sebagai tanggung jawab dan kehormatan.
2.    Satya Bhakti Prabhu artinya seorang pemimpin harus loyal kepada kepentingan yang lebih tinggi. Pemimpin harus memiliki loyalitas kepada kepentingan yang lebih tinggi dan bertindak dengan penuh kesetiaan demi nusa dann bangsa.
3.    Wagmi wak artinya seorang pemimpin haruslah menjadi komunikator yang baik. Pemimpin harus mempunyai kemampuan untuk mengutarakan pendapatnya, pandai berbicara dengan tutur kata yang tertib dan sopan, serta mampu menggugah semangat masyarakatnya.
4.    Wicakseneng Naya artinya untuk mencapai tujuan, seorang pemimpin perlu mengatur strategi yang tepat. Strategi biasanya ditetapkan segera setelah kebijaksanaan ditentukan. Pengaturan strategi itu diperlukan untuk dapat melawan musuh dengan baik.
5.    Dhirotsaha artinya seorang pemimpin harus bekerja dengan target yang jelas, terukur dan berbatas waktu. Pemimpin adalah pengarah organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Seorang pemimpin dituntut untuk terus belajar member dan peduli kepada organisasi, temen-teman, komunitas, masyarakat dan sesame umat manusia. Seorang pemimpin harus memusatkan segala sumber daya diri yang dimilikinya untuk mewujudkan cita-cita bersama.
6.    Dibyacitta artinya seorang pemimpin harus akomodatif dan aspiratif. Memimpin sebuah organisasi merupakan sebuah kerja bersama yang melibatkan banyak orang. Pemimpin harus mampu mengarahkan semua pihak dan terlibat dalam proses untuk bekerja dalam rangka mencapai tujuan bersama. Pemimpin harus mampu membuat anggotanya merasa ikut memiliki, sehingga semua merasa bertanggung jawab atas kesuksesan dan kegagalan.
7.    Nayaken Musuh artinya seorang pemimpin harus mampu menundukkan              musuh-musuhnya baik yang ada di dalam dirinya sendiri maupun yang datang dari luar. Musuh-musuh itu dapat berupa kendala, rintangan atau hambatan bagi organisasi. Untuk musuh-musuh dimaksud maka perlu diambil langkah-langkah berikut :
Pengendalian diri untuk melihat apa kelemahan dan kekuatan kita, Pengenalan musuh itu sendiri, juga untuk melihat apa kekuatan dan kelemahannya, Melakukan analisa atas kekuatan dan kelemahan diri dengan kekuatan dan kelemahan musuh, Hasil analisanya dipergunakan untuk merumuskan alternative strategi selanjutnya.
8.    Ambek Paramartha artinya seorang pemimpin hendaknya memusatkan perhatiannya kepada sasaran atau target. Untuk itu seorang pemimpin harus pandai menentukan skala prioritas, artinya mana yang perlu didahulukan. Skala prioritas perlu dibuat karena pada hakekatnya seorang pemimpin mempunyai tugas untuk mengelola  sumber daya : waktu, tenaga manusia, semangat, ilmu pengetahuan dan modal yang jumlahnya serba terbatas. Seorang pemimpin harus pandai menentikan prioritas atau mengutamakan   hal-hal yang lebih penting bagi kesejahteraan dan kepentingan umum.
9.    Waspada Purwartha artinya seorang pemimpin organisasi harus selalu mengadakan evaluasi dan perbaikan yang terus menerus. Dia juga harus mampu waspada dan mawas diri guna melakukan perbaikan. Untuk keperluan perbaikan secara kontinyu, seorang pemimpin hendaknya secara periodic mengadakan evaluasi, baik terhadap kinerja maupun pencapain sasaran. Dan supaya dapat melakukan evaluasi dengan baik dan benar, maka seorang pemimpin hendaknya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan hal-hal yang dievaluasinya.
Demikianlah Gajah Mada telah melaksanakan ajaran kepemimpinan Astadasa Kottamaning Prabhu dengan seksama, yang kirannya perlu dijadikan panutan oleh pemimpin Umat Hindu. Secara garis besar kaidah kepemimpinan Gajah Mada dapat diklasifikasikan menjadi tiga dimensi yakni dimensi spiritual, dimensi moral dan dimensi managerial. Dalam dimensi spiritual mencakup sikap atau perilaku sabar, tenang dan bijaksana, kemudian hidup sederhana dan harmonis dengan alam semesta. Dalam dimensi moral meliputi penegakan kebenaran dan keadilan, sikap rendah hati, adil dan obyektif, dengan selalu tegas, jujur, bersih dan berwibawa, serta cinta tanah air, bangsa dan negara. Sedangkan dalam dimensi managerial mencakup berbagai hal seperti bekerja dengan sasaran dan strategi yang jelas dengan berbatas waktu, selalu menjaga kepercayaan rakyat, menjaga komunikasi dengan rakyat, pelaksanaan tugas yang terfokus kepada pencapaian tujuan dan diakhiri dengan evaluasi dan perbaikan yang berkelanjutan.   

 2.3 Ajaran Kepemimpinan Menurut Kitab Suci Hindu
Seorang pemimpin, menurut kitab suci Hindu merupakan tokoh yang menerangi dan mencintai sesama manusia, tidak membenci siapapun, dermawan, hidup di tengah-tengah warga dan rakyatnya serta untuk menjaga kehormatan dan keselamatan bangsa. Sifat-sifat seorang pemimpin adalah pemberani, mampu memperbaiki dan melindungi kemakmuran masyarakat (Titib,1996:471).
Seorang pemimpin tempatnya keberanian dan kebijaksanaan. Perhatikan bunyi kitab suci di bawah ini :
Yasmad indrad brhatahkim canem-rte
visvany-asmin sambhrtadhi virya
jathare somrm tanvi saho maho
haste vajram sirsani kratum (Rgveda, II.16.2)

artinya :
Seluruh keberanian dipusatkan pada Tuhan, di mana tanpa Tuhan dunia ini bukanlah    apa-apa. Tuhan adalah perwujudan dari kebahagiaan yang membawa energi pada      badan-Nya, kekuatan pada tangan-Nya dan kebijaksanaan pada kepala-Nya.

Seorang pemimpin harus mencintai semua umat manusia, sebagaimana dijelaskan dalam kitab suci berikut ini :
Janam janam janyo nati manyate
visa a kseti visyo visam visam (Rgveda, VIII.91.2)

artinya :
Pemimpin adalah seorang tokoh yang bersikap ramah dan mencintai semua umat manusia, bersikap baik dan tidak membenci siapun juga. Dia merupakan dermawan, melayani kebutuhan semua orang dan selalu hidup di tengah-tengah rakyatnya.

Selanjutnya dinyatakan pula bahwa seorang pemimpin itu harus memiliki sifat yang cemerlang, jaya dan berani, sebagaimana dijelaskan dalam kitab suci berikut ini :
Agner bhrajasa suryasya varcasa
indra sya-indriyena (Yajurveda, X.17)

artinya :
Seorang pemimpin dinobatkan untuk memperoleh sifat-sifat kedewataan yaitu sifat kecermelangan, kejayaan dan keberanian Tuhan.

Seorang pemimpin juga harus melindungi masyarakatnya dan tidak boleh merugikannya. Kitab suci berikut ini menjelaskannya :
Accinnapatah pra ja
anuviksasva (Yajurveda, XIII.30)

artinya :
Seorang pemimpin hendaknya melindungi masyarakat, di samping itu iapun tidak boleh merugikan rakyatnya.

Lebih lanjut kitab suci Hindu menyatakan bahwa seorang pemimpin diciptakan untuk melindungai rakyatnya, berikut dijelaskan :
Ksatraya rajanyam (Yajurveda, XXX.5)

artinya :
Seorang pemimpin itu diciptakan untuk melindungi rakyat.

Raksa ca no maghonah pahi surin (Rgveda, I.54.11)

artinya :
Wahai para pemimpin, jadikanlah rakyatmu sejahtera dan lindungilah juga para cendikiawan.

Sifat-Sifat Pemimpin :
Seorang pemimpin pada hakekatnya harus mempunyai sifat herois atau sifat kepahlawanan, sifat-sifat baik untuk meningkatkan kemakmuran rakyat dan menjadi tulang punggung masyarakat. Hal ini dijelaskan dalam kitab suci berikut ini :
Atma ksatram uro mama (Yajurveda, XX.7)

artinya :
Seorang pemimpin itu mempunyai sifat  kepahlawanan. Heroisme adalah jiwa dan hati seorang pemimpin.

Bahukara sreyaskara bhuyaskara ( Yajurveda, X.28)

artinya :
Wahai para pemimpin, engkau memperbaiki dan meningkatkan kemakmuran bagi seluruh rakyat.

Prsthir me rastam (Yajurveda, XX.8)

artinya :
Bangsa adalah tulang punggung para pahlawanan.

Tugas-Tugas Pemimpin :
Seorang pemimpin itu sengaja dibentuk untuk mewujudkan kemakmuran dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Seorang pemimpin harus selalu mawas diri, mampu memajukan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya dan bersikap ramah terhadap semuanya, tetapi berlaku keras terhadap musuh-musuhnya. Seorang pemimpin juga harus mampu mengangkat harkat dan martabat bangsanya, memiliki keteguhan dan kemantapan hati dan selalu jujur (Titib, 1996:465). Perhatikanlah kitab suci Hindu berikut ini :
Agnim rayasposaya suprajastvaya
suviryaya (Yajurveda, XIII.1)

artinya :
Seorang pemimpin itu dinobatkan untuk menciptakan kemakmuran, melindungi warganya dan untuk bersikap sebagai pahlawan.

Balaya sriyai yasase abhisincami (Yajurveda, XX.3)

artinya :
Seorang pemimpin itu dilahirkan untuk member kekuatan, kemakmmuran dan kemasyhuran kepada rakyatnya.

Iyam te rad yantasi yamano
dhruvo-asi dharunah
kryai tva ksemaya tva
rayyai tva posaya tva (Yajurveda, IX.22)

artinya :
Seorang pemimpin adalah pengawas negara, dia selalu mawas diri, teguh hati dan sebagai pendukung negara. Rakyat mendekat kepada pemimpin untuk tercapainya perkembangan pertanian, kesejahteraan dan kemakmuran.

Ugras ca bhimas ca
dvantas ca dhunis ca (Yajurveda, XXXIX, 39.7)

artinya :
Seorang pemimpin hendaknya ramah tamah, kuat dan mampu mengalahkan musuh.



Sasahvan ca abhiyugva ca viksipah (Yajurveda, XXXIX.7)

artinya :
Seorang pemimpin hendaknya selalu Berjaya, bersikap menyerang dan menghancurkan musuh.

Ugram lohitena
mitram sauvratyena
rudram daurvratyena (Yajurveda, XXXIX.9)

artinya :
Seorang pemimpin harus dapat menundukkan orang yang kejam, sedangkan teman-temannya harus diperlakukan dengan penuh kasih sayang sedangkan para perusuh harus dibasmi.

Dhruvas tisthavicacalih (Yajurveda, XII.11)

artinya :
Seorang pemimpin hendaknya selalu teguh dan mantap.

Sementara itu tugas-tugas lain seorang pemimpin dapat dijelaskan demikian (Somvir, 2005:111-112). Pemimpin itu disimbolkan sebagai dewa dan semua rakyat adalah putra-putrinya, sehingga seorang pemimpin harus memimpin tanpa diskriminasi. Pemimpin itu melindungi rakyat dengan penuh rasa hormat, karena itu seorang pemimpin dikatakan memberikan perlindungan sebagaimana dijelaskan dalam kitab suci berikut ini :
A tva gannastram saha varcasodihi
pranvisam patirekarat tvam vi raja
sarvastva rajanpradiso hvayantupasadyoa
namasyo bhaveha (Atharvaveda, 3.4.1)

artinya :
Wahai para pemimpin, datanglah dengan cahaya, lindungilah rakyat dengan penuh kehormatan, hadirlah sebagai pemimpin utama, seluruh penjuru memanggil dan minta perlindunganmu, raihlah kehormatan dan pujaan itu.

Prajammrtasya pipratah
pra yadbharanta vanhayah
vipra rtasya vahasa  (Atharvaveda, 20.138.2)

artinya :
Bila seorang pemimpin selalu mengikuti ajaran kebenaran dan dharma serta mencukupi kebutuhan rakyatnya, maka semua orang bijaksana dan tokoh masyarakat akan mengikuti dan menyebarkan dharma.

Apratito jayati dhanani
pratijanyanyuta ya sajanya
avasyate yo variyah krnoti
brahmane raja tamavanti devah (Rgveda, 4.50.9)

artinya :
Seorang pemimpin yang tidak terkalahkan melindungi rakyatnya dengan selalu minta perlindungan Tuhan, sebaliknya rakyatpun akan selalu menghormati dan melindungi pemimpin tersebut   
  
KESIMPULAN
Mahapatih Gajah Mada dengan sumpah Palapanya berhasil mempersatukan nusantara. Ajaran kepemimpinan Mahapatih Gajah Mada merupakan suatu ajaran untuk menjadi seorang pemimpin yang baik yang bisa menjaga kesejahteraan, ketentraman dan kemakmuran rakyatnya. Adapun ajaran kepemimpinan Gajah Mada diantaranya : etika kepemimpinan Gajah Mada, menurut Gajah Mada ada tiga nilai etika dan moral yang patut diperhatikan dan dikembangkan dalam diri seorang pemimpin, yaitu : sastratama atau norma-norma, bhuwana atau kepekaan sosial dan susilatama atau norma-norma tentang yang benar dan yang salah. Kemudian ajaran astadasa kottamaning prabhu atau disebut juga delapanbelas prinsip-prinsip utama kepemimpinan. Secara garis besar, norma-norma kepemimpinan Gajah Mada yang terdiri dari delapanbelas prinsip itu dapat diklasifikasikan dalam tiga dimensi, yaitu : dimensi spiritual terdiri atas tiga prinsip, dimensi moral terdiri atas enam prinsip dan dimensi managerial terdiri atas sembilan prinsip. Ajaran kepemimpinan juga tertuang dalam kitab suci Hindu yang mencakup fungsi, sifat dan tugas seorang pemimpin seperti yang terdapat dalam kitab suci Rgveda, Yajurveda  dan Atharvaveda.       







DAFTAR PUSTAKA

1.    Purwadi, M.Hum, Dr. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta : Media Abadi.

2.    Somvir, Dr. 2005. 108 Mutiara Veda II. Denpasar : Panakom.

3.    Tandes, Bhre. 2007. Astadasa Kottamaning Prabhu-18 Rahasia Sukses Pemimpin Besar Nusantara Gajah Mada. Jakarta : Gramedia.

4.    Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya : Paramita.

5.    Yamin, Muhammad. 2005. Gajah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara. Jakarta : Balai Pustaka.